Indonesia merupakan salah satu negara eksportir Liquefied Natural Gas (LNG) terbesar di dunia. Pada tahun 2022, total nilai ekspor LNG Indonesia tercatat sebesar USD 6,6 miliar, mengalami peningkatan signifikan dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya mencapai USD 4,6 miliar. Posisi strategis ini menempatkan Indonesia pada jalur penting perdagangan energi global. Namun, ekspor LNG bukanlah sekadar transaksi bisnis biasa, melainkan kegiatan yang tunduk pada ketentuan hukum yang ketat. Hal ini karena gas bumi merupakan sumber daya alam strategis yang pengelolaannya dikontrol penuh oleh negara sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945). Oleh sebab itu, setiap pihak yang terlibat dalam ekspor LNG wajib memahami aturan perizinan dan prosedur hukum yang berlaku.

Kegiatan ekspor LNG diatur melalui berbagai instrumen hukum, mulai dari Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, hingga Peraturan Menteri, khususnya yang dikeluarkan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) serta Kementerian Perdagangan (Kemendag). Persyaratan hukum tersebut meliputi perizinan usaha, penetapan alokasi gas bumi untuk ekspor, hingga penetapan harga gas bumi. Kegagalan memenuhi ketentuan ini dapat berimplikasi pada batalnya kontrak ekspor, sanksi administratif, atau bahkan pidana. Artikel ini akan mengulas secara komprehensif aspek hukum yang harus dipenuhi dalam transaksi ekspor LNG di Indonesia.

 

Ketentuan dalam Ranah Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM)

 

  • Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi

Salah satu persyaratan utama dalam melakukan ekspor LNG adalah kepemilikan Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perizinan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 29/2017), yang menyatakan bahwa kegiatan usaha migas memerlukan sejumlah izin, termasuk izin usaha niaga minyak dan gas bumi.

Lebih lanjut, dalam Pasal 4 ayat (6) Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perizinan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 52/2018) diatur bahwa:

Izin Usaha Niaga Minyak dan Gas Bumi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf f meliputi kegiatan:

    • niaga Minyak Bumi;
    • niaga Umum Bahan Bakar Minyak;
    • niaga Terbatas Bahan Bakar Minyak;
    • niaga Umum Hasil Olahan;
    • niaga Terbatas Hasil Olahan;
    • niaga Gas Bumi melalui pipa;
    • niaga Gas Bumi yang memiliki fasilitas jaringan distribusi; dan
    • niaga LPG, LNG, CNG, atau BBG

Dengan demikian, kontraktor atau pelaku usaha yang hendak mengekspor LNG wajib memperoleh izin ini sebelum melaksanakan aktivitas ekspor. Tanpa izin tersebut, kontraktor berpotensi melanggar hukum dan dapat dikenakan sanksi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Oleh karena itu, izin usaha niaga merupakan fondasi legal yang tak terpisahkan dari kegiatan ekspor LNG.

  • Penetapan Alokasi Gas Bumi untuk Ekspor

Ekspor LNG tidak dapat dilepaskan dari prinsip dasar pengelolaan migas di Indonesia, yakni pemenuhan kebutuhan energi dalam negeri. Pasal 3 huruf c Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas) menegaskan bahwa salah satu tujuan pengusahaan migas adalah untuk menjamin ketersediaan gas bumi untuk kebutuhan nasional.

Prinsip ini diimplementasikan melalui Pasal 2 ayat (1) jo Pasal 3 Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi (Permen ESDM 6/2016). Menteri ESDM berwenang menetapkan alokasi pemanfaatan gas bumi baik untuk kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.

Sementara itu, pada Pasal 15 ayat (1) Permen ESDM 6/2016 mengatur bahwa alokasi gas bumi untuk ekspor hanya dapat ditetapkan apabila terpenuhi salah satu kondisi berikut:

    1. Kebutuhan gas bumi konsumen dalam negeri telah terpenuhi;
    2. Belum tersedianya infrastruktur di dalam negeri yang memadai; atau
    3. Daya beli konsumen dalam negeri tidak dapat memenuhi Keekonomian Lapangan. 

Permohonan penetapan alokasi ekspor diajukan kontraktor melalui SKK Migas dengan melampirkan dokumen, seperti: profil pembeli, volume gas bumi, infrastruktur penyaluran, serta rencana tata waktu pengiriman sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat (1) dan Pasal 19 ayat (3) Permen ESDM 6/2016. Selanjutnya, Menteri ESDM akan mengevaluasi dan memutuskan apakah permohonan diterima atau ditolak, sebagaimana diatur dalam Pasal 22 ayat (4) Permen ESDM 6/2016.

  • Penetapan Harga Gas Bumi

Harga jual LNG dalam kontrak ekspor tidak bisa ditentukan sepihak oleh kontraktor maupun pembeli. Pasal 28 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (3) Permen ESDM 6/2016 mewajibkan agar harga yang disepakati dalam perjanjian jual beli gas bumi merupakan harga yang telah ditetapkan oleh Menteri ESDM, dengan mencantumkan klausul kemungkinan perubahan harga.

