Operasi plastik menjadi salah satu bentuk kemajuan pengembangan medis yang semakin populer di Indonesia, seiring dengan meningkatnya perhatian masyarakat terhadap estetika dan penampilan. Prosedur medis tersebut tidak hanya mencakup kebutuhan rekonstruksi setelah kecelakaan atau kelainan bawaan, tetapi juga tindakan estetika untuk memperbaiki atau memperindah penampilan fisik. Meskipun demikian, ketenaran operasi plastik membawa konsekuensi hukum yang perlu dipahami oleh masyarakat dan tenaga medis, mengingat setiap tindakan medis harus dilaksanakan sesuai dengan standar profesi, standar operasional prosedur, serta peraturan hukum kesehatan yang berlaku. 

 

Definisi dan Tujuan Operasi Plastik

 

Dalam konteks medis, operasi plastik merupakan cabang ilmu kedokteran yang berfokus pada perbaikan, rekonstruksi, atau perubahan bentuk tubuh manusia. Menurut Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”), jenis operasi plastik terbagi menjadi 2 (dua) kategori, yakni rekonstruktif dan estetika. Operasi plastik rekonstruktif bertujuan untuk memperbaiki struktur tubuh akibat cacat bawaan, luka bakar, trauma, atau penyakit tertentu. Prosedur ini memiliki tujuan medis yang jelas, seperti memulihkan fungsi tubuh atau mengembalikan kondisi anatomi yang terganggu. Sebagai contohnya adalah rekonstruksi wajah setelah kecelakaan atau perbaikan bibir sumbing.

Sementara itu, operasi plastik estetika bertujuan untuk memperbaiki penampilan fisik tanpa mengganggu fungsi tubuh. Umumnya, prosedur ini dilakukan atas alasan estetika, seperti operasi hidung (rhinoplasty), operasi kelopak mata (blepharoplasty), hingga sedot lemak (liposuction). Menurut Pasal 396 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”), bedah plastik hanya bisa dilakukan oleh dokter yang memiliki keahlian khusus dan kewenangan. 

Lebih lanjut, dalam UU Kesehatan menyatakan bahwa jenis operasi plastik rekonstruktif maupun estetika termasuk dalam kategori tindakan medis yang wajib mematuhi standar profesi, standar operasional prosedur (SOP), serta dengan memperoleh persetujuan pasien (informed consent) sebagaimana telah ditetapkan dalam UU Kesehatan.

 

Batasan Operasi Plastik yang Diperbolehkan di Indonesia 

 

Payung hukum mengenai tindakan operasi plastik telah tercantum dalam Pasal 137 UU Kesehatan jo Pasal 395 hingga 401 PP Kesehatan. Batasan pertama, mengenai pihak yang berwenang melakukan tindakan operasi plastik. Baik UU Kesehatan maupun PP Kesehatan telah menegaskan dengan jelas bahwa tindakan operasi plastik hanya dapat dilakukan oleh tenaga medis berkompeten dan memiliki kewenangan sesuai dengan regulasi yang berlaku. Dengan demikian, baik operasi plastik rekonstruktif maupun estetika tergolong sebagai tindakan medis khusus yang tidak dapat dilaksanakan oleh sembarang pihak.

Batasan kedua, terkait kepatuhan terhadap norma yang berlaku. Dalam Pasal 137 ayat (2) UU Kesehatan dengan tegas menyatakan bahwa tindakan operasi plastik tidak boleh melanggar norma yang berlaku dan tidak bertujuan mengubah identitas seseorang. Dalam hal ini, mengubah identitas mencakup mengubah wajah, jenis kelamin, dan/atau sidik jari, sehingga mengakibatkan perubahan identitas atau menghilangkan jejak jati diri seseorang.

Batasan ketiga, berkaitan dengan penyelenggaraan fasilitas pelayanan kesehatan. Menurut Pasal 397 ayat (1) PP Kesehatan, seluruh prosedur operasi plastik harus dilaksanakan di fasilitas pelayanan kesehatan resmi yang telah memenuhi persyaratan dan memperoleh izin penyelenggaraan pelayanan estetika atau bedah, seperti di Rumah Sakit atau Klinik Utama. Oleh karena itu, klinik ilegal maupun salon kecantikan tidak diperkenankan melakukan prosedur tindakan operasi plastik. 

