Sengketa lingkungan seringkali terjadi akibat adanya pencemaran atau perusakan lingkungan yang dilakukan oleh individu, masyarakat, perusahaan, maupun pemerintah. Maka dari itu, Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup hadir sebagai regulasi hukum di Indonesia untuk melindungi hak-hak masyarakat yang terdampak, sebagai pengendali lingkungan hidup, serta memberikan pilihan penyelesaian sengketa lingkungan. Di satu sisi, sengketa lingkungan memperburuk kerusakan jika tidak segera ditindak, namun di sisi lainnya sengketa lingkungan menjadi momentum penting untuk memperkuat penegakan hukum lingkungan.

Mekanisme Penyelesaian Sengketa Lingkungan 

Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”) yang dimaksud dengan lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan makhluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta makhluk hidup lain. 

Lingkungan hidup perlu dilindungi dan dilestarikan sebagai bentuk tanggung jawab dalam menjaga keseimbangan ekosistem demi keberlangsungan hidup manusia dan makhluk hidup lainnya. Apabila fungsi lingkungan terganggu akibat adanya pencemaran atau perusakan, maka akan menimbulkan kerugian, baik secara sosial, ekonomi, maupun kesehatan masyarakat. Akibatnya akan timbul sengketa lingkungan yang melibatkan beberapa subjek hukum, seperti pelaku usaha, masyarakat, atau pemerintah. Sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 1 angka 25 UU PPLH yang menyatakan bahwa sengketa lingkungan hidup adalah perselisihan antara dua pihak atau lebih yang timbul dari kegiatan yang berpotensi dan/atau telah berdampak pada lingkungan hidup.

Pada umumnya, sengketa lingkungan terjadi karena adanya aktivitas pembangunan ataupun industri yang melebihi batas daya dukung dan daya tampung lingkungan, seperti aktivitas pertambangan ilegal, penebangan hutan secara liar, maupun aktivitas lain yang mencemari lingkungan. Pada Pasal 91 ayat (1) UU PPLH menjelaskan bahwa masyarakat memiliki hak untuk mengajukan gugatan, baik mewakili diri sendiri ataupun sebagai perwakilan kelompok masyarakat  apabila terdampak kerugian akibat adanya pencemaran atau perusakan lingkungan hidup. Tak hanya masyarakat, namun dalam Pasal 92 ayat (1) UU PPLH pun menyebutkan bahwa organisasi lingkungan hidup berhak mengajukan gugatan demi kepentingan pelestarian fungsi lingkungan hidup.

Pengajuan gugatan yang dilayangkan oleh Penggugat dapat diselesaikan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi sebagaimana tertera dalam Pasal 84 ayat (1) UU PPLH yang berbunyi sebagai berikut:

“Penyelesaian sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan.”

  • Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jalur Non-Litigasi

Penyelesaian sengketa lingkungan dapat dipilih oleh para pihak yang bersengketa secara sukarela. Akan tetapi, pada umumnya penyelesaian sengketa jalur non-litigasi (di luar pengadilan) lebih diutamakan sebelum menempuh jalur litigasi (di pengadilan) dikarenakan penyelesaian sengketa melalui jalur non-litigasi lebih cepat dan efisien. Penyelesaian non-litigasi pada sengketa lingkungan hidup dapat ditempuh melalui:

    • Arbitrase

Penyelesaian sengketa melalui arbitrase didasari atas perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara tertulis oleh para pihak, bersifat tertutup, serta memerlukan bantuan dari arbiter, yakni seorang ahli (atau lebih) yang memiliki kapabilitas untuk memutuskan sengketa berkekuatan hukum.

    • Mediasi

Mediasi merupakan penyelesaian sengketa melalui proses diskusi antar para pihak dengan dibantu oleh mediator sebagai fasilitator untuk mencapai kesepakatan bersama. 

    • Negosiasi

Negosiasi dilakukan dengan cara mengadakan perundingan oleh para pihak yang bersengketa tanpa bantuan dari pihak lain untuk menyerasikan kepentingan masing-masing pihak.

