Arbitrase banyak dijadikan pilihan penyelesaian sengketa karena dinilai privat atau prosesnya tertutup serta putusannya membutuhkan waktu lebih singkat dibanding melalui pengadilan. Namun demikian, beberapa contoh arbitrase memiliki kekurangan yakni tidak ada kesempatan untuk mengajukan banding sehingga para pihak yang bersengketa harus memiliki argumentasi yang kuat agar bisa memenangkan perkara. 

Dalam beberapa kasus sengketa yang diselesaikan melalui jalur arbitrase, Pemerintah Indonesia berhasil memenangkan gugatan yang dilayangkan CMP dan PMP Ltd. Kasus ini bergulir sejak tahun 2010 hingga tahun 2019 dimana para penggugat menuduh Pemerintah Indonesia, dalam hal ini Bupati Kutai Timur, melanggar perjanjian bilateral investasi (BIT) RI-UK dan RI-Australia. Pelanggaran yang dimaksud adalah ekspropriasi tidak langsung (indirect expropriation) dan prinsip perlakuan yang adil dan seimbang (fair and equitable treatment). 

Para penggugat meminta pencabutan Kuasa Pertambangan/Izin Usaha Pertambangan Eksploitasi (KP/IUP Eksploitasi) anak perusahaan para penggugat (empat perusahaan Grup R) seluas lebih kurang 350 km persegi, di Kecamatan Busang oleh Bupati Kutai Timur pada tanggal 4 Mei 2010 dengan mengajukan gugatan sebesar USD 1,3 miliar (lebih kurang Rp 18 Triliun). 

Pada tanggal 6 Desember 2016, Tribunal ICSID  yang terdiri dari Professor GKK, MH SC, dan Professor AJB menolak semua gugatan yang diajukan. Mereka mengabulkan klaim Indonesia untuk mendapatkan penggantian biaya berperkara (award on costs) sebesar USD9,4 juta.

Dokumen Palsu

Dalam persidangan, Tribunal ICSID menerima argumen dan bukti-bukti, termasuk pembuktian yang diajukan oleh Pemerintah Indonesia terkait adanya pemalsuan, yang kemungkinan terbesar menggunakan mesin autopen. Yang menarik dari proses penyelesaian kasus ini, terdapat 34 dokumen palsu yang diajukan oleh Para Penggugat dalam persidangan (termasuk izin pertambangan untuk tahapan general survey dan eksplorasi). 

Seolah-olah data itu merupakan dokumen resmi/asli yang dikeluarkan oleh lembaga pemerintahan pusat maupun daerah. Tribunal ICSID sepakat dengan argumentasi Pemerintah Indonesia bahwa  investasi yang bertentangan dengan hukum tidak pantas mendapatkan perlindungan dalam hukum internasional.

Perusahaan C dan P mengajukan gugatan arbitrase pada tahun 2012 dan prosesnya  selesai setelah 7 hari berlangsung. Sidang pemeriksaan keabsahan dokumen (hearing on document authenticity) dilaksanakan di Singapura pada Agustus 2015. Kala itu, Pemerintah Indonesia menyampaikan bukti dan argumen yang kuat sehingga meyakinkan Tribunal ICSID bahwa izin pertambangan yang menjadi dasar klaim investasi C dan P adalah palsu/dipalsukan.

Dalam contoh kasus arbitrase ini Pemerintah Indonesia diwakili oleh Menteri Hukum dan HAM selaku koordinator penerima Kuasa Khusus Presiden RI. Putusan Majelis Tribunal ICSID ini membuktikan dugaan kuat dan pembelaan panjang yang dilakukan oleh Pemerintah Indonesia dalam mempertahankan argumen dan posisinya untuk membuktikan bahwa izin pertambangan yang dimiliki C dan P adalah palsu atau dipalsukan. Hal ini juga memperkuat kebenaran tindakan Pemerintah Kutai Timur pada Tahun 2010 yang telah memutuskan pembatalan atas izin pertambangan kedua perusahaan tersebut sebagaimana dikuatkan oleh Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara di Indonesia.

Dikutip dari www.jamsadr.com,  aturan pembuktian hampir tidak pernah berlaku dalam kasus arbitrase. Dengan demikian hampir semua bukti yang ingin diajukan oleh pihak manapun akan diterima meskipun tidak bisa memberikan nilai lebih. Kecuali bukti tersebut disampaikan oleh orang yang mempunyai pengetahuan yang cukup.

Dalam proses penyelesaian arbitrase, pengumpulan bukti-bukti tanpa melalui proses bertanya merupakan suatu kerja keras yang memerlukan perencanaan dan persiapan saksi yang matang. Jika saksi menyampaikan informasi yang koheren, jelas dan ringkas, maka pemeriksaan langsung akan memiliki dampak yang jauh lebih besar terhadap arbiter.

Baca Juga: Tantangan dalam Proses Arbitrase dan Cara Mengatasinya