Pasal 16 ayat (1) Permen ESDM 6/2016 menyatakan bahwa dalam menetapkan harga, Menteri ESDM mempertimbangkan:

    1. Keekonomian Lapangan;
    2. Harga gas bumi di dalam negeri dan internasional;
    3. Nilai tambah dari pemanfaatan gas bumi di dalam negeri.

Untuk memperoleh penetapan harga, kontraktor mengajukan permohonan melalui SKK Migas dengan melampirkan dokumen seperti usulan formula harga, data keekonomian lapangan, salinan alokasi gas bumi, hingga salinan dokumen kesepakatan jual beli, seperti yang diatur dalam Pasal 25 ayat (2) Permen ESDM 6/2016. Menteri ESDM memiliki kewenangan penuh untuk menerima atau menolak permohonan tersebut berdasarkan evaluasi kebutuhan nasional dan keekonomian lapangan.

Baca juga: Pemanfaatan Energi Baru untuk Kendaraan Listrik di Indonesia Menuju Transisi Energi Berkelanjutan

 

Ketentuan dalam Ranah Kementerian Perdagangan 

 

Selain kewajiban pada ranah ESDM, pelaku usaha juga harus memenuhi ketentuan yang diatur oleh Kementerian Perdagangan. Diatur dalam Pasal 2 ayat (1) hingga Pasal 2 ayat (4) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Permendag 23/2023) menyatakan bahwa eksportir wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB), serta Perizinan Berusaha di Bidang Ekspor (khusus bagi kegiatan ekspor atas barang tertentu.  

Perizinan ini terdiri dari:

    1. Eksportir Terdaftar (ET) Migas: mensyaratkan pernyataan dan izin usaha di bidang migas.
    2. Persetujuan Ekspor (PE): mengharuskan adanya ET yang masih berlaku, rekomendasi ekspor, dan laporan realisasi ekspor sebelumnya.
    3. Laporan Surveyor (LS): berupa dokumen verifikasi dari lembaga surveyor yang wajib dilampirkan untuk ekspor LNG karena termasuk barang yang memerlukan LS sesuai Lampiran Permendag 23/2023

Tanpa pemenuhan persyaratan ini, ekspor LNG berisiko ditolak di pelabuhan muat atau dianggap tidak sah secara hukum. Kondisi tersebut dapat menimbulkan berbagai konsekuensi, mulai dari kerugian finansial akibat tertundanya pengiriman hingga terganggunya hubungan kontraktual dengan pembeli internasional. Selain itu, eksportir juga berpotensi dikenakan sanksi administratif berupa pencabutan izin ekspor, denda, atau bahkan pidana apabila terbukti melanggar ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Situasi ini sekaligus mencerminkan pentingnya kepatuhan hukum dalam setiap tahapan ekspor LNG, karena kelalaian dalam memenuhi izin, dokumen, dan persetujuan yang diwajibkan tidak hanya berdampak pada kelancaran transaksi, tetapi juga dapat merugikan reputasi pelaku usaha di pasar global.

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa ekspor LNG di Indonesia tunduk pada pengaturan hukum yang kompleks dan berlapis. Dalam ranah Kementerian ESDM, kontraktor wajib memperoleh:

    1. Izin usaha niaga migas;
    2. Penetapan alokasi gas bumi untuk ekspor;
    3. Penetapan harga gas bumi.

Sedangkan dalam ranah Kementerian Perdagangan, eksportir LNG harus memiliki NIB, ET, PE, serta Laporan Surveyor. Kewajiban ini menunjukkan betapa strategisnya LNG bagi kepentingan nasional, sehingga negara memastikan kontrol penuh atas distribusi dan pemanfaatannya.

Dengan memahami dan memenuhi ketentuan hukum yang berlaku, pelaku usaha tidak hanya memastikan kepastian hukum dan kelancaran transaksi ekspor, tetapi juga berkontribusi pada optimalisasi penerimaan negara serta keberlanjutan energi nasional.*** 

Baca juga: Mitigasi Risiko Kepailitan pada Proyek Clean Energy

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Dasar Tahun 1945 (UUD 1945).
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perizinan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 29/2017).
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 52 Tahun 2018 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 29 Tahun 2017 tentang Perizinan pada Kegiatan Usaha Minyak dan Gas Bumi (Permen ESDM 52/2018).
  • Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi (UU Migas).
  • Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 6 Tahun 2016 tentang Ketentuan dan Tata Cara Penetapan Alokasi dan Pemanfaatan serta Harga Gas Bumi (Permen ESDM 6/2016).
  • Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 23 Tahun 2023 tentang Kebijakan dan Pengaturan Ekspor (Permendag 23/2023).

Referensi:

  • Total Nilai Ekspor LNG 6,6 Miliar, Indonesia Optimis Sebagai Key Player LNG. Migas ESDM. (Diakses pada 21 September 2025 pukul 12.00 WIB). 

 

Author / Contributor:

Zaldya SH

Lawyer

Irvan Zaldya, S.H.
Junior Associate

Contact:
Mail       : @siplawfirm.id
Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975