Perkembangan bioteknologi dalam sektor kesehatan telah menjadi salah satu tonggak penting dalam transformasi layanan medis modern. Produk berbasis bioteknologi seperti terapi gen, terapi sel punca, dan vaksin berbasis rekayasa molekuler kini menjadi pusat perhatian global karena potensinya dalam mengatasi penyakit yang sebelumnya sulit ditangani. Di Indonesia, kebutuhan akan regulasi yang mampu mengimbangi laju inovasi semakin mendesak, terutama setelah pandemi Covid-19 yang memperlihatkan betapa pentingnya kesiapan sistem kesehatan dalam menghadapi kondisi yang tak terduga. 

Dalam hal ini, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mengambil langkah penting dengan memperbarui regulasi terkait produk bioteknologi. Regulasi baru ini tidak hanya bertujuan untuk memastikan keamanan dan mutu produk, tetapi juga untuk menciptakan ekosistem inovasi yang kondusif bagi pelaku usaha kesehatan. Dengan adanya aturan yang lebih komprehensif, Indonesia berupaya menempatkan diri sebagai bagian dari arus global dalam pengembangan terapi advanced, sekaligus menjaga perlindungan masyarakat dari risiko yang mungkin timbul. 

 

Kerangka Regulasi BPOM mengenai Produk Bioteknologi di Indonesia

 

Lahirnya Peraturan Badan Pengawas Obat dan Makanan terbaru merupakan respons atas dinamika global dalam pengembangan produk bioteknologi. Regulasi ini tidak sekadar memperbarui aturan lama, tetapi juga menegaskan arah kebijakan Indonesia dalam mengintegrasikan standar internasional ke dalam sistem pengawasan nasional. Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2025 tentang Tata Laksana Persetujuan Obat Pengembangan Baru (PerBPOM 24/2025) memperketat mekanisme evaluasi dengan menuntut data pra-klinik dan uji klinis yang lebih mendalam. 

Hal ini tentu mencerminkan kesadaran bahwa produk bioteknologi memiliki kompleksitas yang jauh lebih tinggi dibandingkan obat konvensional, sehingga pengawasan harus dilakukan dengan pendekatan berbasis risiko. Sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) PerBPOM 24/2025 bahwa:

    • Obat Pengembangan Baru (OPB) sebelum digunakan untuk Uji Klinik di Indonesia harus memperoleh persetujuan dari Kepala Badan;
    • OPB sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berupa:
    • Obat dan Produk Biologi baru;
    • Produk terapi advanced;
    • Produk biosimilar; atau 
    • Produk lainnya sesuai dengan inovasi serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang Obat. 

Perubahan mendasar dari regulasi ini adalah adanya penekanan pada transparansi dan akuntabilitas. Proses persetujuan kini tidak lagi sekadar administratif, melainkan harus disertai dengan justifikasi ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan. Bagi pelaku usaha kesehatan, hal ini membawa konsekuensi langsung: mereka dituntut untuk menyiapkan data pra-klinik dan uji klinis yang lebih menyeluruh, dengan standar metodologi yang sesuai praktik internasional. 

Beban riset dan dokumentasi menjadi lebih berat, namun di sisi lain, regulasi ini memberikan kepastian hukum dan meningkatkan kredibilitas produk di mata investor maupun konsumen. Dengan adanya kewajiban justifikasi ilmiah, perusahaan bioteknologi tidak bisa lagi mengandalkan pendekatan administratif semata, melainkan harus membangun fondasi riset yang kuat agar dapat lolos evaluasi. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 3 ayat (1) dan (2) PerBPOM 24/2025 yakni:

    • Pelaku Usaha dalam memperoleh persetujuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) harus mengajukan persetujuan OPB kepada Kepala Badan secara elektronik;
    • Pelaku Usaha sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas:
    • Industri farmasi;
    • Rumah sakit
    • Lembaga yang melakukan pembuatan obat;
    • Lembaga yang melakukan pembuatan sediaan radiofarmaka;
    • sarana/laboratorium pengolahan sel dan/atau sel punca;
    • Organisasi riset kontrak; atau
    • Lembaga riset.

Sementara itu, PerBPOM Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Produk Terapi Advanced (PerBPOM 8/2025) hadir sebagai pedoman khusus untuk menilai produk terapi advanced. Regulasi ini menggantikan PerBPOM Nomor 18 Tahun 2020 (“PerBPOM 8/2020”) yang sebelumnya hanya mengatur obat berbasis sel manusia, dengan cakupan yang kini lebih luas, meliputi: terapi gen, terapi sel, dan produk biomolekuler lainnya. 

