Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) telah disahkan menjadi Undang-Undang No. 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) dalam Rapat Paripurna DPR RI, Selasa 6 Desember 2022. Dalam tulisan ini, Undang-Undang tersebut disebut sebagai KUHP baru, yang menggantikan Wetboek van Strafrecht atau yang juga disebut dengan KUHP sebagaimana ditetapkan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana yang telah beberapa kali diubah yang dalam tulisan ini disebut sebagai KUHP lama.

Faktanya, naskah KUHP tersebut masih mendapat penolakan keras dari sebagian masyarakat. Sebelumnya, pada September 2019 atau jelang akhir masa bakti anggota DPR RI periode 2014-2019, RKUHP ini memicu gelombang aksi penolakan dari mahasiswa di berbagai kota di Indonesia. Mereka menilai RKUHP masih memuat pasal-pasal bermasalah dan berpotensi menjadi “pasal karet” atau multitafsir dan menunjukkan sikap anti demokrasi.

Dalam tulisan ini saya mencoba menganalisa sejumlah pasal-pasal RKUHP yang berpotensi menjadi “pasal karet”, anti demokrasi, melanggengkan korupsi, menghambat kebebasan akademik, mengatur ruang privat masyarakat serta kriminalisasi terhadap kelompok marginal dan perempuan.

Berikut pasal-pasal yang dinilai kontroversi, adalah;

  1. Pasal terkait living law atau hukum yang hidup di masyarakat

Dalam naskah KUHP lama, hukum tidak tertulis (hukum adat) tidak diakui eksistensinya, sedangkan dalam KUHP baru, asas legalitas ini diperluas sehingga seseorang dapat dituntut pidana atas dasar hukum yang hidup di masyarakat. KUHP baru ini juga mengakui eksistensi hukum tidak tertulis yang hidup dan berkembang di masyarakat sepanjang sesuai dengan nilai-nilai Pancasila dan/atau prinsip hukum umum yang diakui. Asas ini diatur dalam Pasal 2, Pasal 12 ayat 2, dan Pasal 597 dalam KUHP baru.

Dalam penjelasan Pasal 2 disebutkan bahwa “hukum yang hidup dalam masyarakat” adalah hukum adat yang menentukan bahwa seseorang yang melakukan perbuatan tertentu patut dipidana. Untuk memperkuat keberlakuan hukum yang hidup dalam masyarakat tersebut diatur dalam Peraturan Daerah (Perda).

Ketentuan dalam frasa “hukum yang hidup di masyarakat” menimbulkan ketidakpastian hukum karena KUHP baru tidak memberikan pengertian jelas apa yang dimaksud dengan hukum yang hidup di masyarakat. Selain itu, keberadaan pasal ini dalam KUHP terbaru menjadikan pelaksanaan hukum adat yang sakral bukan lagi pada kewenangan masyarakat adat, melainkan bisa beralih kepada Negara.

  1. Pasal pasangan yang hidup bersama tanpa ikatan pernikahan yang sah (zina dan kohabitasi)

KUHP lama merupakan warisan peninggalan pemerintah kolonial Belanda sehingga mencerminkan kultur masyarakat barat. Salah satunya tidak mempersoalkan sepasang pria dan wanita melakukan hubungan suami-istri dan hidup bersama di luar pernikahan sepanjang keduanya saling suka sama suka. Perilaku ini tidak sesuai dengan norma masyakat timur, sehingga hubungan seks di luar pernikahan dimasukkan ke dalam delik zina.

Berdasarkan KUHP baru, perbuatan zina baru menjadi pidana bila salah satunya sudah menikah, atau kedua pasangan itu sudah sama-sama menikah.  Ketentuan ini diatur dalam Pasal 415 ayat 1 KUHP baru bagian keempat tentang Perzinaan. Dalam pasal tersebut, orang yang melakukan hubungan seks di luar pernikahan dapat diancam pidana penjara satu tahun.

Menurut pasal 415 ayat 1, “Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya dipidana karena perzinaan dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak kategori II“.

