Ketergantungan akan energi fosil menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan. Ketergantungan akan energi fosil khususnya pada batu bara, minyak, dan gas memiliki dampak yang tidak terlalu signifikan bagi perekonomian. Peralihan ke ekonomi yang lebih berkelanjutan justru menciptakan banyak dampak positif terhadap PDB, kesempatan kerja, penerimaan Negara dan menurunkan angka ketimpangan. Green economy (ekonomi hijau) diartikan sebagai sistem ekonomi yang fokus mengembangkan dan memanfaatkan sumber daya secara berkelanjutan, dengan meminimalkan dampak negatif terhadap lingkungan dengan memanfaatkan dan menerapkan energi terbarukan, efisiensi energi, pengelolaan limbah yang lebih baik, dan pertanian berkelanjutan. Untuk mendukung transformasi perekonomian Indonesia menjadi green economy, kebijakan ini mengedepankan proses transisi penggunaan energi fosil menjadi Energi Baru Terbarukan (EBT) dengan tujuan meminimalisir pengurangan emisi karbon.
Landasan Hukum dalam Pengelolaan Energi Hijau Nasional dan Pengembangan Energi Hijau
Energi terbarukan yang dikenalkan dengan istilah energi hijau merupakan energi yang dihasilkan dari sumber daya alami seperti panas bumi, aliran air, dan angin yang dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”), Pasal 2 menegaskan bahwa:
“Energi dikelola berdasarkan asas kemanfaatan, rasionalitas, efisiensi, berkeadilan, peningkatan nilai tambah, berkelanjutan, kesejahteraan masyarakat, pelestarian fungsi lingkungan, ketahanan nasional, dan keterpaduan dengan mengutamakan kemampuan nasional”
Kemudian, dalam Pasal 21 ayat (1) UU Energi memberikan kewajiban bagi Pemerintah dan Pemerintah Daerah untuk meningkatkan pemanfaatan energi terbarukan, dengan tujuan untuk:
- mengoptimalkan seluruh potensi sumber daya energi;
- mempertimbangkan aspek teknologi, sosial,ekonomi, konservasi, dan lingkungan; dan
- memprioritaskan pemenuhan kebutuhan masyarakat dalam peningkatan kegiatan ekonomi di daerah penghasil sumber energi.
Kemudian Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 79/2014”) pun mengatur mengenai kebijakan energi nasional yang menjadi pedoman dalam pengelolaan energi hingga tahun 2050. PP ini menargetkan peningkatan porsi EBT menjadi minimal 23% pada tahun 2025 dan minimal 31% pada tahun 2050 dengan catatan sepanjang perekonomian terpenuhi. Pada Pasal 11 ayat (1) PP 79/2014 menguraikan terkait pelaksanaan pengembangan energi sebagaimana pasal tersebut berbunyi:
“Prioritas pengembangan energi dilakukan melalui:
- Pengembangan energi dengan mempertimbangkan keseimbangan keekonomian energi, keamanan pasokan energi, dan pelestarian fungsi lingkungan hidup;
- Memprioritaskan penyediaan energi bagi masyarakat yang belum memiliki akses terhadap energi listrik, gas rumah tangga, dan energi untuk transportasi, industri, dan pertanian;
- Pengembangan energi dengan mengutamakan penggunaan sumber daya energi setempat;
- Pengembangan energi dan sumber daya energi diprioritaskan untuk memenuhi kebutuhan energi dalam negeri; dan
- Pengembangan industri dengan kebutuhan energi yang tinggi diprioritaskan di daerah yang kaya sumber daya energi.”
Selanjutnya, pada Pasal 12 ayat (1) PP 79/2014 menjelaskan terkait pemanfaatan sumber daya energi terbarukan yang dilakukan oleh Pemerintah dan/atau Pemerintah Daerah mengacu pada beberapa strategi, yakni sebagai berikut:
- pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis Energi aliran dan terjunan air, Energi panas bumi, Energi gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut, dan Energi angin diarahkan untuk ketenagalistrikan;
- pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis Energi sinar matahari diarahkan untuk ketenagalistrikan, dan Energi non listrik untuk industri, rumah tangga, dan transportasi;
- pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis bahan bakar nabati diarahkan untuk menggantikan bahan bakar minyak terutama untuk transportasi dan industri;
- pemanfaatan Sumber Energi Terbarukan dari jenis bahan bakar nabati dilakukan dengan tetap menjaga ketahanan pangan;
- pemanfaatan Energi Terbarukan dari jenis biomassa dan sampah diarahkan untuk ketenagalistrikan dan transportasi;
- pemanfaatan minyak bumi hanya untuk transportasi dan komersial yang belum bisa digantikan dengan Energi atau Sumber Energi lainnya;
- pemanfaatan Sumber Energi gas bumi untuk industri, ketenagalistrikan, rumah tangga, dan transportasi, diutamakan untuk pemanfaatan yang memiliki nilai tambah paling tinggi;
- pemanfaatan Sumber Energi batubara untuk ketenagalistrikan dan industri;
- pemanfaatan Sumber Energi Baru berbentuk cair yaitu batubara tercairkan (liquified coal) dan hidrogen untuk transportasi;
- pemanfaatan Sumber Energi Baru berbentuk padat dan gas untuk ketenagalistrikan;
- pemanfaatan Sumber Energi berbentuk cair di luar liquified petroleum gas diarahkan untuk sektor transportasi;
- pemanfaatan Sumber Energi gerakan dan perbedaan suhu lapisan laut didorong dengan membangun percontohan sebagai langkah awal yang tersambung dengan jaringan listrik;
- peningkatan pemanfaatan Sumber Energi sinar matahari melalui penggunaan sel surya transportasi, industri, gedung komersial, dan rumah tangga; dan
- pemaksimalan dan kewajiban pemanfaatan Sumber Energi sinar matahari dilakukan dengan syarat seluruh komponen dan sistem pembangkit Energi sinar matahari dari hulu sampai hilir diproduksi di dalam negeri secara bertahap.