Salah satu aspek penting dari regulasi ini adalah penekanan pada penilaian risiko jangka panjang, mengingat produk terapi advanced seringkali memiliki dampak biologis yang kompleks dan berpotensi menimbulkan efek samping yang baru muncul setelah penggunaan dalam periode tertentu. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip dari standar internasional seperti WHO dan International Council for Harmonisation (ICH), BPOM berupaya memastikan bahwa produk bioteknologi Indonesia tidak hanya aman bagi masyarakat, tetapi juga mampu bersaing di pasar global.

Kedua regulasi ini memiliki landasan hukum yang kuat, yakni melalui Pasal 334 ayat (3) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan) yang menegaskan kewajiban pemerintah untuk mendorong pemanfaatan produk teknologi kesehatan dalam negeri. 

Bagi pelaku usaha, keberadaan landasan hukum ini memberikan kepastian bahwa regulasi BPOM bukan sekadar instrumen teknis, melainkan bagian dari mandat konstitusional untuk memperkuat ekosistem kesehatan dalam negeri. Artinya, setiap investasi dalam riset dan pengembangan produk bioteknologi akan mendapatkan legitimasi hukum yang jelas, sekaligus dukungan kebijakan yang mendorong kemandirian industri. 

Kepastian regulasi memberikan ruang bagi pelaku usaha untuk menata strategi riset dan pengembangan dengan lebih terarah, sekaligus memastikan bahwa setiap langkah inovasi memiliki legitimasi yang diakui negara. Namun, di balik kepastian ini, muncul dinamika baru yang harus dihadapi: regulasi yang lebih ketat tentu membawa konsekuensi berupa hambatan administratif dan biaya kepatuhan, tetapi pada saat yang sama juga membuka peluang besar untuk memperkuat daya saing dan menarik investasi. 

 

Dampak Kebijakan Baru Terhadap Pengembangan Bioteknologi

 

Kebijakan baru yang dikeluarkan BPOM melalui PerBPOM 24/2025 dan PerBPOM 8/2025 membawa dampak yang sangat mendalam terhadap arah pengembangan bioteknologi di Indonesia. Regulasi ini memperketat mekanisme evaluasi dengan menuntut data pra-klinik dan uji klinis yang lebih menyeluruh, sehingga setiap produk bioteknologi harus dibangun di atas fondasi riset yang kuat dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah. 

Bagi pelaku usaha, hal ini berarti peningkatan biaya riset dan kepatuhan, namun sekaligus memberikan legitimasi yang lebih besar terhadap produk yang dihasilkan. Dengan adanya standar yang lebih tinggi, produk bioteknologi Indonesia memiliki peluang untuk memperoleh pengakuan internasional, karena regulasi ini selaras dengan prinsip-prinsip yang diterapkan oleh WHO dan International Council for Harmonisation (ICH).

Dari sisi inovasi, kebijakan ini menghadirkan dinamika ganda. Di satu sisi, proses registrasi yang lebih panjang dan kompleks dapat menjadi hambatan bagi perusahaan kecil atau startup biotek yang memiliki keterbatasan modal. Mereka harus menghadapi tantangan administratif, kebutuhan sertifikasi laboratorium, serta audit reguler yang menuntut sumber daya besar. 

Namun di sisi lain, regulasi ini juga membuka peluang besar bagi pengembangan riset dan kolaborasi. Dengan adanya kepastian hukum, investor lebih percaya untuk menanamkan modal di sektor bioteknologi, sementara universitas dan lembaga riset terdorong untuk menjalin kerja sama dengan industri dalam menghasilkan data yang memenuhi standar evaluasi BPOM.

Selain itu, kebijakan ini mendorong terbentuknya ekosistem penelitian yang lebih integratif. Kebutuhan akan data yang terperinci dan valid memaksa pelaku usaha untuk tidak bekerja secara terisolasi, melainkan membangun jaringan kolaborasi dengan akademisi, lembaga riset, dan mitra internasional. Hal ini dapat mempercepat transfer teknologi, memperkuat kapasitas laboratorium lokal, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang bioteknologi. Dengan demikian, meskipun kebijakan baru ini menambah beban kepatuhan, ia juga berfungsi sebagai katalis yang mempercepat transformasi industri bioteknologi Indonesia menuju standar global.

Pada akhirnya, dampak kebijakan ini tidak hanya dirasakan dalam lingkup teknis, tetapi juga dalam strategi bisnis dan arah investasi. Perusahaan bioteknologi kini harus menyesuaikan model bisnis mereka dengan regulasi yang lebih ketat, mengalokasikan anggaran khusus untuk kepatuhan, serta membangun sistem manajemen mutu yang sesuai dengan standar internasional. 

Namun, bagi mereka yang mampu beradaptasi, kebijakan ini membuka jalan menuju pasar global, memperkuat daya saing, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan bioteknologi di kawasan Asia. Dengan kata lain, kebijakan baru BPOM adalah tantangan sekaligus peluang: tantangan bagi mereka yang belum siap, tetapi peluang besar bagi mereka yang berani berinvestasi dalam riset, kepatuhan, dan inovasi berkelanjutan.

