Di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat dan digitalisasi yang merambah hampir seluruh sektor usaha, kepercayaan konsumen menjadi aset yang tak ternilai. Konsumen kini tak hanya menilai produk dari kualitas dan harga, tetapi juga dari kredibilitas dan transparansi pelaku usaha. Salah satu fondasi utama dalam membangun kepercayaan tersebut adalah legalitas usaha. Legalitas bukan sekadar formalitas administratif, melainkan menjadi representasi komitmen pelaku usaha terhadap kepatuhan hukum, profesionalisme, dan keberlanjutan bisnis.
Bagi UMKM, startup, maupun korporasi besar, legalitas usaha menjadi titik awal untuk membuka akses pasar yang lebih luas, menjalin kemitraan yang strategis, dan memperoleh pendanaan untuk memperbesar usaha. Lebih dari itu, legalitas menjadi pembeda yang kuat dalam strategi branding dan meningkatkan reputasi bisnis. SIP Law Firm akan mengulas jenis-jenis legalitas yang perlu dimiliki pelaku usaha, urgensinya dalam membangun kepercayaan konsumen, serta perannya dalam diferensiasi dan positioning bisnis jangka panjang.
Jenis-jenis Legalitas Usaha yang Wajib Dimiliki
Legalitas usaha adalah fondasi hukum yang memastikan bahwa suatu entitas bisnis beroperasi secara sah dan bertanggung jawab. Di Indonesia, legalitas ini tidak hanya menjadi syarat administratif, tetapi juga menjadi indikator kredibilitas dan kesiapan bisnis untuk berkembang. Legalitas usaha dapat dibagi ke dalam dua kategori utama, yakni legalitas wajib dan izin khusus/sertifikasi.
Legalitas Wajib
Legalitas wajib adalah dokumen dan status hukum dasar yang harus dimiliki oleh setiap pelaku usaha, baik UMKM, startup, maupun korporasi besar. Tanpa dokumen ini, sebuah usaha dianggap tidak sah secara hukum dan berisiko menghadapi sanksi administratif maupun pidana. Berikut adalah komponen legalitas wajib, di antaranya:
- Nomor Induk Berusaha (NIB)
NIB adalah identitas pelaku usaha yang diterbitkan melalui sistem Online Single Submission (OSS) yang berfungsi sebagai Tanda Daftar Perusahaan (TDP) dan akses ke perizinan lainnya. Hal ini dijelaskan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 28/2025”) melalui Pasal 1 angka 12 bahwa Nomor Induk Berusaha yang selanjutnya disingkat NIB adalah bukti registrasi/pendaftaran Pelaku Usaha untuk melakukan kegiatan usaha dan sebagai identitas bagi Pelaku Usaha dalam pelaksanaan kegiatan usahanya.
Selanjutnya dalam Pasal 234 ayat (2) PP 28/2025 bahwa NIB untuk kegiatan usaha dengan tingkat Risiko rendah yang dilakukan oleh UMK, berlaku juga sebagai:
- Standar Nasional Indonesia (SNI) sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang standardisasi dan penilaian kesesuaian; dan/atau
- Pernyataan jaminan halal sebagaimana dimaksud dalam peraturan perundang-undangan di bidang jaminan produk halal.
- Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP)
NPWP adalah identitas perpajakan yang wajib dimiliki oleh setiap pelaku usaha. NPWP menjadi dasar dalam pelaporan dan pembayaran pajak, serta menjadi syarat dalam berbagai transaksi bisnis seperti tender, pengajuan kredit, dan kerja sama dengan instansi pemerintah.
Pengaturan mengenai legalitas NPWP perusahaan tercantum dalam sejumlah regulasi perpajakan di Indonesia. Dasar hukum utamanya adalah Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (“UU 6/1983”), yang telah mengalami beberapa kali perubahan, dengan pembaruan terakhir melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”).
NPWP perusahaan memegang peranan penting dalam operasional bisnis. Sebagai identitas resmi dalam sistem perpajakan, NPWP memudahkan perusahaan dalam mengelola administrasi pajak. Selain itu, NPWP menjadi landasan bagi pelaku usaha untuk menjalankan kewajiban perpajakan, termasuk perhitungan, pembayaran, dan pelaporan Pajak Penghasilan (PPh) serta Pajak Pertambahan Nilai (PPN).
- Akta Pendirian dan Pengesahan Badan Hukum
Untuk usaha berbentuk badan hukum seperti PT atau CV, akta pendirian yang disahkan oleh notaris dan pengesahan dari Kementerian Hukum adalah syarat mutlak. Akta ini mencantumkan struktur kepemilikan, modal, dan tujuan usaha, serta menjadi dasar hukum dalam penyelesaian sengketa dan pengambilan keputusan bisnis.
Izin Khusus dan Sertifikasi
Selain legalitas dasar, beberapa jenis usaha memerlukan izin khusus atau pun sertifikasi tambahan sesuai dengan sektor dan risiko kegiatan usahanya. Izin ini menunjukkan bahwa usaha tersebut telah memenuhi standar teknis, keamanan, dan etika yang ditetapkan. Beberapa contoh izin khusus dan sertifikasi meliputi:
- Izin Sektor Spesifik
Misalnya, usaha di bidang kesehatan memerlukan izin dari Kementerian Kesehatan, usaha pendidikan memerlukan izin operasional dari Dinas Pendidikan, dan usaha transportasi memerlukan izin dari Kementerian Perhubungan. Izin ini memastikan bahwa usaha tersebut memenuhi standar operasional dan keselamatan yang berlaku.