    • Konsiliasi

Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi dilakukan secara kekeluargaan dan membutuhkan konsiliator yang mempertemukan para pihak, berperan aktif dalam hal memberi saran, pendapat, hingga merekomendasikan solusi terbaik yang dapat diterima oleh para pihak bersengketa. 

Tujuan dari dilaksanakan penyelesaian sengketa lingkungan hidup di luar pengadilan adalah untuk mencapai kesepakatan terkait bentuk dan besaran ganti rugi, tindakan pemulihan akibat pencemaran atau perusakan, tindakan tertentu yang menjamin tidak terulang kembali pencemaran atau perusakan, serta tindak pencegahan timbulnya dampak negatif terhadap lingkungan hidup. 

  • Penyelesaian Sengketa Lingkungan Jalur Litigasi

Apabila proses penyelesaian sengketa melalui non-litigasi tidak berhasil, maka pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan perdata ke pengadilan. Sebagaimana hal ini  tertera pada Pasal 84 ayat (3) UU PPLH, yakni:

Gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dipilih dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu atau para pihak yang bersengketa.”

Adapun langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk mengajukan gugatan perkara sesuai prosedur yang telah diatur dalam Hukum Acara Perdata Indonesia adalah sebagai berikut:

    • Tentukan Pihak Tergugat

Sebelum melayangkan gugatan, Penggugat (pihak yang mengajukan gugatan) harus menentukan dan mengidentifikasi pihak yang bertanggung jawab atas pencemaran atau perusakan lingkungan, meliputi: individu atau perusahaan yang merusak lingkungan, maupun pemerintah yang lalai dalam mengawasi pengelolaan lingkungan hidup.

    • Siapkan Alat Bukti

Bukti-bukti sangat penting pada sengketa lingkungan agar dapat membuktikan bahwa benar adanya tindak pencemaran atau perusakan dan pihak yang harus bertanggung jawab. Bukti tersebut dapat berupa: dokumen resmi, saksi ahli, dokumentasi, serta survei dan data ilmiah terkait pencemaran atau perusakan lingkungan.

    • Ajukan Gugatan ke Pengadilan

Gugatan terkait pencemaran atau perusakan lingkungan dapat diajukan ke Pengadilan Negeri di tempat kediaman Tergugat. Untuk mengajukan gugatan, Penggugat harus memenuhi persyaratan, seperti: surat permohonan (gugatan) yang mencantumkan identitas para pihak, kronologi kejadian penyebab sengketa lingkungan, dasar hukum gugatan (posita) dan tuntutan (petitum). Apabila Penggugat menggunakan jasa advokat, maka perlu dilengkapi surat kuasa yang sudah dilegalisir. Setelah gugatan disetujui, maka Penggugat atau kuasanya perlu membayar biaya gugatan (SKUM)

    • Proses Persidangan

Setelah Penggugat mendaftarkan gugatan yang ditandai dengan pemberian nomor perkara oleh pengadilan dan didaftarkan dalam buku register perkara, maka sudah sepatutnya Penggugat dan Tergugat menghadiri sidang sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan. 

    • Putusan Pengadilan dan Eksekusi

Apabila gugatan dikabulkan, maka Tergugat harus menaati perintah yang dikeluarkan oleh pengadilan, berupa ganti rugi atau melakukan tindakan tertentu, tidak lepas tanggung jawab terhadap kewajiban yang diemban, serta membayar uang paksa. Jika Tergugat tidak menjalankan putusan pengadilan, maka Penggugat dapat mengajukan permohonan eksekusi ke pengadilan. 

Baca juga: Mengenal Gugatan Badan Hukum Perdata

Akibat Munculnya Sengketa Lingkungan

Pencemaran atau perusakan lingkungan yang menimbulkan terjadinya sengketa lingkungan dapat berujung pada konflik antara berbagai pihak, baik individu, perusahaan, maupun pemerintah, dalam menentukan pihak mana yang harus bertanggung jawab dan memberikan solusi atas kerusakan yang ditimbulkan.

