Perkembangan ekonomi dunia, termasuk di kawasan Asia Tenggara dan di negara-negara anggota Association of Southeast Asian Nation (Asean), mengakibatkan semakin menipisnya batas-batas antar negara dalam melakukan kegiatan ekonomi. Para pelaku usaha menjadi semakin mudah melakukan transaksi lintas negara dalam mengembangkan sayap bisnis mereka.

Salah satu persoalan yang mungkin terjadi dari kegiatan tersebut adalah permasalahan  finansial yang berujuang pada kepailitan. Persoalan ini menjadi kompleks ketika pihak debitor pailit memiliki aset yang tersebar di sejumlah negara.

Kata Pailit atau Kepailitan berasal dari bahasa Perancis: “Failite” atau kemacetan, merupakan suatu proses dimana seorang debitor mengalami kesulitan keuangan untuk membayar utangnya kepada kreditornya. Setelah melalui proses pengadilan dan dinyatakan pailit oleh putusan Pengadilan Niaga, harta milik debitor dapat dibagikan kepada para kreditur sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku.

Dalam hukum yang berlaku di Indonesia kepailitan diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Peninjauan Kembali Pembayaran Utang (PKPU). Pasal 1 ayat (1) menyebutkan bahwa “Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang”.

Sedangkan Pasal 21 menyebutkan bahwa “Kepailitan meliputi seluruh kekayaan Debitor pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan”.

Hukum Kepailitan merupakan dasar hukum untuk menyelesaikan permasalahan sengketa yang muncul diantara pihak debitor dan kreditor terkait permasalahan utang yang sudah jatuh tempo. Hal ini dibuktikan dengan adanya kegagalan debitor untuk membayar utangnya kepada lebih dari satu kreditor. Sebagai konsekuensi dari keputusan pailit, pengadilan menunjuk seorang kurator yang akan mengelola seluruh aset milik debitor dan menjualnya melalui balai lelang negara atau dengan penjualan privat.

Muncul persoalan ketika diketahui aset milik debitor pailit ternyata tersebar, tidak hanya di satu negara di mana keputusan pailit itu dijatuhkan. Akan menjadi hal yang sulit bagi kurator untuk mengurus dan mengelola aset tersebut jika keberadaan aset milik debitor berada di luar yurisdiksi negara tempat di mana putusan pailit itu dibacakan. Permasalahan akan bertambah kompleks ketika terjadi persinggungan antara lebih dari satu yuridiksi hukum negara atau lebih dikenal dengan istilah kepailitian lintas batas negara atau cross-border insolvency.

Cross-border insolvency dapat terjadi apabila permasalahan kepailitan tersebut mengandung unsur asing di dalamnya. Pada dasarnya cross-border insolvency terjadi apabila aset atau utang seorang debitur terletak di lebih dari satu negara, atau apabila debitur termasuk jurisdiksi pengadilan dari dua atau lebih negara.

Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 mengenal sita umum terhadap semua kekayaan debitor pailit yang berada di luar wilayah Indonesia. Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 212 yang berbunyi;

“Kreditor yang setelah putusan pernyataan pailit diucapkan, mengambil pelunasan seluruh atau sebagian piutangnya dari benda yang termasuk harta pailit yang terletak di luar wilayah Negara Republik Indonesia, yang tidak diperikatkan kepadanya dengan hak untuk didahulukan wajib mengganti kepada harta pailit segala apa yang diperolehnya”.

Namun pada prakteknya, melakukan sita umum atau eksekusi atas harta yang berada di luar wilayah hukum Indonesia bersifat tidak mengikat.

Permasalahan Eksekusi Harta Pailit Dalam Cross-Border Insolvency

Cross-border insolvency tidak pernah lepas dari permasalahan yang muncul dalam berbagai kasus kepailitan, khususnya yang melintasi yurisdiksi sebuah negara. Persoalan yang kerap dihadapi dalam proses eksekusi tak lepas dari adanya pengakuan (recognition) dan pelaksanaan (enforcement). Dalam hal ini pelaksanaan mengandung arti yang lebih luas dan mendalam jika dibandingkan dengan pengakuan.

