Isu hukum dalam bidang kesehatan merupakan salah satu isu yang tiada habisnya. Perkembangan ilmu medis yang terus meningkat, menimbulkan gagasan yang selalu baru mengenai hak-hak pasien, standar pelayanan medis, standar profesi, serta standar operasional bidang kesehatan itu sendiri. Salah satu isu yang tak jarang mencuat dibidang pelayanan kesehatan, yaitu legalitas dari praktik euthanasia dalam bidang pelayanan kesehatan. Euthanasia merupakan salah satu isu dalam ranah hukum kesehatan yang juga memiliki keterkaitan erat dengan hukum pidana dikarenakan praktik ini menjadi bagian dari kajian hukum kesehatan yang bersinggungan langsung dengan aspek-aspek hukum pidana di bidang medis atau pelayanan kesehatan, serta berkaitan dengan sumpah dokter.
Euthanasia yang berarti mati dengan baik atau sering disebut dengan istilah good death, easy death, happy death ataupun mercy killing. Menurut laman Britannica , euthanasia merupakan suatu tindakan atau praktik yang dilakukan untuk mengakhiri hidup seseorang dengan bantuan pihak lain, umumnya dari bidang medis yang mana dilakukan (pasien) tanpa rasa sakit, terutama bagi mereka yang menderita penyakit berat dan tidak dapat disembuhkan.
Euthanasia juga dapat dilakukan dengan menghentikan penanganan medis atau mencabut alat bantu kehidupan, sehingga memungkinkan seseorang meninggal secara alami tanpa intervensi medis lebih lanjut. Salah satu bentuk euthanasia yang sering dilakukan adalah physician assisted suicide (PAS), yaitu tindakan bunuh diri yang dilakukan dengan bantuan dokter. Dalam hal ini, dokter secara sadar memberikan bantuan medis kepada seseorang untuk mengakhiri hidupnya atas permintaan yang bersangkutan.
Jenis Euthanasia
Euthanasia merupakan tindakan medis yang sangat berkaitan erat dengan etika dan moral yang kompleks. Di satu pihak, prosedur ini dapat menjadi jalan untuk mengakhiri penderitaan pasien yang tak tertahankan. Namun melihat dari sudut pandang lain secara hukum, euthanasia merupakan tindakan mengakhiri hidup seseorang yang mana hal ini berkesinambungan dengan perbuatan merampas nyawa orang sebagaimana diatur dalam Pasal 461 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”) yang berbunyi:
“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
Dalam perkembangannya, praktik euthanasia terdiri dari beberapa kelompok, yaitu:
1. Euthanasia Aktif
Euthanasia aktif merujuk pada tindakan yang dilakukan oleh dokter atau tenaga kesehatan lainnya dengan sengaja mengakhiri hidup pasien. Bentuk euthanasia aktif ini terbagi menjadi dua jenis, yaitu:
a. Euthanasia langsung, yaitu tindakan yang dilakukan secara sadar dan terencana untuk mempercepat kematian pasien;
b. Euthanasia tidak langsung, yakni ketika tenaga medis memberikan pengobatan guna meredakan rasa sakit pasien, namun obat yang digunakan memiliki efek samping yang dapat menyebabkan kematian.
2. Euthanasia Pasif
Euthanasia pasif merupakan bentuk tindakan yang dilakukan oleh dokter dengan cara menghentikan atau mengurangi pemberian pengobatan yang berfungsi mempertahankan hidup pasien, sehingga pasien dapat meninggal dalam waktu yang lebih singkat. Seperti, penghentian penggunaan alat bantu pernapasan (ventilator).
3. Euthanasia Sukarela (voluntary)
Merupakan tindakan penghentian pengobatan yang dilakukan dengan tujuan mempercepat kematian, berdasarkan permintaan langsung dari pasien itu sendiri.
4. Euthanasia Non-sukarela (non voluntary)
merupakan tindakan yang dilakukan terhadap pasien yang berada dalam kondisi tidak sadar atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, sehingga keputusan untuk melaksanakan tindakan tersebut diambil oleh pihak keluarga yang bertanggung jawab.
5. Assisted Suicide atau Physician-assisted suicide (PAS)
Physician-assisted suicide (PAS) dilakukan ketika seorang dokter secara sadar membantu mengakhiri hidup pasien yang mengalami penyakit serius dan menanggung penderitaan berat. Dalam pelaksanaannya, dokter akan memilih metode yang paling efektif dan minim rasa sakit, seperti dengan memberikan obat dari golongan opioid dalam dosis tinggi.
Legalitas Euthanasia
Sebagian orang memandang euthanasia sebagai bentuk pembunuhan, sehingga dianggap tidak dapat dibenarkan secara moral. Selain itu, memberikan kebebasan kepada individu untuk menentukan akhir hidupnya justru dapat merendahkan nilai kesucian hidup itu sendiri. Kemudian, jika mengacu pada Hak Asasi Manusia (HAM) sebagaimana tertuang dalam Pasal 28A Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”), yang menyatakan:
“Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.”