Meski begitu, ancaman itu baru bisa berlaku apabila ada pihak yang mengadukan (delik aduan). Aturan itu juga mengatur pihak yang dapat mengadukan antara lain suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan, orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan, seperti yang disebutkan dalam ayat 2, yaitu;

Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat 1 tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

– suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.

– orang tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan”.

Penjelasan Pasal 415  ayat 1 menyebutkan, Yang dimaksud dengan “bukan suami atau istrinya” adalah:

  1. laki-laki yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan yang bukan istrinya;
  2. perempuan yang berada dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki yang bukan suaminya;
  3. laki-laki yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan perempuan, padahal diketahui bahwa perempuan tersebut berada dalam ikatan perkawinan;
  4. perempuan yang tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan dengan laki-laki, padahal diketahui bahwa laki-laki tersebut berada dalam ikatan perkawinan; atau
  5. laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak terikat dalam perkawinan melakukan persetubuhan.

Sedangkan Pasal 415 ayat  2 menyatakan bahwa “Yang dimaksud dengan “anaknya” dalam ketentuan ini adalah anak kandung yang sudah berumur 16 (enam belas) tahun.”

Pasal ini dikategorikan sebagai delik aduan, sehingga hal ini baru bisa dipidana atau dilakukan penuntutan jika timbul adanya pengaduan dari suami atau istri yang sah, atau oleh orang tua atau anak. Selama tidak ada pengaduan sesuai dengan penjelasan ayat 2, hal tersebut tidak dapat dituntut.

Sama halnya dengan pasal yang mengatur kohabitasi (kumpul kebo) dalam Pasal 416 yang menyebutkan bahwa:

“(1) setiap Orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) bulan atau pidana denda paling banyak kategori II.

(2) terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan:

  1. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan; atau
  2. orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

(3) Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

  1. Pasal tentang promosi alat pencegah kehamilan, termasuk kontrasepsi

Mempromosikan alat pencegahan kehamilan akan dipidana dengan pidana denda. Pasal 412 KUHP baru menyebutkan bahwa “Setiap orang yang secara terang-terangan mempertunjukkan, menawarkan, menyiarkan tulisan, atau menunjukkan untuk dapat memperoleh alat pencegah kehamilan pada anak, dipidana dengan pidanan denda paling banyak kategori I”.

Pasal 414 ayat 1 meyatakan bahwa “Perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 412 tidak dipidana jika dilakukan oleh petugas yang berwenang dalam rangka pelaksanaan keluarga berencana, pencegahan penyakit infeksi menular seksual, atau untuk kepentingan pendidikan dan penyuluhan kesehatan”.

Adanya unsur “dilakukan oleh petugas yang berwenang” menegaskan bahwa edukasi dan promosi alat pencegah kehamilan hanya dapat dilakukan oleh petugas yang berwenang. Ketentuan tersebut berbeda dengan Pasal 21 Peraturan Pemerintah (PP) No. 61 Tahun 2014 yang mengatur jika pelayanan kontrasepsi juga dapat diselenggarakan oleh masyarakat.

  1. Menurunkan ancaman minimal bagi koruptor

Beberapa pasal terkait dengan tindak pidana korupsi, hukuman pokok berupa pidana badan dan denda lebih ringan dibandingkan yang telah diatur dalam Undang-Undang Tipikor.

Berikut ini perbandingan ketentuan pidana dalam KUHP dengan yang diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor);

Pertama, Pasal 607 KUHP dengan Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor.

Pasal 607 KUHP

“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri, orang lain, atau Korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI”

Pasal 2 ayat 1 UU Tipikor

“(1) setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 200.000.000,- (dua ratus juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah)”.

Kedua, Pasal 608 KUHP dengan Pasal 3 UU Tipikor.

