Pertumbuhan ekonomi menjadi salah satu faktor pendorong kesejahteraan bangsa. Sehubungan dengan hal ini, sudah sepatutnya menjadi tugas Pemerintah untuk menciptakan iklim persaingan usaha yang sehat guna memberikan kesempatan yang sama bagi setiap pelaku usaha untuk berpartisipasi dalam proses produksi dan pemasaran barang dan/atau jasa di Indonesia. Tebitnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“UU 5/1999”) diharapkan dapat menegakkan aturan hukum dan perlindungan yang sama bagi pelaku usaha.

Pasca berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Ciptaker”), telah merubah beberapa ketentuan dalam UU 5/1999. Secara garis besar hal-hal yang berubah dalam larangan praktek monopoli pasca UU Ciptaker mencakup 3 (tiga) aspek sebagai berikut:

  1. Prosedur pengajuan keberatan putusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (“KPPU”) diajukan melalui Pengadilan Niaga dan tidak lagi diajukan melalui Pengadilan Negeri;
  2. Perubahan ketentuan sanksi administratif dan sanksi pidana pokok; dan
  3. Penghapusan sanksi pidana tambahan yang sebelumnya diatur dalam ketentuan Pasal 49 UU 5/1999.

Sebelumnya, SIP Law Firm telah memuat artikel pembahasan poin 1, yang mana dapat dirujuk pada laman website siplawfirm.id dengan artikel berjudul, “Pengadilan Negeri Tak Lagi Terima Keberatan Terhadap Putusan KPPU”.

Dalam artikel ini akan memfokuskan pembahasan pada perubahan poin ke-2 dan poin ke-3. Pembahasan selengkapnya sebagai berikut:

 

Ketentuan Sanksi Administratif Praktek Monopoli Terbaru
Ketentuan Sanksi Administratif
UU 5/1999UU Ciptaker
 

Pasal 47 ayat (2)

 

 

Tindakan administratif sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat berupa:

a.    penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 sampai dengan Pasal 13, Pasal 15, dan patal 16; dan/atau

b.    perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14; dan/atau

c.     perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktek monopoli dan/atau menyebabkan persaingan usaha tidak sehat dan/atau merugikan masyarakat; dan/atau

d.   perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan; dan/atau

e.    penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28; dan/atau

f.     penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau

g.    pengenaan denda serendah-rendahnya Rp. 1.000.000.000,-  (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 25.000.000.000,- (dua puluh lima miliar rupiah).

 

 

Pasal 47 ayat (2) diubah melalui ketentuan Pasal 118 UU Ciptaker sebagai berikut:

 

Tindakan administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa:

a.    penetapan pembatalan perjanjian sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4, Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, Pasal 12, Pasal 13, Pasal 15, dan Pasal 16;

b.    perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan integrasi vertikal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14;

c.     perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan kegiatan yang terbukti menimbulkan praktik monopoli, menyebabkan persaingan usaha tidak sehat, dan/atau merugikan masyarakat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17, Pasal 18, Pasal 19, Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22, Pasal 23, Pasal 24, Pasal 26, dan Pasal 27;

d.   perintah kepada pelaku usaha untuk menghentikan penyalahgunaan posisi dominan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25;

e.    penetapan pembatalan atas penggabungan atau peleburan badan usaha dan pengambilalihan saham sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28;

f.     penetapan pembayaran ganti rugi; dan/atau

g.    pengenaan denda paling sedikit Rp1.000.000.000,- (satu miliar rupiah).

 

Merujuk pada ketentuan terbaru Pasal 47 ayat (2) setelah UU Ciptaker di atas, diketahui bahwa terdapat perubahan pengenai besaran nilai denda sanksi administratif atas tindakan praktek monopoli. Sebelumnya terdapat kepastian bagi pelaku usaha mengenai nilai maksimum sanksi denda sebesar dua puluh lima miliar rupiah, yang kini telah dihilangkan.