Di Indonesia sebagaimana ditentukan dalam Reglement Op De Burgelijke Rechtsvordering pada Pasal 436 Rv menyatakan bahwa kecuali dalam hal-hal yang ditentukan oleh Pasal 724 Kitab Undang-undang Hukum Dagang dan perundangan, tidak dapat dilaksanakan keputusan-keputusan yang diucapkan oleh hakim asing atau pengadilan asing dalam wilayah Republik Indonesia

Hal ini sekaligus menegaskan bahwa keberlakuan putusan pengadilan seperti yang ditentukan Pasal 431 Rv  yang mengatur:

  • Putusan pengadilan di Indonesia hanya berlaku dan berdaya eksekusi di wilayah Indonesia;
  • Tidak mempunyai daya eksekusi di luar negeri;
  • Begitu juga sebaliknya, putusan hakim pengadilan asing tidak mengikat dan tidak diakui di Indonesia.

Dengan merujuk pada Pasal 431 Rv tersebut, maka penulis berpandangan pihak kurator tak bisa melakukan eksekusi atas harta debitor yang berada di luar wilayah yurisdiksi Negara Republik Indonesia. Melaksanakan putusan pengadilan asing di wilayah Indonesia dianggap sebagai pelanggaran terhadap asas kedaulatan negara Indonesia sebagai suatu negara yang merdeka dan berdaulat. Hal tersebut disebabkan berlakunya prinsip teritorialitas yang dianut Indonesia, dimana mengharuskan putusan yang ditetapkan di luar negeri, tidak dapat secara langsung dilaksanakan dalam wilayah lain atas kekuatannya sediri.

Prinsip teritorialitas menyatakan bahwa akibat dari pernyataan pailit, proses dan pengakhiran kepailitan terbatas pada wilayah negara tempat pengadilan yang menangani kepailitan tersebut berada, sehingga putusan pailit suatu negara hanya dapat berlaku pada negara tempat dimana putusan pailit tersebut dikeluarkan.

Kasus kepailitan terhadap benda tidak bergerak yang terletak di luar negeri diatur berdasarkan Hukum Perdata Internasional (HIP) khususnya Pasal 17-18 AB. Pasal ini menyatakan bahwa terhadap barang-barang yang tidak bergerak berlaku undang-undang dan peraturan dari negera atau tempat di mana barang-barang itu berada (AB. 18).

Penyelesaian kasus kepailitan lintas batas negara (cross border insolvency) yang sebelumnya tidak dibuatkan perjanjian mengenai utang piutang yang meliputi penyelesaian sengketa dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu mengikuti proses pengadilan secara umum, menggunakan perjanjian bilateral, melalui hubungan diplomatik, atau menggunakan UNCITRAL Model Law on Cross Border Insolvency with Guide to Enactment. Apabila akan melalui pengadilan secara umum, maka suatu negara harus mengajukan putusan kepailitan yang diputus oleh negara ke negara dimana boedel pailit berada. Proses yang harus dijalani akan lebih rumit jika dalam kasus kepailitan lintas batas negara melibatkan negara yang memiliki sistem hukum yang berbeda.

Perjanjian bilateral antara negara Indonesia dengan negara lain memungkinkan adanya penyelesaian permasalahan  eksekusi  aset pailit debitor yang berada di luar yurisdiksi hukum Indonesia mengingat Undang-undang Kepailitan belum memfasilitasi kewenangan untuk menjangkau aset debitor di luar negeri.

Oleh karena itu menurut penulis harus dibuat cross border insolvency agreement ataupun perjanjian bilateral kepailitan lintas batas negara.

 

Author / Contributor:

 Zerico Sandyaksa, S.H., M.H.

Associate

Contact:

Mail       : zerico@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975