Sistem kekuasaan di Indonesia memiliki tiga lembaga yang masing-masing bekerja sama dalam rangka menjalankan tugas dan fungsinya. Lembaga-lembaga tersebut adalah lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif. Lembaga legislatif berfungsi sebagai perancang undang-undang, lembaga eksekutif yang melaksanakan perundang-undangan, sementara lembaga yudikatif memiliki fungsi mengadili penyalahgunaan wewenang pemerintahan dan/atau peraturan perundang-undangan.

Lembaga legislatif terdiri dari MPR, DPR, DPD, dan DPRD yang memiliki peran dan fungsi berbeda dalam melaksanakan perancangan perundang-undangan. Dalam rangka menjalankan tugas, hanya DPR yang memiliki keistimewaan yang diwujudkan dalam Hak Angket.

Dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, hak angket merupakan hak DPR untuk melaksanakan penyelidikan terhadap pelaksanaan perundang-undangan dan/atau kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintah. Kebijakan yang dimaksud adalah yang berdampak pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang dikhawatirkan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.

Dasar Hukum Hak Angket

Pasal 20A ayat (2) UUD 1945 menyatakan, “Dalam melaksanakan fungsinya, selain hak yang diatur dalam pasal-pasal lain Undang- Undang Dasar ini, Dewan Perwakilan Rakyat mempunyai hak interpelasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat.”

Dalam Pasal 79 ayat (3) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah disebutkan, “Hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b adalah hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.”

Pasal 199 ayat (1) Undang-undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (UU DPR) menyatakan, “Hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 79 ayat (1) huruf b diusulkan oleh paling sedikit 25 (dua puluh lima) orang anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi.”

Sementara itu, tata cara Pelaksanaan Hak Angket diatur dalam Pasal 182 s/d Pasal 190. Dalam Pasal 183 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib (Tatib DPR) dikatakan, “Usul hak angket sebagaimana dimaksud dalam Pasal 182 disampaikan oleh pengusul kepada Pimpinan DPR”. Kemudian dijelaskan dalam Pasal 183 ayat (2) Tatib DPR yang menjelaskan, “Usul hak angket sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diumumkan oleh Pimpinan DPR dalam rapat paripurna DPR dan dibagikan kepada seluruh Anggota.”

Tujuan hak angket

Hak angket merupakan hak istimewa bagi DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap penyelewengan implementasi konstitusi di Indonesia atau kebijakan pemerintah yang berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. 

Hak Angket pernah dijalankan di era Presiden Soekarno hingga Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. “Sementara selama 10 tahun Presiden Jokowi berkuasa, DPR tidak pernah menggunakan hak angketnya,” ungkap mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Jimly Asshiddiqie seperti dikutip dari tribunnews.com. Menurut Jimly, hal tersebut merupakan salah satu wujud dari check and balances yang bisa dilakukan DPR kepada pemerintah.

Pada era Soekarno hak tersebut digunakan untuk menyelidiki untung-rugi penggunaan devisa oleh pemerintah. Di era Presiden Soeharto, DPR menggunakan hak tersebut mempertanyakan harta H. Thahir dan Pertamina yang diduga merupakan hasil gratifikasi.

Sementara itu masa pemerintahan Presiden BJ Habibie, hak tersebut diajukan terkait pelaksanaan Pemilu tahun 1999 untuk menyelidiki dugaan pelanggaran dana kampanye dan disahkan oleh KPU.

DPR menggunakan hak tersebut untuk menyelidiki kasus penyelewengan dana Buloggate dan Bruneigate di era pemerintahan Presiden Abdurrahman Wahid atau Gus Dur yang berujung pada lengsernya kekuasaan mantan Ketua PBNU itu.

Di era Presiden Megawati Soekarnoputri, hak tersebut digunakan untuk memeriksa kasus penyelewengan dana nonbujeter Bulog dan pembentukan Pansus (Panitia khusus) untuk mengusut dugaan manipulasi data dalam proses penghitungan suara  tahun 2004. Dan di era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) penyelidikan kasus penjualan dua unit kapal tanker VLCC Pertamina, kasus impor beras, kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI), kasus Bank Century, dan mengungkap dugaan hakikat dan inkonsistensi KPU dalam penyelenggaraan pemilu dilakukan melalui hak angket.

Pro Kontra Hak Angket

Usulan hak angket yang bergulir saat ini terkait hasil penghitungan suara dalam Pemilu 2024 mendapat tanggapan dari beberapa ahli. Apakah hak angket bisa digunakan untuk membatalkan hasil Pemilu 2024?

Berdasarkan kutipan Prof. Mahfud MD di akun sosial media (X/Twitter) miliknya, hak tersebut yang diusulkan oleh DPR bisa menjadi salah satu opsi untuk menyelesaikan kerusuhan pada pelaksanaan Pemilu 2024. Menurut Mahfud, hak tersbut tidak bisa membatalkan hasil pemilu, akan tetapi adanya hak angket dapat menjatuhkan sanksi politik kepada presiden.

Akan tetapi, DR Fahri Bachmid, pakar hukum tata negara dan konstitusi menganggap usulan menggunakan hak tersebut untuk mengatasi kecurangan pemilu adalah hal yang tidak masuk akal dan inkonstitusional karena tidak dikenal dalam sistem hukum pemilu. Hal ini merujuk pada Pasal 79 ayat (3) UU DPR yang menjelaskan, hak tersebut digunakan untuk mengawasi lembaga eksekutif. “Maka dari itu, sebaiknya permasalahan Pemilu 2024 ini diselesaikan melalui Mahkamah Konstitusi,” ujar Fahri sebagaimana dikutip dari detik.com.

Data yang dihimpun Kompas menyebutkan, sebanyak 62,2% responden setuju apabila DPR menggunakan hak tersebut untuk melakukan penyelidikan dugaan kecurangan pada Pemilu 2024. Akan tetapi, pengajuan hak tersebut oleh DPR harus memenuhi persyaratan, diusulkan oleh minimal 25 anggota DPR dan lebih dari 1 (satu) fraksi, disertai dokumen-dokumen yang berkaitan dan alasan penyelidikan, dan telah mendapat persetujuan dari Rapat Paripurna DPR yang dihadiri oleh lebih dari separuh jumlah anggota DPR.

Jika sejak era pemerintahan Presiden Soekarno hingga Soeharto hak angket pernah dijalankan, maka pernyataan Jimly Asshiddiqie yang mempertanyakan kinerja DPR sebagai lembaga kontrol pemerintah menjadi catatan penting. Menurutnya, hak angket tidak akan memecah belah bangsa Indonesia justru menjadi indikator bahwa demokrasi di Indonesia berjalan baik.

Baca Juga: Cegah Money Politics dengan Sanksi Hukum yang Tegas