Dokumen digital atau tanda tangan digital saat ini lebih populer dan keberadaannya semakin maraknya digunakan dalam kegiatan perekonomian yang memanfaatkan internet sebagai media komunikasi. Dalam perkembangannya, penggunaan tanda tangan digital mulai menggeser keberadaan tanda tangan konvensional yang biasa digunakan dalam perjanjian di atas media kertas. 

Tanda tangan digital mulai marak digunakan pada saat Indonesia dilanda pandemi Covid-19. Upaya ini seakan menjadi solusi saat pemerintah menerapkan kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat atau PPKM. Namun penggunaan tanda tangan digital harus memenuhi persyaratan seperti yang diatur oleh undang-undang dan peraturan pemerintah lainnya. 

Syarat Keabsahan Tanda Tangan Elektronik 

Menurut sistem HIR/RBG dalam acara perdata yang dikutip dari website e-journal.fh.unmul.ac.id, hakim terikat pada alat-alat bukti yang sah, yang berarti hakim hanya boleh mengambil keputusan berdasarkan alat-alat bukti yang ditentukan oleh undang-undang saja (HIR/RBG). 

Dalam Undang-Undang No. 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), keberadaan tanda tangan digital diatur dalam sejumlah pasal, antara lain Pasal 1 angka 12, pasal 5 ayat (1), pasal 5 ayat (2) dan Pasal 5 ayat (3). Pasal-pasal tersebut menjadi dasar keabsahan tanda tangan elektronik dan sebagai alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. 

Menurut pasal 11 ayat (1) UU ITE menjelaskan bahwa, Tanda Tangan elektronik dianggap sah apabila memenuhi syarat sebagai berikut:

  1. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik terkait hanya kepada Penanda Tangan;
  2. Data pembuatan Tanda Tangan Elektronik pada saat proses penandatanganan elektronik hanya berada dalam kuasa Penanda Tangan;
  3. Segala perubahan terhadap Tanda Tangan Elektronik yang terjadi setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  4. Segala perubahan terhadap Informasi Elektronik yang terkait dengan Tanda Tangan Elektronik tersebut setelah waktu penandatanganan dapat diketahui;
  5. Terdapat cara tertentu yang dipakai untuk mengidentifikasi siapa Penandatangannya;
  6. Terdapat cara tertentu untuk menunjukkan bahwa Penandatangan telah memberikan persetujuan terhadap Informasi Elektronik yang terkait.

Berdasarkan Pasal 61 (3) Peraturan Pemerintah No. 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggara Sistem Elektronik tanda tangan elektronik harus memenuhi syarat sebagai berikut:  

  1. Seluruh proses pembuatan Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik dijamin keamanan dan kerahasiaannya oleh Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda Tangan Elektronik; 
  2. Jika menggunakan kode kriptografi, Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik harus tidak dapat dengan mudah diketahui dari data verifikasi Tanda Tangan Elektronik melalui penghitungan tertentu, dalam kurun waktu tertentu, dan dengan alat yang wajar; 
  3. Data Pembuatan Tanda Tangan Elektronik tersimpan dalam suatu media elektronik yang berada dalam penguasaan Penanda Tangan; dan 
  4. Data yang terkait dengan Penandatangan wajib tersimpan di tempat atau sarana penyimpanan data, yang menggunakan sistem terpercaya milik Penyelenggara Tanda Tangan Elektronik atau Pendukung Layanan Tanda. 

Dalam pembuatan tanda tangan elektronik dalam dokumen digital, metode dan juga teknik yang digunakan sangat menentukan, agar terciptanya informasi elektronik yang akurat dan aman. 

Penggunaan teknik kriptografi adalah penggunaan yang sangat aman mengingat menggunakan aplikasi dari kunci public antara lain kunci persetujuan (key agreement), kerahasisaan data (data encryption) dan tanda tangan digital (digital signature)

Tanda Tangan Elektronik Menurut UU No. 30 tahun 2004 tentang Jabatan Notaris

Kekuatan pembuktian dari dokumen digital diakui esensinya setelah diatur di dalam UU ITE. Tanda tangan digital kedudukannya sama dengan kekuatan pembuktian akta otentik yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang.

Namun aturan ini bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 7 Undang-Undang No. 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris. Pasal itu menyatakan bahwa “akta notaris yang selanjutnya disebut akta adalah akta otentik yang dibuat oleh atau di hadapan Notaris menurut bentuk dan tata cara yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini.” 

Akibat terjadi suatu pertentangan aturan tersebut, maka apabila salah satu pihak mengajukan gugatan dengan alat bukti dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sebagai alat bukti, maka di dalam menyelesaikan sengketa di pengadilan, hakim dituntut untuk berani melakukan terobosan hukum, karena hakim yang paling berkuasa dalam memutuskan suatu perkara yang didasarkan atas suatu peraturan hukum tertulis atau tidak tertulis.

Tanda Tangan Elektronik Menurut UU ITE 

Agar tanda tangan elektronik pada suatu dokumen elektronik dapat mempunyai kekuatan pembuktian di pengadilan, maka harus mendaftarkan tanda tangan elektronik tersebut kepada Certification Authority (CA). Tanda tangan digital yang telah memperoleh sertifikat dari lembaga Certification Authority (CA), akan lebih terjaminya otentikasi dari sebuah dokumen, dan sangat sulit dipalsukan lantaran menggunakan teknologi kriptografi asimetris. 

Apabila ada pertentangan antara satu undang-undang dengan undang-undang lainnya, maka hakim berpatokan pada asas lex specialis derogate lex generalis, artinya undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Dalam hal ini UU ITE menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. 

Kesimpulan 

Tanda tangan digital merupakan tanda tangan elektronik yang menggunakan teknik kriptografi dimana tanda tangan tersebut harus memuat informasi-informasi mengenai pemilik tanda tangan tersebut. UU ITE menjelaskan bahwa tanda tangan memiliki akibat hukum yang sah jika memenuhi enam syarat. Pada dasarnya penggunaan digital signature sebagai alat bukti harus harus menjamin empat hal yaitu keaslian dari sebuah tanda tangan (Aunthentication), keutuhan (Integerity), anti penyangkalan (Non-Reputaion), dan kerahasian (Confidentiality). Terpenuhinya empat hal ini akan menjadi sertifikat elektronik yang kemudian dapat digunakan sebagai alat bukti dalam beracara.

Namun apabila melihat perbandingan antara UU ITE dengan UU Jabatan Notaris, notaris dalam pembuatan akta itu sendiri harus datang, melihat dan mendengar dalam setiap pembuatan akta dan ditandatangani oleh notaris itu sendiri Harus tanda tangan asli dari notaris dan para penghadap bukanlah tanda tangan elektronik yang ditorehkan dalam akta tersebut karena dalam hukum pembuktian tidaklah sah.

Namun adanya asas lex specialis derogate lex generalis, artinya undang-undang yang bersifat khusus menyampingkan undang-undang yang bersifat umum. Dalam hal ini UU No. 11 Tahun 2008 menyampingkan UU Jabatan Notaris. Maka kekuatan pembuktian dokumen elektronik yang ditandatangani dengan tanda tangan elektronik sama dengan akta otentik.

Baca Juga: Perlindungan Konsumen Dalam Bisnis E-Commerce