Pasal 135 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) telah mengakui metode pengobatan/terapi berbasis sel dengan tujuan melakukan penyembuhan penyakit dan pemulihan kesehatan. Ketentuan ini merupakan bentuk implementasi dan dukungan regulasi dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang bioteknologi, khususnya rekayasa genetik yang telah berkontribusi dalam dunia medis. Salah satu jenis terapi berbasis sel yaitu metode Cluster of Regularly Interspaced Short Palindromic Repeats (CRISPR), merupakan metode rekayasa genetik yang memungkinkan dapat memodifikasi DNA dengan tujuan memperbaiki kelainan DNA.
Rekayasa genetik terhadap embrio merupakan salah satu produk bioteknologi yang dihasilkan dari metode CRISPR. Di Cina, seorang ilmuwan telah melakukan rekayasa genetik sebuah embrio menggunakan metode CRISPR, tentunya hal yang dilakukan oleh ilmuwan tersebut menuai pro dan kontra, karena melakukan rekayasa genetik embrio dinilai tidak etis.
Mengenal Rekayasa Genetik Embrio
Rekayasa genetik embrio merupakan modifikasi genom, yaitu melakukan pengubahan DNA suatu organisme dengan tujuan untuk membuat perubahan pada susunan DNA, sehingga berpotensi memperbaiki kelainan genetik, memperkuat karakteristik tertentu, atau bahkan mencegah timbulnya penyakit. Dalam konteks rekayasa genetika pada embrio, proses ini mencakup penyuntingan materi genetik sejak tahap awal perkembangan, guna memastikan tercapainya komposisi genetik yang diharapkan. Biasanya rekayasa genetik embrio dilakukan dengan menggunakan metode CRISPR. Metode ini memiliki keunggulan yaitu, akurasi yang tinggi, teknik yang lebih mudah, dan biaya yang relatif murah. Sehingga, metode CRISPR sering digunakan dalam melakukan rekayasa genetik gen maupun genom.
Namun, menurut pendapat ahli kardiologi dan genetika Kiran Musunuru dari University of Pennsylvania yang dilansir dari laman Tempo, menyatakan bahwa CRISPR yang sering dirujuk sebagai gunting molekuler memiliki masalah dengan presisi, dikarenakan DNA yang telah dipotong kemudian disambungkan kembali, sering memberikan hasil yang tidak sempurna dan membuatnya kehilangan komponen DNA, sehingga hal ini dapat memengaruhi gen di sekitarnya yang dapat menghapus untai kromosom dan menyebabkan masalah pada perkembangan tubuh. Lebih lanjut, Kiran Musunuru menjelaskan bahwa terdapat temuan yang perlu diwaspadai, yaitu munculnya kondisi mosaicism, yakni ketika perubahan genetik yang terjadi tidak seragam di setiap sel, sehingga menimbulkan dampak yang sulit diprediksi.
Baca juga: Mengenal Terapi RNA sebagai Inovasi Dunia Kesehatan
Legalitas Rekayasa Genetik Embrio
Di samping itu, penggunaan CRISPR untuk memodifikasi sel germline dan embrio manusia masih dilarang karena belum tersedia mekanisme regulasi yang dianggap aman. Salah satu kekhawatiran utama yang sering dibahas mengenai rekayasa genom ini adalah potensi penyalahgunaan teknologi tersebut untuk peningkatan kemampuan manusia (enhancement), bukan semata-mata untuk pengobatan penyakit.
Kekhawatiran tersebut terjadi karena adanya perubahan genom dapat diturunkan kepada generasi berikutnya, serta penerapannya untuk tujuan enhancement berpotensi menimbulkan masalah eugenika, yakni upaya mengontrol proses reproduksi guna memperbaiki mutu genetik manusia. Anak-anak yang dilahirkan melalui metode ini mungkin memiliki keunggulan fisik dan mental dibandingkan individu lainnya, yang pada akhirnya dapat memperlebar kesenjangan dalam masyarakat. Selain itu, terkait mekanisme persetujuan (informed consent) terhadap embrio yang dijadikan subjek rekayasa, dikhawatirkan akan memunculkan dampak negatif terhadap tanggung jawab atas risiko dari rekayasa genetik embrio terhadap tumbuh kembang anak.