Batasan keempat, mengenai pemenuhan standar operasional prosedur (SOP). Pada Pasal 399 ayat (2) PP Kesehatan telah menyatakan bahwa tindakan operasi plastik harus menyusun standar operasional prosedur dengan mempertimbangkan segala risiko maupun manfaat secara proporsional sebelum dilakukan. Dalam hal ini, dokter selaku Tenaga Medis diwajibkan memberikan informasi lengkap terkait risiko, manfaat, serta kemungkinan komplikasi kepada pasien sebelum mendapatkan informed consent. Tindakan tersebut sangat penting untuk dilakukan mengingat tindakan operasi plastik mampu menimbulkan berbagai risiko, seperti infeksi hingga kerusakan saraf

Batasan kelima atau yang terakhir, terkait pencatatan tindakan operasi plastik. Dalam Pasal 400 PP Kesehatan menyebutkan bahwa:
“Setiap pelayanan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang diselenggarakan oleh Fasilitas Pelayanan Kesehatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 397 ayat (1) harus dilakukan pencatatan dan pelaporan melalui Sistem Informasi Kesehatan yang terintegrasi dengan Sistem Informasi Kesehatan Nasional.”

Dengan demikian, tindakan operasi plastik di Indonesia hanya diperbolehkan jika dilaksanakan oleh Dokter yang berkompeten dan berwenang, mematuhi norma yang berlaku, dilaksanakan di Rumah Sakit atau Klinik Utama yang memenuhi persyaratan, dilaksanakan sesuai SOP, serta dicatatkan dan dilaporkan melalui Sistem Informasi Kesehatan.

Baca juga: Peran Chatbot dalam Optimalisasi Pelayanan Kesehatan

 

Ancaman Pidana Bedah Plastik Ilegal 

 

Praktik operasi plastik yang tidak memenuhi persyaratan sebagaimana telah diatur dalam UU Kesehatan maupun PP Kesehatan dapat dikatakan sebagai praktik operasi plastik ilegal. Dalam Pasal 433 UU Kesehatan telah menjelaskan mengenai larangan tindakan operasi plastik ilegal sebagaimana pasal tersebut berbunyi:

“Setiap orang yang melakukan bedah plastik rekonstruksi dan estetika yang bertentangan dengan norma yang berlaku dalam masyarakat dan ditujukan untuk mengubah identitas seseorang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 137 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah).”

Sanksi pidana sebagaimana telah ditetapkan dalam Pasal 433 UU Kesehatan mencakup hukuman penjara maksimum 10 (sepuluh tahun) atau denda mencapai 2 (dua) miliar rupiah. Ketentuan ancaman pidana tersebut berlaku bagi siapa saja yang terlibat dalam menjalankan praktik operasi plastik ilegal. Dalam hal ini, penerapan sanksi bertujuan melindungi masyarakat dari risiko kesehatan akibat praktik kedokteran yang tidak sah.

UU Kesehatan dan PP Kesehatan merupakan regulasi yang mengatur mengenai operasi plastik rekonstruktif dan estetika di Indonesia. Dengan ini, tindakan tersebut telah diakui sebagai sebuah aktivitas medis yang sah di Indonesia selama sesuai dengan batasan yang telah ditetapkan oleh peraturan perundang-undangan, menaati persyaratan, serta sesuai dengan norma yang berlaku di masyarakat. Meskipun telah diatur secara cermat, namun pada praktiknya operasi plastik ilegal masih saja ditemukan dan sulit dihentikan. Oleh karena itu, guna mencegah berkembangnya praktek ilegal yang membahayakan jiwa, sekaligus merugikan masyarakat luas, pemerintah telah menetapkan bahwa setiap tindakan operasi plastik ilegal dapat dijatuhi hukuman pidana maksimal 10 (sepuluh) tahun atau pidana denda maksimal Rp2 Miliar rupiah sebagaimana telah diatur dalam Pasal 433 UU Kesehatan.***

Baca juga: Pertanggungjawaban Hukum atas Malapraktik Telemedis berupa Kesalahan Diagnosa pada Platform Kesehatan Online

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksana Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (“PP Kesehatan”).

Referensi:

  • Apa itu Operasi Plastik? Persada Hospital. (Diakses pada 21 November 2025 Pukul 08.37 WIB).