Green Inflation sebagai Tantangan dalam Pengembangan Energi Hijau
Green Inflation merupakan peningkatan harga barang dan jasa akibat dari kebijakan dan praktik ekonomi hijau (green economy) yang menciptakan proses produksi dan distribusi yang ramah lingkungan. Walaupun green inflation memiliki dampak yang positif bagi kelangsungan lingkungan hidup, namun tidak dapat dipungkiri bahwa fenomena green inflation menimbulkan dampak negatif bagi produsen dan konsumen dalam kegiatan ekonomi dikarenakan hal tersebut berhubungan dengan naiknya harga barang dan jasa dalam proses produksi dan distribusi yang memakan biaya yang cukup besar. Dari sisi produsen, green inflation memiliki dampak dalam peningkatan biaya produksi, sehingga produsen memerlukan biaya yang besar untuk dapat menyesuaikan teknologi dalam proses produksi yang ramah lingkungan. Tentu hal tersebut berdampak pada penurunan keuntungan margin bagi perusahaan. Sedangkan dari sisi konsumen, green inflation memiliki dampak terhadap penurunan kemampuan konsumen dalam membeli barang dan jasa dikarenakan harga barang dan jasa dari yang dihasilkan dari proses produksi ramah lingkungan cenderung lebih tinggi akibat dampak biaya produksi yang meningkat.
Untuk mengatasi tantangan tersebut diperlukan beberapa cara, diantaranya:
- Membuat kebijakan fiskal dan moneter yang sesuai dalam menekan inflasi yang dihasilkan dari transisi menuju green economy. Hal ini bisa dilakukan melalui pengurangan pajak atau kebijakan moneter yang mendukung investasi dalam energi terbarukan.
- Mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil dan beralih ke sumber energi bersih dan terbarukan dapat membantu mengurangi tekanan inflasi yang terkait dengan harga energi.
- Meningkatkan kesadaran akan pentingnya praktik ramah lingkungan dan efisiensi energi dapat membantu mengurangi permintaan akan produk dan layanan yang memiliki dampak lingkungan yang tinggi.
Kontribusi Energi Hijau terhadap Pertumbuhan Ekonomi dan Lapangan Kerja
Dilansir dari laman Greenpeace, transisi ekonomi hijau di Indonesia diperkirakan memberikan dampak hingga Rp 4.376 triliun terhadap ekonomi nasional. Dampak positif green economy di perkirakan akan meningkatkan jumlah lapangan kerja menjadi 19,4 juta di berbagai sektor, diantaranya berkaitan dengan pengembangan energi terbarukan. Sementara itu, pendapatan pekerja secara total dapat bertambah hingga Rp 902,2 triliun berkat transformasi ini. Kemudian, pelaku usaha juga turut diuntungkan dari transformasi green economy. Surplus usaha nasional dari transisi ekonomi hijau diprediksi menembus Rp 1.517 triliun dalam 10 tahun transisi. Selain masyarakat dan pelaku usaha yang diuntungkan, negara mendapatkan manfaat dari keuntungan green economy, yaitu Pajak bersih setelah dikurangi oleh subsidi dapat menyumbang Rp 80 triliun dari sebelumnya Rp 34,8 triliun yang berasal dari ekonomi ekstraktif.
Dengan demikian, Pengembangan energi hijau di Indonesia merupakan langkah strategis dalam menjawab tantangan global perubahan iklim sekaligus meningkatkan ketahanan dan kemandirian energi nasional. Meskipun tantangan green inflation berdampak pada peningkatan biaya produksi dan harga barang, hal ini dapat diatasi melalui kebijakan fiskal dan moneter yang mendukung transisi energi bersih. Walaupun demikian, energi hijau turut membawa dampak positif terhadap perekonomian nasional, seperti penciptaan jutaan lapangan kerja baru, peningkatan pendapatan masyarakat, dan bertambahnya kontribusi pajak negara.
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi
- Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional
Referensi:
- Greenpeace, “Dampak Transisi Ekonomi Hijau Terhadap Perekonomian, Pemerataan, dan Kesejahteraan Indonesia”, 2023, hlm. 1- 3.
- Kolaborasi Tingkatan Energi Hijau, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 12.08)
- Energi Hijau, Solusi Sumber Energi Ramah Lingkungan, PT Graha Mutu Persada (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 13.22)
- Kebijakan Hukum Energi Terbarukan di Indonesia, SIP Law Firm (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 14.29)
- Pengertian Green Inflation dan Dampaknya Terhadap Transisi Energi, Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 14.45)
- “Green Inflation” dan Pemanfaatan Energi Hijau, Antara (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 14.59)
- Apa itu Green Inflation? Ini Pengertian dan Contohnya!, Ajaib (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 15.37)
- Transisi Ekonomi Hijau Untungkan Perekonomian Nasional, Tingkatkan Kesejahteraan Masyarakat, Greenpeace (Diakses pada tanggal 09 Juni 2025 pukul 15.54)