Selanjutnya, pada tanggal 2 Februari 2021 diundangkan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (“PP 44/2021”), yang mengatur lebih lanjut mengenai ketentuan penetapan sanksi administratif berupa denda.

Merujuk kepada ketentuan Pasal 12 ayat (1) PP 44/2021, ketentuan denda paling sedikit sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) merupakan denda dasar, dan pengenaan tindakan administratif berupa denda oleh KPPU dilakukan berdasarkan ketentuan sebagai berikut:

  1. paling banyak sebesar 50% (lima puluh persen) dari keuntungan bersih yang diperoleh pelaku usaha pada Pasar Bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran; atau
  2. paling banyak sebesar 10% (sepuluh persen) dari total penjualan pada Pasar Bersangkutan selama kurun waktu terjadinya pelanggaran.

Merujuk pada ketentuan di atas, maka diketahui bahwa besaran denda sebesar Rp. 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah) merupakan besaran denda dasar, namun adanya kemungkinan bagi pelaku usaha untuk dijatuhkan denda lebih besar dari dua puluh lima rupiah tergantung besaran keuntungan bersih atau hasil penjualan pelaku usaha selama kurun waktu terjadinya pelanggaran.

 

Sanksi Pidana Pelanggaran Praktek Monopoli
Sanksi Pidana Pokok
UU 5/1999UU Ciptaker
 

Ketentuan Pidana Pokok diatur dalam Pasal 48 ayat 1, ayat 2, dan ayat 3.

 

Adapun tindakan yang dapat dikenakan dengan sanksi pidana denda/atau pidana kurungan adalah sebagai berikut:

a.    melakukan perjanjian yang dilarang dalam Bab III contoh perjanjian oligopoli, kartel, dan sebagainya (Pasal 4 – Pasal 16);

b.    melakukan kegiatan yang dilarang dalam Bab IV contoh monopoli, monopsoni, dan sebagainya (Pasal 17 – Pasal 24);

c.     menjadi posisi dominan karena melakukan tindakan-tindakan dalam ketentuan Pasal 25 – Pasal 28); dan

d.    melanggar ketentuan Pasal 41 (pelaku usaha tidak koperatif selama KPPU melakukan pemeriksaan).

 

 

Ketentuan Pasal 48 UU 5/1999 diubah melalui Pasal 118 UU Ciptaker.

 

Perubahan ini mengakibatkan pelanggaran praktek monopoli yang diancam dengan sanksi pidana denda/atau pidana kurungan hanya tindakan pelanggaran ketentuan Pasal 41 mengenai kewajiban pelaku usaha untuk kooperatif dalam hal KPPU melakukan pemeriksaan.

 

 

Ketentuan Pasal 48 ayat (3)

 

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 diancam pidana denda serendah-rendahnya Rp 1,000.000.000,- (satu miliar rupiah) dan setinggi-tingginya Rp. 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan pengganti denda selama-lamanya 3 (tiga) bulan.

 

Ketentuan Pasal 48 UU 5/1999 diubah melalui Pasal 118 UU Ciptaker.

Pelanggaran terhadap ketentuan Pasal 41 diancam pidana denda paling banyak Rp5.000.000.000,- (lima miliar rupiah), atau pidana kurungan paling lama 1 (satu) tahun sebagai pengganti pidana denda.

 

Selanjutnya, dikarenakan ketentuan Pasal 49 UU 5/1999 dihapus, maka pidana tambahan kini tidak diberlakukan. Pidana tambahan yang dimaksud meliputi:

  1. pencabutan izin usaha;
  2. larangan kepada pelaku usaha yang telah terbukti melakukan pelanggaran untuk menduduki jabatan direksi atau komisaris sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dan selama-lamanya 5 (lima) tahun; dan
  3. penghentian kegiatan atau tindakan tertentu yang menyebabkan kerugian pada pihak lain.

 

 

DISCLAIMER

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.