Pasal 608 KUHP

“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri, orang lain, atau Korporasi menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 2 (dua) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan pidana denda paling sedikit kategori II dan paling banyak kategori VI”

Pasal 3 UU Tipikor

“Setiap orang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu Korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara, dipidana penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 20 (dua puluh) tahun dan denda paling sedikit Rp 50.000.000,- (lima puluh juta Rupiah) dan paling banyak Rp 1.000.000.000,- (satu miliar Rupiah)

Terdapat kenaikan pidana badan bagi pejabat publik dari satu tahun menjadi dua tahun penjara. Melalui KUHP baru, ancaman minimal hukuman penjara antara masyarakat dengan seorang yang memiliki jabatan publik disetarakan.

Ketiga, Pasal 610 ayat 2 KUHP dengan Pasal 11 UU Tipikor. Berdasarkan KUHP baru, ancaman hukuman yang ditujukan kepada penerima suap diancam dengan penjara maksimal 4 tahun, sedangkan dalam UU Tipikor diancam paling lama 5 tahun penjara. Untuk hukuman denda juga menurun, dari Rp 250 juta menjadi Rp 200 juta.

Spesifik menyangkut hukuman denda, penting disampaikan bahwa salah satu pidana pokok tersebut masih terbilang rendah di dalam naskah KUHP yang baru. Denda maksimal yang bisa dijatuhkan kepada pelaku hanya Rp 2 Miliar. Berbeda jauh dengan UU tindak pidana khusus lain, seperti Undang-undang Narkotika atau Undang-undang Anti Pencucian Uang yang dendanya bisa mencapai Rp 10 Miliar.

Berpijak pada latar belakang korupsi sebagai kejahatan ekonomi, seharusnya pidana denda dapat ditingkatkan. Dalam banyak literatur ditegaskan bahwa korupsi dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime). Akibat penyebutan itu, maka ditemukan sejumlah penyimpangan dari regulasi umum, satu di antaranya adalah pengaturan sanksi pidana minimum-maksimum di dalam UU Tipikor.

  1. Pasal tentang tindak pidana agama

Pasal 302 sampai dengan Pasal 304 KUHP baru membahas tentang tindak pidana terhadap agama dan kepercayaan seseorang/masyarakat. Pasal 302 mengatur tindak pidana yang yang dapat dilakukan penuntutan sebagai berikut: “Bagi setiap orang di muka umum yang (a) melakukan perbuatan bersifat permusuhan; (b) menyatakan kebencian atau permusuhan; atau (c) menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan, atau diskriminasi terhadap agama, kepercayaan, orang lain, golongan, atau kelompok atas dasar agama atau kepercayaan di Indonesia dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak ketegori V.”

Unsur pidana dalam Pasal 302 KUHP baru antara lain melalukan perbuatan yang bersifat permusuhan, menyatakan kebencian atau permusuhan, dan menghasut untuk melakukan permusuhan, kekerasan atau diskriminasi atas agama atau kepercayaan.

Jadi setiap perbuatan atau pernyataan tertulis maupun lisan yang dilakukan secara objektif, terbatas untuk kalangan sendiri, atau bersifat ilmiah mengenai suatu agama atau kepercayaan yang disertai dengan usaha untuk menghindari adanya kata-kata atau susunan kalimat yang bersifat permusuhan, pernyataan kebencian atau permusuhan, atau hasutan untuk melakukan permusuhan, kekerasan, diskriminasi atau penodaan adalah bukan merupakan tindak pidana.

Implementasi aturan pidana baru yang menggeser aturan KUHP yang lama akan melalui masa transisi selama 3 tahun ke depan dan mulai berlaku efektif sepenuhnya pada tahun 2025. Hal yang menjadi kekhawatiran masyarakat, yaitu implementasi dengan subtansi materi yang “kabur” dan tidak spesifik. Pasal-pasal yang mengandung multitafsir sejatinya perlu diperbaiki atau diperjelas agar dapat terwujud kepastian hukum dan menghindari kriminalisasi berdasarkan “pasal karet” terhadap masyarakat.

 

Author / Contributor:

Dita Nadya Chaidir,  S.H. M.H.

Associate

Contact:

Mail       : dita@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975