Mantan PM Belanda Dries van Agt dan sang istri Eugenie meninggal dunia pada 5 Februari 2024 melalui tindakan euthanasia atau suntik mati. Mereka mengajukan permohonan euthanasia dengan alasan kesehatannya memburuk dalam beberapa tahun terakhir. Belanda adalah negara pertama yang mengesahkan metode euthanasia. Bahkan Parlemen Belanda pada 29 November 2000 menyetujui Undang-undang yang melegalkan euthanasia. Lalu, Bagaimana metode euthanasia di Indonesia?

Dikutip dari healthline.com, euthanasia adalah tindakan sengaja mengakhiri hidup seseorang, biasanya untuk meringankan penderitaan. Dokter kadang-kadang melakukan euthanasia ketika diminta oleh orang-orang yang memiliki penyakit mematikan dan dalam kondisi sangat kesakitan. Euthanasia merupakan proses yang kompleks dan menimbang banyak faktor seperti hukum setempat, kesehatan fisik dan mental seseorang. Euthanasia juga berarti mempercepat proses kematian tanpa penderitaan.

Euthanasia pertama kali dilegalkan di Swiss tahun 1937, namun di era yang sama Pengadilan di Amerika Serikat menolak permohonan euthanasia dari pasien yang sakit dan beberapa orang tua yang mempunyai anak kurang sempurna (cacat).  Dua tahun kemudian, Nazi mencetuskan “Aksi T4”, sebuah program euthanasia kepada anak-anak di bawah umur 3 tahun yang memiliki tubuh tidak sempurna, keterbelakangan mental, atau gangguan lain.

Pada era 1940 – 1950, dukungan terhadap euthanasia berkurang, terlebih karena dilakukan secara tidak sukarela terutama dengan alasan cacat secara genetika. Ketika adolf Hitler memimpin Nazi, ia menganggap orang cacat menghambat perkembangan kemajuan bangsa, sehingga ia melakukan euthanasia secara besar-besaran di Berlin, Jerman. Sebagian besar negara di dunia tidak melegalkan euthanasia, namun terdapat 10 negara yang mendukung tindakan euthanasia seperti dikutip dari cnbcindonesia.com, yakni Swiss (sejak 1942), Belanda (sejak 2002), Belgia (sejak 2002), Luxembourg (sejak 2009), Kolombia (sejak 2014), Kanada (sejak 2016), Austria (sejak 2021), Selandia Baru (sejak 2021), Spanyol (sejak 2021), dan Australia (sejak 2022).

Kasus di Indonesia

Euthanasia menjadi perdebatan di seluruh dunia. Di Indonesia permohonan euthanasia  pernah diajukan Hasan Kusuma ke PN Jakarta Pusat pada 22 Oktober 2004 atas nama istrinya Again Isna Nauli. Dikutip dari hukumonline, pengajuan permohonan euthanasia dilakukan karena Hasan terlilit biaya pengobatan istrinya yang koma selama dua bulan.

Kasus lainnya dialami Ignatius Ryan Tumiwa yang ingin mengakhiri hidupnya dengan cara suntik mati karena alasan jobless dan hidup sebatang kara. Ia mengajukan permohonan uji materi kepada Mahkamah Konstitusi (MK) untuk merevisi Pasal 344 KUHP tentang euthanasia. Namun permohonannya terhalang Pasal 344 KUH Pidana, dokter atau tenaga medis lain yang membantu seorang pasien mengakhiri hidup diancam dengan hukuman pidana. Namun, pada Agustus 2014 permohonannya dicabut dengan alasan Ryan sudah punya semangat untuk menjalani kehidupan lagi.

Permohonan euthanasia pernah diajukan Berlin Silalahi (BS) yang merupakan korban tsunami Aceh ke PN Banda Aceh pada Mei 2017. Ia merasa harus mengakhiri hidupnya karena bantuan perumahan yang dijanjikan pemerintah tak kunjung diberikan sehingga harus berpindah tempat tinggal dari satu barak ke barak yang lain selama 2,5 tahun. Ditambah, ia tak bisa mencari nafkah karena lumpuh dan sakit kronis.

Hakim menolak permohonan BS, merujuk pada UU No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, Kode Etik Kedokteran, dan Pasal 344 KUH Pidana. Dalam pertimbangannya hakim mengharap pemerintah bisa memberikan bantuan kepada BS. Setelah putusan hakim, petugas Dinas Sosial datang untuk memberikan bantuan kepada BS.

Indonesia Tolak Euthanasia

Indonesia merupakan negara yang mengutamakan Hak Asasi Manusia (HAM) sebagai wujud untuk menegakkan demokrasi sebagaimana hal ini tertuang dalam Pasal 28A UUD 1945 yang menyatakan, “Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan kehidupannya.” 

Kemudian, Pasal 461 Undang-undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) menegaskan, “Setiap Orang yang merampas nyawa orang lain atas permintaan orang itu sendiri yang jelas dinyatakan dengan kesungguhan hati, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.“ Hal itu sejalan dengan demi menjaga profesionalisme dari seorang dokter, terdapat ketentuan dalam Kode Etik Kedokteran beserta sumpah dokter yang mengutamakan kesehatan pasien dan melarang adanya tindakan euthanasia.

Selain adanya ketentuan hukum, sejumlah pakar memberikan alasan mengapa euthanasia dilarang. Menurut Budi Hartono, peneliti The Society of Philosophy and Technology, seperti dikutip dari kompas.com, Indonesia melarang euthanasia sudah cukup rasional dengan pertimbangan matang berdasarkan hukum yang berlaku. Menurutnya, jika hukum memperbolehkan euthanasia, maka akan ada banyak orang yang akan berpikir untuk melakukan hal tersebut.

Sintak Gunawan, Akademisi di Pusat Pengembangan Etika Universitas Atma Jaya Jakarta mengatakan, saat ini Indonesia masih memegang prinsip dasar kedokteran, sehingga tindak euthanasia dilarang. Ia berpendapat, tidak ada dasar hukum terkait tindakan medis untuk membiarkan pasien meninggal.

Sementara itu, Daeng M Faqif, Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menyebutkan pernah ada wacana untuk melegalkan euthanasia pasif (memberhentikan atau tidak memberikan perawatan/pengobatan untuk mempercepat usia kematian pasien) namun masih menimbulkan perdebatan. Keputusan ini harus mendapat pertimbangan Majelis Kehormatan Etik Kedokteran.

Daeng berpendapat proses ini akan berlangsung lama, termasuk menentukan perbedaan antara euthanasia aktif (tim medis bertindak langsung untuk mengakhiri hidup pasien) maupun pasif. Namun, apabila euthanasia tidak dilegalkan akan menimbulkan masalah biaya bagi keluarga pasien yang tidak mampu membayar biaya perawatan maupun pengobatan.

Merujuk pada sejumlah kasus euthanasia di luar negeri dan di Indonesia, ada perbedaan latar belakang pengajuan tindakan suntik mati. Kasus di luar negeri biasanya hanya mengarah pada kondisi penyakit kronis yang diderita. Sementara di Indonesia selain karena alasan kesehatan euthanasia dipilih sebagai jalan keluar terakhir mengakhiri penderitaan seseorang karena masalah finansial. Kasus Again Isna Nauli, Ignatius Ryan Tumiwa dan Berlin Silalahi menjadi contoh, perlunya kepekaan pemerintah dan publik terhadap kasus euthanasia yang dilatarbelakangi oleh kondisi perekonomian yang terpuruk.

Baca Juga: Dinilai Terlalu Mahal, Ini Prosedur Pelaksanaan Akreditasi RS