Perkembangan pesat teknologi finansial dalam satu dekade terakhir telah mendorong sektor perbankan dan industri digital lending memasuki era baru yang syarat inovasi, sekaligus risiko yang semakin kompleks. Transformasi digital yang melibatkan kecerdasan buatan (AI), mobile onboarding, open finance, dan integrasi data lintas platform menghadirkan peluang untuk memperluas akses keuangan. Namun di sisi lain, teknologi-teknologi ini juga memperbesar potensi penyalahgunaan layanan keuangan untuk pencucian uang, pendanaan terorisme, dan penipuan terstruktur. Lembaga keuangan kini tidak hanya berhadapan dengan pelaku kriminal konvensional, tetapi juga aktor digital yang memanfaatkan automation, deepfake identity, dan rekayasa data tingkat lanjut.

Di tengah dinamika tersebut, otoritas regulator Indonesia merespons melalui pembaruan regulasi terkait Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing (AML/CTF) atau Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) yang lebih adaptif terhadap perkembangan teknologi. Aturan-aturan baru ini mempertegas kewajiban bank dan penyelenggara fintech untuk menerapkan pendekatan berbasis risiko, meningkatkan kualitas identifikasi nasabah, serta mengadopsi teknologi yang mampu mendeteksi pola transaksi anomali secara real time. Penerapan aturan tersebut membawa konsekuensi besar bagi operasional perbankan dan digital lending, menuntut perubahan sistem, governance AI, hingga budaya kepatuhan yang lebih proaktif. 

 

Memahami Muatan Hukum Terbaru terkait APU/PPT di Indonesia

 

Penerapan program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) di sektor jasa keuangan Indonesia mengalami penguatan signifikan melalui lahirnya regulasi terbaru dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI). Regulasi terbaru tidak hanya memperbarui kerangka hukum yang sudah ada, tetapi juga memperluas cakupan pengawasan agar sesuai dengan perkembangan teknologi finansial, khususnya digital lending dan pemanfaatan kecerdasan buatan (AI). 

Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Jasa Keuangan (POJK 8/2023) menjadi salah satu regulasi penting yang menegaskan kewajiban lembaga keuangan untuk menerapkan program APU-PPT dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal (PPPSPM). 

Dalam Pasal 3 POJK 8/2023 ditekankan bahwa direksi dan dewan komisaris wajib melakukan pengawasan aktif terhadap penerapan program APU-PPT. Hal ini menunjukkan kepatuhan bukan sekadar tanggung jawab unit kepatuhan, melainkan bagian dari tata kelola perusahaan secara menyeluruh. Dalam Pasal 6 diatur kewajiban penyedia jasa keuangan untuk memiliki kebijakan dan prosedur internal yang memadai, termasuk sistem informasi manajemen yang mendukung deteksi transaksi mencurigakan. 

Sementara itu, Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Bagi Pihak yang Diatur dan Diawasi oleh Bank Indonesia (PBI 10/2024) memperkuat aspek teknis penerapan APU-PPT dengan menekankan integrasi teknologi digital dalam proses identifikasi nasabah. Dalam Pasal 8 ayat (1) dan (2) PBI 10/2024 diatur mengenai:

  • Penyelenggara wajib menerapkan APU, PPT, dan PPPSPM dengan cara memiliki, melaksanakan, dan mengembangkan kebijakan dan prosedur tertulis untuk mengelola risiko TPPU, TPPT, dan PPPSPM.
  • Kebijakan dan prosedur tertulis paling sedikit mengenai:
  • Customer due diligence;
  • Pengelolaan data, informasi, dan dokumen; dan
  • Pelaporan Transaksi Keuangan Mencurigakan dan pelaporan lainnya.

Lebih lanjut, dalam Pasal 50 ayat (2) PBI 10/2024 dijelaskan bahwa dalam hal Penyelenggara menggunakan hasil customer due diligence, dari Penyelenggara wajib:

  • Mendapatkan hasil customer due diligence dengan segera;
  • Memastikan ketersediaan salinan dokumen identitas Pengguna Jasa dan dokumen pendukung customer due diligence lainnya pada saat diminta;
  • Memastikan bahwa pihak ketiga diawasi oleh otoritas yang berwenang terhadap kepatuhan atas ketentuan APU, PPT, dan PPPSPM; dan
  • Memastikan negara tempat pihak ketiga tersebut tidak termasuk negara berisiko tinggi.

Pasal 52 menegaskan larangan praktik tipping-off, yakni pemberitahuan kepada nasabah terkait adanya investigasi transaksi mencurigakan, yang dapat mengganggu proses penyelidikan. Regulasi ini juga menekankan pentingnya kerja sama lintas lembaga yang mewajibkan penyedia jasa keuangan untuk berkoordinasi dengan PPATK, OJK, dan BI dalam pelaporan serta investigasi transaksi keuangan.

