Indonesia menempati peringkat ke-4 penduduk terbanyak di dunia. Hal ini dapat disebabkan karena tingginya angka kelahiran di berbagai wilayah, khususnya di daerah yang memiliki keterbatasan akses terhadap pelayanan kesehatan dan edukasi penggunaan alat kontrasepsi. Kebijakan terkait pelayanan kontrasepsi diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggara Upaya Kesehatan Reproduksi. Peraturan ini menjadi landasan hukum bagi penyelenggaraan layanan kontrasepsi, termasuk pelayanan pengaturan kehamilan melalui penyelenggaraan pelayanan kontrasepsi.
Jenis dan Tujuan Layanan Kontrasepsi
Perkumpulan Keluarga Berencana, yang kini dikenal dengan istilah Program Keluarga Berencana (Program KB) telah dibentuk sejak 23 Desember 1957 di Gedung Ikatan Dokter Indonesia. Melalui Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerdja Badan Koordinasi keluarga Berentjana Nasional (“Keppres 8/1970”), dibentuklah Lembaga Pemerintah Nonkementerian yang melaksanakan tugas pemerintahan di bidang pengendalian penduduk dan penyelenggaraan keluarga berencana, yakni Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) yang memiliki tugas pokok menjalankan, menyelaraskan, dan mengembangkan usaha-usaha keluarga berencana sesuai ruang lingkup dan bidangnya masing-masing.
Indonesia menjadi negara ke-4 dengan populasi terbesar di dunia dengan jumlah penduduk sekitar 284,44 juta jiwa dengan laju pertumbuhan penduduk 1,09% per tahunnya. Program KB dicanangkan oleh pemerintah guna menekan pertumbuhan penduduk yang kian meningkat setiap tahunnya. Tak hanya itu, Program KB pun bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia.
Penggunaan alat kontrasepsi termasuk ke dalam langkah preventif untuk mengatur kehamilan dan mencegah kehamilan yang tidak diinginkan, sehingga berkontribusi dalam menekan angka kelahiran. Melalui penggunaan alat kontrasepsi, pasangan usia subur dapat merencanakan jumlah maupun jarak kelahiran anak sesuai dengan kondisi ekonomi dan sosial.
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi (“Permenkes 2/2025”) merupakan regulasi yang mengatur berbagai aspek penting terhadap kesehatan reproduksi, salah satunya terkait pelayanan pengaturan kehamilan.
Pada Pasal 37 ayat (1) Permenkes 2/2025 mengatur bahwa pelayanan pengaturan kehamilan bertujuan membantu pasangan usia subur dalam mengambil keputusan tentang usia ideal untuk hamil, jumlah ideal anak, dan jarak ideal kelahiran anak, serta kesehatannya. Hal ini diselenggarakan melalui Program KB, termasuk pelayanan kontrasepsi.
Adapun tujuan dari adanya pelayanan kontrasepsi sebagaimana tertera dalam Pasal 38 ayat (1) Permenkes 2/2025 yang berbunyi sebagai berikut:
“Pelayanan kontrasepsi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 37 bertujuan untuk:
- Menunda kehamilan pada pasangan muda, yang istrinya belum berusia 20 (dua puluh) tahun, atau pasangan yang memiliki masalah kesehatan;
- Mengatur jarak kehamilan pada klien yang berusia antara 20 (dua puluh) sampai dengan 35 (tiga puluh lima) tahun; atau
- Mencegah kehamilan yang tidak diinginkan pada semua pasangan dan pada pasangan dengan istri yang berusia lebih dari 35 (tiga puluh lima) tahun.”
Jenis metode kontrasepsi yang tersedia di Indonesia terdiri atas: alat kontrasepsi dalam rahim (AKDR), kontrasepsi implan, kontrasepsi suntik, kontrasepsi pil, kondom, tubektomi, vasektomi, metode amenore laktasi (MAL), metode sadar masa subur, dan sanggama terputus. Metode tersebut terbagi atas 3 golongan, yaitu: berdasarkan kandungan, masa perlindungan, serta cara modern dan tradisional.
Berdasarkan Pasal 38 ayat (4) Permenkes 2/2025, pelayanan kontrasepsi terbagi atas 3 tahap, yakni:
- Kegiatan prapelayanan kontrasepsi;
- Tindakan pemberian pelayanan kontrasepsi, termasuk pelayanan kontrasepsi darurat; dan
- Kegiatan pascapelayanan kontrasepsi.
