Dalam dunia kesehatan, terdapat berbagai unsur yang saling melengkapi satu sama lain, seperti dokter, tenaga kesehatan, fasilitas kesehatan, serta pasien. Bicara soal dunia kesehatan, Indonesia merupakan negara yang pemerataan kualitas sarana dan prasarana kesehatannya belum tercapai.

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) terdapat 3.072 rumah sakit di seluruh Indonesia di tahun 2022. Jumlah itu hanya meningkat 0,99% dibandingkan tahun sebelumnya sebanyak 3.042 unit. Sebanyak 2.561 unit merupakan rumah sakit umum (RSU). Sisanya 511 unit merupakan rumah sakit khusus (RSK).

Meskipun terjadi pertambahan jumlah Puskesmas dan Rumah Sakit dari tahun ke tahun, namun jumlahnya tidak sebanding dengan populasi penduduk Indonesia sebanyak 267 juta jiwa.

Berdasarkan Pasal 28 H ayat (1) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merumuskan:

“Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.”

Sementara berdasarkan Pasal 34 ayat (3) UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945, merumuskan:

“Negara bertanggungjawab atas penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan dan fasilitas pelayanan umum yang layak.”

Konstitusi secara tegas sudah menyatakan bahwa Indonesia menjamin hak bagi seluruh warga negara untuk memperoleh layanan kesehatan. Berdasarkan konstitusi itu pula pemerintah mengembang tanggung jawab menyediakan fasilitas dan sarana kesehatan yang layak bagi seluruh warga negara, tanpa terkecuali.

Selain itu, pemerintah wajib menjamin hak dokter dan tenaga kesehatan yang turut berjibaku dalam rangka memberikan pelayanan kesehatan. Menurut Prof. H.J.J Leenen (1981, 20), terdapat dua hak individu dalam bidang kesehatan, yaitu:

  • right to health care, yaitu hak atas pemeliharaan kesehatan; dan
  • right to self determination, yaitu hak untuk menentukan nasib sendiri.

Dalam hal ini, seseorang yang berkecimpung di dunia kesehatan seperti dokter dan tenaga kesehatan memiliki hak untuk mendahulukan kesehatan dirinya dalam hal sebagai pemberi layanan kesehatan bagi orang lain (pasien).

Berdasarkan Pasal 50 UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, dokter atau dokter gigi dalam melaksanakan praktik kedokteran mempunyai hak-hak sebagai berikut:

  • Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi dan standar prosedur operasional; 
  • Memberikan pelayanan medis menurut standar profesi dan standar prosedur operasional;
  • Memperoleh informasi yang lengkap dan jujur dari pasien atau keluarganya; dan
  • Menerima imbalan jasa.

Serta berdasarkan Pasal 57 UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, tenaga kesehatan dalam menjalankan praktik mempunyai hak-hak sebagai berikut:

  1. Memperoleh perlindungan hukum sepanjang melaksanakan tugas sesuai dengan standar profesi, standar pelayanan profesi, dan standar prosedur operasional;
  2. Memperoleh informasi yang lengkap dan benar dari penerima pelayanan kesehatan atau keluarganya;
  3. Menerima imbalan jasa;
  4. Memperoleh pelindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia, moral, kesusilaan, serta nilai-nilai agama;
  5. Mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan profesinya;
  6. Menolak keinginan penerima pelayanan kesehatan atau pihak lain yang bertentangan dengan standar profesi, kode etik, standar pelayanan, standar prosedur operasional, atau ketentuan peraturan perundang-undangan; dan
  7. Memperoleh hak lain sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Perlindungan dan hak pasien terkatub dalam Pasal 52 UU Praktek Kedokteran, yaitu sebagai berikut:

  • Mendapatkan penjelasan secara lengkap tentang tindakan medis sebagaimana dimaksud dalam Pasal  45 ayat (3);
  • Meminta pendapat dokter atau dokter gigi lain;
  • Mendapatkan pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis;
  • Menolak tindakan medis; dan
  • Mendapatkan isi rekam medis

Menurut Ruud Verberne (Universitas Indonesia 1990), terdapat hak-hak asasi pribadi subyek hukum yaitu pasien, seperti:

  • Hak untuk hidup;
  • Hak untuk mati secara wajar;
  • Hak atas penghormatan terhadap integritas badaniah dan rohaniah; dan
  • Hak atas tubuh sendiri.

Berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran dan UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan, dapat diketahui bahwa dokter, pasien, dan tenaga kesehatan sama-sama memiliki hak untuk memperoleh perlindungan hukum dalam hal pemberian dan penerimaan layanan kesehatan.

Lantas, apa yang dimaksud dengan perlindungan hukum tersebut? Menurut C.S.T Kansil (1989, 40), dalam bukunya yang berjudul Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Indonesia, perlindungan hukum adalah segala upaya hukum yang harus diberikan oleh aparat penegak hukum demi memberikan rasa aman, baik secara pikiran maupun fisik dari gangguan dan berbagai ancaman dari pihak manapun.

Selanjutnya, menurut Soerjono Soekanto (2004, 42), terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi penegakan hukum, diantaranya yaitu a) faktor hukumnya sendiri, yakni undang-undang; b) faktor penegak hukum, yakni pihak yang membuat maupun melaksanakan penegakan hukum; c) faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum; d) faktor masyarakat, yakni tempat di mana hukum tersebut berlaku; serta e) faktor kebudayaan, yakni hal yang menjadi pedoman dalam bersikap tindak.

Dari segi undang-undang, terdapat undang-undang yang berfungsi sebagai pelindung hukum dalam hal memberikan kepastian hukum bagi dokter dan pasien, yaitu UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran, tepatnya pada Pasal 3 UU ini yang merumuskan bahwa pengaturan praktik kedokteran bertujuan untuk:

  • Memberikan perlindungan kepada pasien;
  • Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan medis yang diberikan oleh dokter dan dokter gigi; dan
  • Memberikan kepastian hukum kepada masyarakat, dokter dan dokter gigi.

Begitupun dengan tenaga kesehatan yang juga telah dijamin dalam hal perlindungan hukum oleh UU Nomor 36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan.

Sementara, lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa medis dalam rangka penegakan disiplin kedokteran di Indonesia yaitu Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia atau MKDKI yang juga diatur berdasarkan UU Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran. Berdasarkan Pasal 1 angka 14 UU Praktik Kedokteran, Majelis Kehormatan Disiplin Kedokteran Indonesia adalah lembaga yang berwenang untuk menentukan ada tidaknya kesalahan yang dilakukan dokter dan dokter gigi dalam penerapan disiplin ilmu kedokteran dan kedokteran gigi, dan menetapkan sanksi.

Apabila terjadi kasus pelanggaran disiplin kedokteran, maka MKDKI berhak menerima pengaduan, memeriksa, dan memutuskan kasus tersebut. Majelis kehormatan memiliki hak menjatuhkan sanksi kepada pihak dokter yang melakukan pelanggaran disiplin kedokteran. Akan tetapi, perlu diketahui bahwa sanksi yang dapat dijatuhkan oleh MKDKI adalah sanksi disiplin, bukan sanksi hukum. Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat 3 UU Nomor 29 Tahun 2004, yang menyatakan bahwa sanksi disiplin tersebut dapat berupa:

  1. Pemberian peringatan tertulis;
  2. Rekomendasi pencabutan surat tanda registrasi atau surat izin praktik; dan/atau
  3. Kewajiban mengikuti pendidikan atau pelatihan di institusi pendidikan kedokteran atau kedokteran gigi.

Selain MKDKI yang merupakan lembaga yang berwenang dalam penegakan disiplin kedokteran, terdapat pula lembaga yang berwenang dalam penyelesaian sengketa medis dalam rangka penegakan etika kedokteran di Indonesia, yaitu Majelis Kehormatan Etik Kedokteran atau MKEK. Berdasarkan Pasal 1 angka 3 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, MKEK adalah salah satu unsur pimpinan dalam struktur kepengurusan IDI di setiap tingkatan, bersifat otonom dan berperan serta bertanggung jawab dalam pembinaan, pelaksanaan, pengawasan dan penilaian dalam pelaksanaan etika kedokteran termasuk perbuatan anggota yang melanggar kehormatan dan tradisi luhur kedokteran.