Sebagai contoh, seorang Ilmuwan asal Cina yang bernama Profesor He Jiankui telah melakukan rekayasa genetik embrio terhadap bayi kembar. Profesor He mengklaim telah mengubah DNA embrio sepasang bayi perempuan kembar bernama Lulu dan Nana, dengan maksud mencegah keduanya terkena HIV. Namun, hal ini mengundang banyak kecaman dari pakar bioteknologi dunia salah satunya adalah Profesor Julian Savulescu selaku pakar etika Universitas Oxford, yang menyatakan bahwa eksperimen yang dilakukan Profesor He Jiankui adalah eksperimen yang buruk, karena dapat dapat berpotensi menimbulkan risiko bahaya bagi kesehatan anak yang lahir dari rekayasa genetik.
Selain itu, atas eksperimen yang dilakukan oleh Profesor He Jiankui. Pemerintah Cina menilai eksperimen ini merupakan bentuk pelanggaran hukum. Sehingga Profesor He Jiankui dinyatakan bersalah karena telah melanggar larangan pemerintah dengan melakukan eksperimen terhadap embrio manusia, dengan dalih memberikan perlindungan terhadap virus HIV dan dihukum tiga tahun penjara serta membayar denda tiga juta yuan atau senilai 5,9 miliar rupiah.
Di Indonesia, melalui UU Kesehatan khususnya dalam Pasal 135 ayat (3) melarang adanya pengobatan/terapi berbasis sel yang dilakukan untuk tujuan reproduksi. Walaupun hal ini tidak merujuk secara langsung dengan metode CRISPR, namun secara tidak langsung melakukan pengobatan/terapi sel dengan maksud reproduksi adalah suatu yang dilarang. Sebagaimana dijelaskan lebih lanjut dalam ketentuan Pasal 135 ayat (4), menyatakan “Sel punca sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak boleh berasal dari sel punca embrionik”.
Rekayasa genetik pada embrio, khususnya melalui teknologi CRISPR, menawarkan potensi besar dalam memperbaiki kelainan genetik dan mencegah penyakit sejak dini, namun juga menimbulkan berbagai risiko dan dilema etis. Meskipun metode ini dikenal efektif dan terjangkau, para ahli mengkhawatirkan efek samping seperti ketidaksempurnaan rekayasa DNA dan mosaicism yang dampaknya sulit diprediksi. Selain itu, persoalan legalitas dan etika masih menjadi sorotan, terutama terkait potensi penyalahgunaan untuk peningkatan karakter manusia (enhancement), ketimpangan sosial, dan absennya mekanisme persetujuan yang memadai dari subjek yang belum lahir.***
Baca juga: Menggali Potensi Biofarmasi: Masa Depan Industri Kesehatan Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
Referensi:
- Ketahui Fakta CRISPR, Teknik Edit DNA Bayi yang Ramai Dibicarakan. Halodoc. (Diakses pada tanggal 04 Agustus 2025 pukul 11.32 WIB).
- Cerita Rekayasa Genetik Manusia Pertama: Amy, Lulu, dan Nana dari Cina. Tempo. (Diakses pada tanggal 04 Agustus 2025 pukul 11.37 WIB).
- Genetic Modification of Embryos. American Surrogacy. (Diakses pada tanggal 04 Agustus 2025 pukul 12.12 WIB).
- Isu Etika Dari Pengeditan Genetik. Alomedika. (Diakses pada tanggal 04 Agustus 2025 pukul 13.23 WIB).
- Cina Hentikan Penelitian Bayi Hasil Rekayasa Genetik. BBC. (Diakses pada tanggal 05 Agustus 2025 pukul 10.23 WIB).
- Pemerintah Cina Hukum Ilmuwan yang Ciptakan Bayi Hasil Rekayasa Genetik Tiga Tahun Penjara. BBC. (Diakses pada tanggal 05 Agustus 2025 pukul 10.30 WIB).