Hak dan Kewajiban Pasien dalam Program Keluarga Berencana
Pada Pasal 4 ayat (1) huruf f Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) menyebutkan bahwa setiap orang berhak menentukan sendiri pelayanan kesehatan yang diperlukan bagi dirinya secara mandiri dan bertanggung jawab. Hal ini termasuk dalam menentukan metode kontrasepsi untuk melaksanakan Program KB.
Sebelum melaksanakan Program KB, pasien perlu mengetahui terkait hak dan kewajiban yang harus dipenuhi. Adapun hak-hak pasien sebagaimana tertera dalam Pasal 276 UU Kesehatan adalah sebagai berikut:
- Mendapat informasi terkait kesehatannya;
- Mendapat penjelasan mengenai pelayanan kesehatan yang diterima;
- Mendapat pelayanan kesehatan sesuai kebutuhan medis, standar profesi dan pelayanan yang bermutu;
- Menolak atau menyetujui tindakan medis;
- Mendapat akses terhadap informasi yang tertera dalam rekam medis;
- Meminta pendapat tenaga medis atau tenaga kesehatan lain; dan
- Mendapat hak-hak lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kemudian dalam Pasal 277 UU Kesehatan menyebutkan mengenai kewajiban pasien, yaitu:
- Memberikan informasi yang lengkap dan jujur terkait masalah kesehatannya;
- Mematuhi nasihat dan petunjuk tenaga medis dan tenaga kesehatan;
- Mematuhi ketentuan yang berlaku pada Fasilitas Pelayanan Kesehatan; dan
- Memberikan imbalan jasa atas pelayanan yang diterima.
Baca juga: Bolehkah Klinik Kesehatan Dijadikan Waralaba?
Aspek Hukum dalam Penyuluhan dan Edukasi terkait Pemberian Layanan Kontrasepsi oleh Tenaga Medis dan/atau Tenaga Kesehatan kepada Masyarakat
Penyuluhan dan edukasi terkait layanan kontrasepsi kepada masyarakat oleh tenaga medis maupun tenaga kesehatan merupakan salah satu upaya meningkatkan kesadaran dan pengetahuan masyarakat terkait pentingnya kesehatan reproduksi. Dalam Permenkes 2/2025 menekankan bahwa tenaga medis dan tenaga kesehatan berperan penting terhadap pemberian informasi yang akurat dan mudah dipahami, khususnya terhadap berbagai metode kontrasepsi.
Upaya preventif kesehatan reproduksi dapat dilaksanakan melalui:
- Deteksi dini penyakit atau skrining kesehatan;
- Penyediaan alat kontrasepsi bagi pasangan usia subur dan kelompok usia subur yang berisiko;
- Pemberian imunisasi;
- Pemberian suplementasi gizi pada wanita usia subur dan ibu hamil; dan
- Pelindungan kesehatan reproduksi dari risiko pajanan di tempat kerja.
Para tenaga medis dan tenaga kesehatan dapat memberikan penyuluhan dan edukasi melalui berbagai media, seperti: konsultasi secara tatap muka atau melalui platform komunikasi, media elektronik, maupun pada kegiatan komunitas. Maka dari itu, penting bagi tenaga medis dan tenaga kesehatan untuk terus meningkatkan pengetahuan dan kompetensi agar dapat memberikan pelayanan kesehatan yang berkualitas sesuai standar pelayanan kesehatan.
Keberadaan Permenkes 2/2025 menjadi landasan yang kuat sebagai pengendali kehamilan untuk menekan tingginya angka kelahiran di Indonesia. Regulasi tersebut mengatur berbagai aspek kesehatan reproduksi, termasuk pelayanan pengaturan kehamilan dan penyediaan alat kontrasepsi yang aman, bermutu, dan bertanggung jawab secara efektif. Pada pelaksanaan pelayanan sistem reproduksi, baik pasien maupun tenaga medis dan tenaga kesehatan harus saling bersinergi untuk memastikan setiap individu menerima pelayanan kesehatan sesuai dengan kebutuhan medisnya. Penyuluhan dan edukasi terkait pelayanan kontrasepsi penting diberikan oleh tenaga medis dan tenaga kesehatan kepada masyarakat secara luas, khususnya bagi mereka yang tinggal di daerah yang memiliki keterbatasan akses informasi agar dapat memahami pentingnya perencanaan keluarga dan memilih metode kontrasepsi yang sesuai dengan kebutuhan dan kondisi kesehatannya.***
Baca juga: Menggali Potensi Biofarmasi: Masa Depan Industri Kesehatan Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
- Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Upaya Kesehatan Reproduksi (“Permenkes 2/2025”).
- Keputusan Presiden Nomor 8 Tahun 1970 tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerdja Badan Koordinasi keluarga Berentjana Nasional (“Keppres 8/1970”).