Hari Dokter Nasional yang diperingati setiap tanggal 24 Oktober menjadi momen yang tepat untuk merefleksikan kembali nilai-nilai luhur dalam profesi kedokteran. Menjadi dokter bukan hanya sekedar pekerjaan, namun juga profesi mulia yang sarat dengan tanggung jawab sosial dan moral. Pada momen ini selain merayakan dan menghormati kontribusi besar yang telah diberikan oleh Pahlawan Kesehatan, artikel ini akan mengulas kembali etika profesi dokter dalam aktivitas pelayanan kesehatan maupun aktivitas media sosial.

Etika merupakan salah satu prinsip fundamental dalam profesi kedokteran. Etika profesi dokter adalah seperangkat nilai, norma, dan prinsip moral yang wajib dan menjadi pembatas agar dokter tidak melanggar norma yang berlaku di masyarakat dalam memberikan pelayanan Kesehatan, baik terhadap Pasien, Teman Sejawat maupun terhadap dirinya sendiri. Etika harus menjadi hal yang utama karena menyangkut kepercayaan masyarakat terhadap profesi dokter.

Selain mewujudkan profesionalitas, Etika profesi dokter juga harus secara konsisten ditegakkan sepenuhnya oleh para dokter sebagaimana diatur dalam Sumpah Dokter Indonesia, Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI) dan Fatwa Etik. 

Kepercayaan masyarakat terhadap para dokter juga akan tumbuh apabila para dokter menjunjung tinggi etika profesinya tersebut dalam berbagai aspek aktivitas kehidupannya, hal ini agar dapat melindungi dokter dari berbagai potensi permasalahan yang berkaitan dengan profesinya.

Kode etik kedokteran menekankan kewajiban dokter dalam berbagai dimensinya, baik internal maupun eksternal, untuk mewujudkan bangunan yang kokoh dalam bentuk profesionalisme dokter. Substansi kode etik kedokteran meliputi kewajiban profesi dokter untuk mengamalkan sumpah dan/atau janji dokter, seorang dokter juga wajib menjaga independensinya dan menghindari diri dari perbuatan memuji diri sendiri, menghormati hak-hak pasien, dan kewajiban dokter untuk memperhatikan aspek promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif dalam memberikan pelayanan kesehatan. 

Secara Etika, Kewajiban dokter terhadap pasien meliputi: 

  1. Kewajiban dokter untuk bersikap tulus dan menggunakan seluruh keilmuan dan keterampilan untuk kepentingan pasien, serta memberi rujukan (didasari atas persetujuan pasien atau keluarganya) kepada dokter yang memiliki keahlian apabila ia tidak mampu melakukan pemeriksaan atau pengobatan (Pasal 14 KODEKI);
  2. Kewajiban dokter untuk memberi kesempatan kepada pasien dalam hal berinteraksi dengan keluarga dan penasehatnya, termasuk beribadah dan/atau menyelesaikan permasalahan pribadi (Pasal 15 KODEKI).
  3. Kewajiban dokter untuk merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang pasien, bahkan setelah pasien itu meninggal dunia (Pasal 16 KODEKI); 
  4. Kewajiban dokter untuk melakukan pertolongan darurat (Pasal 17 KODEKI). 

Kewajiban dokter terhadap teman sejawat, meliputi: 

  1. kewajiban dokter memperlakukan teman sejawat sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan (Pasal 18 Kode Etik Kedokteran Indonesia); 
  2. larangan bagi dokter untuk mengambil alih pasien dari teman sejawat, kecuali dengan persetujuan atau berdasarkan prosedur yang etis (Pasal 19 Kode Etik Kedokteran Indonesia). 

Kewajiban dokter terhadap diri sendiri, meliputi: 

  1. kewajiban dokter untuk memelihara kesehatannya (Pasal 20 Kode Etik Kedokteran Indonesia); 
  2. kewajiban dokter untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran/kesehatan (Pasal 21 Kode Etik Kedokteran Indonesia).

Di era digitalisasi saat ini, internet dan media sosial sebagai bagian dari perkembangan teknologi telah digunakan dan dimanfaatkan oleh hampir seluruh lapisan masyarakat termasuk dokter di Indonesia, yang melakukan aktivitas di media sosial dengan membuat konten edukasi kesehatan bernilai positif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat seputar kesehatan.

Perilaku dokter bermedia sosial telah diatur secara khusus untuk menjunjung tinggi nilai-nilai moral yang termuat dalam Fatwa Etik Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia Nomor: 029/PB/K.MKEK/04/2021. Peraturan ini mengikat bagi seluruh dokter di Indonesia.