Aturan-aturan ini menjadi penegasan bahwa pengendalian risiko pencucian uang dan pendanaan terorisme di era digital tidak lagi cukup dilakukan secara manual, melainkan harus berbasis sistem yang transparan, akuntabel, dan adaptif terhadap perkembangan teknologi, sehingga sektor keuangan dapat menjaga integritas sekaligus mendukung stabilitas nasional.

Baca juga: Ragam Modus Pencucian Uang dan Strategi Penegakan Hukumnya di Indonesia

 

Lalu, Apa Saja Dampak terhadap Dunia Perbankan dan Digital Lending?

 

Dampak penerapan APU-PPT terbaru terhadap dunia perbankan dan digital lending sangat luas dan menyeluruh ke berbagai aspek operasional, teknis, serta sistem strategis. Bagi perbankan, aturan ini menuntut adanya transformasi sistem kepatuhan yang lebih canggih dan berbasis teknologi. Bank tidak lagi dapat mengandalkan mekanisme manual dalam mendeteksi transaksi mencurigakan, melainkan harus mengintegrasikan sistem berbasis machine learning dan artificial intelligence (AI) yang mampu melakukan analisis pola transaksi secara real time. Hal ini berarti adanya investasi besar dalam infrastruktur teknologi, pengembangan software, sert pelatihan SDM menjadi keharusan.     

Selain itu, proses onboarding nasabah di era digital lending mengalami perubahan mendasar. Verifikasi identitas melalui electronic Know Your Customer (e-KYC) dan biometrik kini menjadi standar yang wajib diterapkan. Dengan adanya ketentuan dalam PBI 10/2024 mengenai customer due diligence, bank dan fintech harus memastikan bahwa setiap nasabah yang masuk ke dalam sistem keuangan telah melalui proses identifikasi yang valid dan terdokumentasi dengan baik. Hal ini tidak hanya meningkatkan keamanan, tetapi juga menambah kompleksitas operasional karena penyelenggara harus menjaga kualitas data, memastikan integritas dokumen, serta menghindari risiko penggunaan identitas palsu.

Dari sisi biaya, penerapan aturan ini membawa konsekuensi berupa peningkatan biaya kepatuhan. Bank besar mungkin memiliki kapasitas untuk menanggung beban investasi tersebut, namun bagi fintech dan penyelenggara digital lending skala menengah, biaya kepatuhan dapat menjadi tantangan serius. Mereka harus menyeimbangkan kebutuhan untuk tetap kompetitif di pasar dengan kewajiban memenuhi standar regulasi yang semakin ketat.

Selain itu, terdapat dampak teknis berupa kebutuhan interoperabilitas sistem. Bank dan fintech dituntut untuk mampu berbagi data risiko secara aman dan efisien, sehingga ekosistem keuangan dapat bekerja secara kolaboratif dalam mendeteksi pola transaksi mencurigakan. Hal ini menuntut adanya standar teknologi yang seragam serta koordinasi intensif dengan regulator.

Tidak kalah penting, aturan baru juga membawa dampak reputasi. Ketidakpatuhan pada regulasi dapat berujung pada sanksi administratif, pembatasan operasional, hingga pencabutan izin usaha. Lebih jauh, reputasi lembaga keuangan dapat tercoreng di mata publik dan investor, sehingga menurunkan kepercayaan terhadap sistem keuangan nasional. Oleh karena itu, kepatuhan terhadap aturan AML terbaru bukan hanya kewajiban hukum, tetapi juga strategi bisnis untuk menjaga keberlanjutan dan kredibilitas di era digital.

Penerapan aturan Anti-Money Laundering and Counter-Terrorism Financing (AML/CTF) atau Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT) terbaru oleh OJK dan BI menandai era baru pengawasan sektor keuangan di Indonesia. Tantangan terbesar bagi perbankan dan fintech adalah bagaimana menyeimbangkan inovasi digital dengan kepatuhan hukum. Dengan strategi adaptasi yang tepat, industri dapat menjaga integritas sistem keuangan sekaligus memanfaatkan potensi AI dan digital lending yang tengah bertumbuh pesat.***

Baca juga: Pertanggungjawaban Korporasi pada Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)

 

Daftar Hukum:

  • Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 8 Tahun 2023 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme, dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal di Sektor Keuangan (POJK 8/2023).
  • Peraturan Bank Indonesia Nomor 10 Tahun 2024 tentang Penerapan Anti Pencucian Uang, Pencegahan Pendanaan Terorisme dan Pencegahan Pendanaan Proliferasi Senjata Pemusnah Massal Bagi Pihak yang Diatur dan Diawasi oleh Bank Indonesia (PBI 10/2024).

Referensi:

  • Begini Muatan Aturan Baru OJK Soal APU-PPT di Sektor Jasa Keuangan. HukumOnline. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 11.03 WIB).
  • Implementasi Artificial Intelligence (AI) untuk Digital Banking. Institute OJK.  (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 11.29 WIB).
  • Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme. Bank Indonesia. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 11.34 WIB).
  • Apa itu KYC dan e-KYC?. Samsung. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 12.04 WIB).