Sengketa lingkungan muncul karena adanya ketidakseimbangan antara kepentingan sosial, ekonomi, serta ekologi. Hal tersebut mengakibatkan berbagai dampak negatif, seperti:

  • Konflik Antar Para Pihak

Terjadinya sengketa lingkungan sering memicu konflik antara individu dengan perusahaan, masyarakat adat dengan pemerintah, maupun LSM swasta dengan pelaku usaha. Hal tersebut berpotensi menimbulkan aksi protes, pemblokiran proyek, bahkan gugatan hukum. 

  • Proses Hukum yang Berkepanjangan

Sengketa lingkungan dapat ditempuh melalui jalur pengadilan atau di luar pengadilan. Proses ini tentu memakan waktu yang tidak sebentar dan biaya yang tidak terjangkau, serta terkadang menimbulkan ketidakpastian hukum.

  • Kerugian Ekonomi

Sengketa lingkungan memberikan efek negatif terhadap perekonomian bagi pihak yang terlibat, sebagai contohnya adalah masyarakat yang bekerja pada sektor pertanian maupun perikanan dapat kehilangan pekerjaannya, perusahaan dapat dikenakan denda atau penghentian operasional, serta pemerintah yang harus menanggung biaya pemulihan lingkungan.

  • Kerusakan Lingkungan Berkelanjutan

Apabila sengketa lingkungan tidak terselesaikan dengan baik, maka pencemaran maupun kerusakan lingkungan akan terus berlanjut, bahkan semakin parah. Hal ini tentu menghambat upaya pemulihan dan memperburuk degradasi ekosistem.

  • Ketidakpercayaan pada Pemerintah

Pihak pemerintah yang tidak tegas dalam menangani sengketa menimbulkan ketidakpercayaan masyarakat terhadap kinerja pemerintah. Hal ini tentu berbahaya karena dapat mengganggu legitimasi kebijakan lingkungan dan stabilitas sosial.

Tidak hanya dampak negatif yang akan timbul, sengketa lingkungan pun mampu memberikan dampak positif, beberapa diantaranya adalah meningkatkan kesadaran hukum bagi masyarakat, mendorong perubahan terkait regulasi dan kebijakan pemerintah, menggerakkan partisipasi masyarakat dan LSM terhadap keputusan terkait AMDAL, serta memunculkan inovasi dalam resolusi sengketa. 

Oleh karena itu, mengajukan gugatan perdata menjadi langkah yang tepat untuk menyelesaikan sengketa lingkungan dalam rangka menuntut pertanggungjawaban atas pencemaran atau perusakan lingkungan yang ditimbulkan. Berdasarkan UU PPLH, sengketa lingkungan dapat diselesaikan melalui jalur litigasi maupun non-litigasi. Hal ini disesuaikan dengan keinginan para pihak yang bersengketa. Sengketa lingkungan memberikan dampak negatif maupun positif, tergantung bagaimana konflik tersebut diselesaikan***

Baca juga: Peran Pengadilan dalam Penegakan Hukum Perdata

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Potensi Arbitrase dalam Penyelesaian Sengketa Lingkungan Hidup. hukumonline. (Diakses pada 21 April 2025 pukul 11.25 WIB).
  • Mengenal 6 Jenis Penyelesaian Sengketa Non-Litigasi. hukumonline. (Diakses pada 21 April 2025 Pukul 11.30 WIB).
  • Proses Beracara Perkara Perdata. Kemenkeu. (Diakses pada 21 April 2025 Pukul 13.10 WIB).
  • Sawitri, H, W., & Bintoro, R, W. (2010). Sengketa Lingkungan dan Penyelesaiannya. Jurnal Dinamika Hukum, Vol. 10, No. 2, Hal. 163-174. (Diakses pada 21 April 2025 Pukul 13.20 WIB).