Baca juga: Pengembangan Bioteknologi dalam Ekonomi Biru

 

Lalu, Bagaimana Strategi yang Dapat Dilakukan dalam Menghadapi Regulasi Baru?

 

Pelaku usaha di bidang bioteknologi dan kesehatan perlu menyiapkan strategi yang matang agar dapat bertahan sekaligus memanfaatkan peluang dari regulasi baru BPOM. Kepala BPOM menekankan bahwa pengawasan produk biologi harus mencakup seluruh siklus hidup produk, mulai dari riset hingga distribusi. Regulasi yang lebih ketat memang menambah beban kepatuhan, tetapi dengan pendekatan yang tepat, kebijakan ini dapat menjadi katalis pertumbuhan industri.

Pertama, perusahaan harus berinvestasi dalam sistem kepatuhan dan manajemen mutu. Regulasi baru menuntut data pra-klinik dan uji klinis yang lebih menyeluruh, sehingga pelaku usaha perlu membangun laboratorium dengan standar internasional, mengadopsi sistem berbasis ISO, GLP (Good Laboratory Practice), dan GMP (Good Manufacturing Practice). Langkah ini bukan hanya untuk memenuhi persyaratan BPOM, tetapi juga untuk membuka akses ke pasar global yang mensyaratkan standar serupa.

Kedua, pelaku usaha perlu mengembangkan strategi kolaborasi. Mengingat tingginya biaya riset dan kompleksitas uji klinis, kerja sama dengan universitas, lembaga riset, dan mitra internasional menjadi kunci. Kolaborasi ini dapat memperkuat kapasitas penelitian, mempercepat transfer teknologi, serta meningkatkan kualitas sumber daya manusia di bidang terapi gen dan sel. Dengan ekosistem penelitian yang lebih terpadu, perusahaan dapat menghasilkan data yang valid dan sesuai dengan standar evaluasi BPOM.

Ketiga, perusahaan harus membentuk tim khusus untuk regulatory intelligence. Tim ini bertugas memantau perubahan regulasi, menganalisis implikasi kebijakan, dan menyesuaikan strategi bisnis secara cepat. Dengan adanya tim yang fokus pada aspek regulasi, perusahaan dapat mengantisipasi hambatan administratif sekaligus memanfaatkan peluang kebijakan yang mendukung pengembangan produk bioteknologi dalam negeri.

Keempat, pelaku usaha perlu menyiapkan strategi pembiayaan yang berkelanjutan. Regulasi baru menuntut investasi besar dalam riset dan kepatuhan, sehingga perusahaan harus mencari sumber pendanaan alternatif, seperti venture capital, hibah riset, atau skema pembiayaan pemerintah. Dengan dukungan finansial yang kuat, perusahaan dapat menjalankan uji klinis sesuai standar tanpa mengorbankan keberlanjutan bisnis.

Terakhir, pelaku usaha harus membangun strategi komunikasi publik yang transparan. Regulasi menekankan akuntabilitas dan justifikasi ilmiah, sehingga perusahaan perlu menyampaikan hasil riset dan uji klinis secara terbuka kepada masyarakat dan pemangku kepentingan. Transparansi ini akan meningkatkan kepercayaan publik sekaligus memperkuat reputasi perusahaan di sektor bioteknologi.

Dengan strategi-strategi tersebut, pelaku usaha tidak hanya mampu memenuhi tuntutan regulasi, tetapi juga dapat menjadikan kebijakan baru BPOM sebagai peluang untuk memperkuat daya saing, memperluas pasar, dan menjadikan Indonesia sebagai salah satu pusat pengembangan bioteknologi di kawasan Asia, bahkan secara global.***

Baca juga: Obat Berbasis AI: Masa Depan Bioteknologi yang Lebih Cepat dan Presisi

 

Daftar Hukum:

  • Peraturan BPOM Nomor 24 Tahun 2025 tentang Tata Laksana Persetujuan Obat Pengembangan Baru (PerBPOM 24/2025).
  • Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2025 tentang Pedoman Penilaian Produk Terapi Advanced (PerBPOM 8/2025).
  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (UU Kesehatan).

Referensi:

  • Peraturan BPOM Nomor 8 Tahun 2025, Regulasi untuk Dorong Pengembangan Produk Terapi Advanced di Indonesia. Badan POM. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 08.06 WIB).
  • Tren Terbaru dalam Regulasi Biofarmasi oleh Badan Nasional Pengawasan. Badan Nasional Pengawasan Biofarmasi dan Produk. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 08.19 WIB).
  • Kepala POM Soroti Tantangan dan Peluang Produk Biologi di Pasar Global. Badan POM. (Diakses pada 1 Desember 2025 pukul 09.20 WIB).