Tentunya praktik euthanasia berdasarkan hukum positif dan nilai moral bangsa Indonesia sangatlah bertentangan. Menurut Budi Hartono selaku peneliti The Society of Philosophy and Technology menjelaskan bahwa Indonesia melarang euthanasia sudah cukup rasional dengan pertimbangan matang berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya, jika hukum memperbolehkan euthanasia, maka akan ada banyak orang yang akan berpikir untuk melakukan hal tersebut.
Menurut pendapat Indriyanto Seno Adji selaku pakar hukum pidana yang dilansir dari laman Hukumonline, menyatakan bahwa Hakim dapat mengeluarkan penetapan yang memperbolehkan tindakan euthanasia dengan merujuk pada doktrin para ahli hukum serta memenuhi syarat-syarat medis yang bersifat ketat. Indriyanto memberikan contoh praktik di Belanda, di mana sebelum euthanasia diatur secara hukum, para hakim telah melakukan terobosan hukum yang memungkinkan tenaga medis melakukan tindakan tersebut. Meski demikian, Indriyanto menegaskan bahwa euthanasia hanya dapat dilakukan atas dasar pertimbangan medis yang objektif, bukan karena alasan sosial atau ekonomi. Hal ini bertujuan untuk mencegah penyalahgunaan atau permohonan euthanasia.
Sanksi Pidana terhadap Tindakan Euthanasia
Dalam sumpah hipokrates yang diucapkan oleh para dokter, salah satu dalilnya menyatakan, “Saya akan menggunakan pengobatan untuk menolong orang sakit sesuai kemampuan dan penilaian saya, tetapi tidak akan pernah untuk mencelakai atau berbuat salah dengan sengaja. Tidak akan saya memberikan racun kepada siapapun bila diminta dan juga tak akan saya sarankan hal seperti itu.”
Secara tersirat dalam lafaz sumpah hipokrates telah melarang perbuatan pengakhiran hidup seseorang yang dalam ini adalah euthanasia.
Walaupun dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) tidak mengatur secara tegas mengenai pelanggaran hukum dari praktik euthanasia, namun pada pasal-pasal yang tertera dalam KUHP Baru telah memberikan pemahaman serupa dengan praktik euthanasia berikut sanksi pidananya, yaitu:
- Pasal 461
“Setiap orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.” - Pasal 428 ayat (1)
“Setiap orang yang menempatkan atau membiarkan orang dalam keadaan terlantar, sedangkan menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan wajib memberi nafkah, merawat, atau memelihara orang tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori III.” - Pasal 462
“Setiap orang yang mendorong, membantu, atau memberi sarana kepada orang lain untuk bunuh diri dan orang tersebut mati karena bunuh diri, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Sehingga, jika dilihat berdasarkan unsur-unsur yang terurai dalam ketentuan pidana tersebut, praktik euthanasia jelas merupakan suatu bentuk pelanggaran pidana. Meskipun tidak secara eksplisit diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan, praktik euthanasia secara tegas dikualifikasikan sebagai tindak pidana berdasarkan ketentuan dalam Pasal 461, Pasal 428 ayat (1), dan Pasal 462 KUHP Baru. Selain bertentangan dengan prinsip Hak Asasi Manusia yang menjamin hak untuk hidup, euthanasia juga dilarang dalam sumpah dokter yang menegaskan larangan mencelakai pasien.
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP Baru”).
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
Referensi:
- Euthanasia dan Ancaman Pasal 344 KUHP. Hukumonline (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 11.48)
- Bunyi Pasal 344 KUHP tentang Euthanasia. Hukumonline (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 11.36)
- Perdebatan Penerapan Euthanasia dalam Dunia Kesehatan. Tempo (Diajses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 11.35)
- Pengaturan Euthanasia di Indonesia. Hukumonline (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 12.04)
- Aris Prio Agus Santoso dan Tatiana Siska Wardani. Etika Profesi Kefarmasian dan Hukum Kesehatan, (Jakarta: Trans Info Media, 2020), hlm.116-117.
- Euthanasia, Ketika Mengakhiri Hidup Dianggap sebagai Jalan Keluar, Alodokter (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 12.18)
- Euthanasia di Indonesia. SIP Law Firm (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 13.46)
- Euthanasia Dimungkinkan dengan Syarat Limitatif. Hukumonline (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 13.54)
- A, Nursya, 2023, Aspek Hukum Pidana Perdata Kesehatan, Jakarta: Pt. Putra Surya Sentosa Publishing.
- Bagaimana Ketentuan di Indonesia ini Bunyi Undang-Undangnya. Tempo (Diakses pada tanggal 25 Juni 2025 pukul 14.57)