Fatwa Etik MKEK tersebut mengatur:

  1. Dokter harus menyadari sisi positif dan negatif aktivitas media sosial dalam seluruh pelayanan kesehatan serta mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku;
  2. Dokter harus selalu mengedepankan nilai integritas, profesionalisme, kesejawatan, kesantunan, dan etika profesi pada setiap aktivitasnya di media sosial;
  3. Penggunaan media sosial sebagai upaya promotif dan preventif bernilai etika tinggi dan perlu diapresiasi selama sesuai kebenaran ilmiah, etika umum, etika profesi, serta peraturan perundangan yang berlaku;
  4. Penggunaan media sosial untuk memberantas hoax/informasi keliru seputar kesehatan merupakan tindakan mulia, asalkan sesuai fakta ilmiah, etika umum, etika profesi, serta perundang-undangan yang berlaku. Dokter harus menyadari munculnya potensi perdebatan antar masyarakat di media sosial. Dalam situasi tersebut,  dokter perlu mengendalikan diri dan menjaga marwah luhur profesi kedokteran. Apabila terdapat pernyataan yang merendahkan profesi dokter dan tenaga kesehatan, dokter wajib melaporkan hal tersebut ke otoritas media sosial melalui fitur yang disediakan dan upaya lainnya sesuai peraturan perundangan yang berlaku;
  5. Dokter harus menjaga diri dari promosi diri yang berlebihan dan iklan suatu produk atau jasa;
  6. Pada penggunaan media sosial untuk tujuan konsultasi suatu kasus kedokteran dengan dokter lainnya, dokter harus menggunakan fitur media sosial yang terenkripsi end-to-end dengan tingkat keamanan terjamin, serta serta memastikan jalur komunikasi yang bersifat pribadi atau melalui grup tertutup khusus dokter;
  7. Penggunaan media sosial yang memuat gambar, dokter wajib mengikuti peraturan perundangan yang berlaku dan etika profesi. Gambar yang diunggah tidak boleh mengungkapkan secara langsung maupun tidak langsung identitas pasien, rahasia kedokteran, privasi pasien/keluarganya, privasi sesama dokter dan tenaga kesehatan, dan peraturan internal RS/klinik. Dalam menampilkan kondisi klinis pasien atau hasil pemeriksaan untuk tujuan pendidikan, hanya boleh dilakukan atas persetujuan pasien serta identitas pasien seperti wajah dan nama yang dikaburkan. Hal ini dikecualikan pada penggunaan media sosial dengan maksud konsultasi suatu kasus kedokteran sebagaimana yang diatur pada poin f.
  8. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan memberikan edukasi kesehatan bagi masyarakat, sebaiknya dibuat dalam akun terpisah dengan akun pertemanan supaya fokus pada tujuan. Bila akun yang sama juga digunakan untuk pertemanan, maka dokter harus memahami dan mengelola ekspektasi masyarakat terhadap profesi kedokteran;
  9. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan edukasi ilmu kedokteran dan kesehatan yang terbatas pada dokter dan/atau tenaga kesehatan, hendaknya menggunakan akun terpisah dan memilah sasaran informasi khusus dokter/tenaga kesehatan.
  10. Pada penggunaan media sosial dengan tujuan pertemanan, dokter dapat bebas berekspresi sebagai hak privat sesuai ketentuan etika umum dan peraturan perundangan yang berlaku dengan memilih platform media sosial yang diatur khusus untuk pertemanan dan tidak untuk dilihat publik.
  11. Dokter perlu selektif memasukkan pasiennya ke daftar teman pada akun pertemanan karena dapat mempengaruhi hubungan dokter-pasien.
  12. Dokter dapat membalas dengan baik dan wajar pujian pasien/masyarakat atas pelayanan medisnya sebagai balasan di akun pasien/masyarakat tersebut. Namun sebaiknya dokter menghindari untuk mendesain pujian pasien/masyarakat atas dirinya yang dikirim ke publik menggunakan akun media sosial sebagai tindakan memuji diri secara berlebihan.
  13. Pada kondisi di mana dokter memandang aktivitas media sosial sejawatnya terdapat kekeliruan, maka dokter harus mengingatkannya melalui jalur pribadi. Apabila dokter tersebut tidak bersedia diingatkan dan memperbaiki perilaku aktivitasnya di media sosial, maka dokter dapat melaporkan kepada MKEK.

Pelanggaran atas ketentuan Etika yang diatur pada KODEKI dan Fatwa Etik tentunya memiliki konsekuensi, yang diatur pada Pedoman Majelis Kehormatan Etik Kedokteran Indonesia, dengan 4 (empat) kategori Sanksi yaitu:

  1. Kategori 1, berupa Pembinaan.
  2. Kategori 2, berupa penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan.
  3. Kategori 3, berupa penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara.
  4. Kategori 4, berupa pemberhentian keanggotaan tetap.

Oleh karena itu, Hari Dokter Nasional ini menjadi momen berharga untuk merenungkan kembali makna dari profesi kedokteran. Di tengah dinamika perkembangan kesehatan yang semakin kompleks dan perkembangan teknologi, peran dokter menjadi garda terdepan dalam menjaga kesehatan masyarakat Indonesia tidak hanya dituntut memiliki kemampuan klinis yang mumpuni, tapi juga harus senantiasa menjunjung tinggi nilai-nilai etika dalam menjalankan profesi dan aktivitasnya dengan sebaik-baiknya. Etika profesi dokter bukan sekadar kumpulan aturan belaka, melainkan merupakan kompas moral yang memandu setiap tindakan dan perilakunya. Dokter juga harus siap dengan perkembangan teknologi kesehatan dan memanfaatkan teknologi kesehatan tanpa mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan. Memberikan pelayanan yang maksimal dan terjangkau bagi masyarakat, serta berperan aktif dalam menjaga kualitas hidup masyarakat.

Baca juga: Etika Medis: Prinsip Moral dalam Praktik Kedokteran

Sumber Hukum: 

Referensi: 

Author / Contributor:

FiraAsdel Fira, S.H.

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975