Secara umum dapat disimpulkan bahwa MKEK memiliki wewenang untuk memeriksa, menyidangkan, dan membuat putusan pada kasus pelanggaran etika yang dilakukan oleh dokter. Berdasarkan Pasal 29 Pedoman Organisasi dan Tatalaksana Majelis Kehormatan Etik Kedokteran, MKEK juga berhak menjatuhkan sanksi terhadap kasus pelanggaran etika kedokteran. Sanksi tersebut terbagi menjadi 4 kategori sebagai berikut:

  1. Kategori satu bersifat murni pembinaan, yaitu:
  • Membuat refleksi diri secara tertulis.
  • Mengikuti workshop etika yang ditentukan MKEK.
  • Mengikuti modul etik yang sedang berjalan di FK yang ditunjuk oleh MKEK.
  • Mengikuti program magang bersama panutan selama 3 (tiga) bulan.
  • Kerja sosial pengabdian profesi di institusi kesehatan yang ditunjuk MKEK tidak lebih dari tiga bulan.
  1. Kategori dua bersifat penginsafan tanpa pemberhentian keanggotaan, yaitu:
  • Rekomendasi pemberhentian jabatan tertentu kepada pihak yang berwenang.
  • Pemberhentian dari jabatan di IDI dan organisasi di bawah IDI serta pelarangan menjabat di IDI dan organisasi di bawah IDI untuk satu periode kepengurusan.
  • Kerja sosial pengabdian profesi di institusi kesehatan yang ditunjuk MKEK dalam kurun waktu 6-12 bulan.
  • Mengikuti program magang bersama panutan selama 6-12 bulan.
  1. Kategori tiga bersifat penginsafan dengan pemberhentian keanggotaan sementara beserta pencabutan sementara hak dan kewenangan profesi sebagai dokter di Indonesia sekurang-kurangnya 12 bulan, yang berimplikasi pada:
  • Kehilangan hak dan kewenangan melakukan praktik kedokteran,
  • Kehilangan hak dan kewenangan menjadi pengurus dan anggota IDI dan seluruh organisasi di bawah IDI.
  • Kehilangan hak dan kewenangan menyandang suatu jabatan publik yang menyaratkan dijabat seorang dokter aktif.
  • Surat Tanda Registrasi dan status di Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) menjadi non-aktif.
  1. Kategori empat bersifat pemberhentian keanggotaan tetap dan juga hilangnya seluruh hak dan kewenangan secara tetap sesuai penjabaran dalam kategori tiga. 

Selain melalui MKDKI dan MKEK, penyelesaian sengketa medis yang melawan hukum dapat dilakukan melalui pengadilan pidana atau pengadilan perdata.

Oleh karena itu, berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang erat antara dokter dan tenaga kesehatan sebagai pemberi layanan kesehatan, pasien sebagai penerima layanan kesehatan, serta fasilitas kesehatan sebagai sarana penunjang layanan kesehatan yang dijamin kesediaannya oleh pemerintah. 

Peran hukum dalam menjalankan fungsi regulasi pun telah terlaksana guna mewujudkan kepastian, kemanfaatan, dan keadilan dalam dunia kesehatan di Indonesia. 

Hal tersebut terbukti dengan adanya pengaturan dan penjaminan hak dan kewajiban dokter, tenaga kesehatan, pasien, serta pemerintah sebagai penyedia fasilitas kesehatan. Perlu adanya kerjasama secara sinergis antara dokter, tenaga kesehatan, pasien, dan juga pemerintah guna mewujudkan kesinambungan dan perubahan yang semakin baik bagi dunia kesehatan di Indonesia.[]

Author / Contributor:

Aldi Pujasakti, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975