- Sertifikat Halal
Untuk usaha makanan, minuman, kosmetik, dan produk konsumsi lainnya, sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) menjadi penting, terutama untuk pasar Muslim. Sertifikasi ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”), yang mewajibkan pelaku usaha untuk memastikan kehalalan produk sebelum dipasarkan
- Sertifikasi ISO dan Standar Mutu
Sertifikasi ISO seperti ISO 9001 (manajemen mutu), ISO 14001 (manajemen lingkungan), dan ISO/IEC 27001 (keamanan informasi) menjadi nilai tambah dalam branding dan kepercayaan konsumen, terutama untuk usaha yang bergerak di bidang teknologi, manufaktur, dan jasa profesional.
- Pendaftaran Hak Kekayaan Intelektual (HKI)
Merek dagang, paten, desain industri, dan hak cipta perlu didaftarkan ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) untuk melindungi aset kreatif dan mencegah pembajakan. Pendaftaran HKI juga menjadi bukti kepemilikan dan dapat meningkatkan valuasi bisnis.
- Izin Lingkungan dan Bangunan
Untuk usaha yang memiliki dampak terhadap lingkungan atau menggunakan bangunan komersial, diperlukan izin lingkungan (AMDAL/UKL-UPL) dan Izin Mendirikan Bangunan (IMB) atau Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) sesuai regulasi terbaru.
Baca juga: Tanggung Jawab E-Commerce Terhadap Transaksi Jual-Beli Antara Penjual dan Konsumen
Memahami Legalitas sebagai Alat Membangun Kepercayaan Konsumen
Legalitas usaha berfungsi sebagai jaminan bahwa produk atau jasa yang ditawarkan telah melalui proses yang sah dan sesuai standar. Konsumen cenderung lebih percaya pada bisnis yang memiliki izin resmi, karena hal ini menunjukkan komitmen terhadap kualitas, keamanan, dan tanggung jawab hukum.
Dilansir dari laman Kompas, legalitas usaha menjadi kunci agar UMKM naik kelas dan terlindungi secara hukum. Dengan legalitas yang jelas, pelaku usaha lebih mudah mengakses pembiayaan, mengikuti tender, dan menjalin kerja sama strategis. Konsumen pun merasa lebih aman bertransaksi karena ada kepastian hukum jika terjadi sengketa.
Dalam dunia digital, kepercayaan konsumen terhadap toko online, aplikasi, atau platform sangat bergantung pada transparansi legalitas. Startup yang mencantumkan legalitasnya di situs web atau aplikasi menunjukkan profesionalisme dan mengurangi kekhawatiran konsumen terhadap penipuan atau penyalahgunaan data.
Selain itu, usaha yang tidak memiliki legalitas cukup berisiko terkena sanksi administratif, penutupan operasional, denda atau sanksi lingkungan atau keselamatan, atau bahkan reputasi buruk jika konsumen mengetahui bahwa usaha tidak memiliki izin resmi.
Dengan legalitas yang lengkap, usaha lebih siap terhadap audit dan inspeksi dari pemerintah atau regulator, dan lebih mudah menyesuaikan perubahan regulasi karena berada dalam jalur formal.
Baca juga: Perlindungan Data Pribadi Konsumen dalam E-Commerce: Kewajiban, Hak, dan Tanggung Jawab
Legalitas sebagai Metode Strategi Branding Bisnis Jangka Panjang
Di era persaingan bisnis yang semakin kompleks, legalitas bukan lagi sekadar kewajiban administratif, melainkan aset strategis dalam membangun citra dan reputasi usaha. Legalitas yang lengkap dan transparan menunjukkan bahwa sebuah bisnis tidak hanya berorientasi pada keuntungan, tetapi juga menjunjung tinggi etika, kepatuhan hukum, dan tanggung jawab sosial. Hal ini menjadi pembeda yang kuat dalam strategi branding, terutama di mata konsumen yang semakin kritis dan sadar hukum.
Salah satu contoh konkret adalah sertifikasi halal. Bagi pelaku usaha di sektor makanan, minuman, kosmetik, dan farmasi, sertifikat halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) bukan hanya syarat legal, tetapi juga simbol kepercayaan dan komitmen terhadap nilai-nilai konsumen muslim. Sertifikasi halal memberikan jaminan bahwa produk telah melalui proses audit dan verifikasi yang ketat, sesuai dengan prinsip syariah dan standar keamanan pangan. Hal ini menjadi nilai jual yang kuat, terutama di pasar domestik dan ekspor ke negara-negara mayoritas muslim.
Dalam hal branding, sertifikat halal dapat ditampilkan secara strategis di kemasan produk, materi promosi, dan platform digital untuk memperkuat citra usaha yang bertanggung jawab dan peduli terhadap kebutuhan konsumen. Konsumen cenderung lebih loyal terhadap merek yang menunjukkan komitmen terhadap nilai-nilai mereka, dan legalitas seperti sertifikasi halal menjadi bukti nyata dari komitmen tersebut.
Bahkan, beberapa perusahaan menjadikan proses sertifikasi halal sebagai bagian dari storytelling merek, untuk menunjukkan integritas dan kualitas produk mereka. Dalam jangka panjang, legalitas yang terintegrasi dalam strategi branding akan memperkuat posisi bisnis sebagai entitas yang profesional, kredibel, dan berkelanjutan.
Membangun kepercayaan konsumen bukanlah proses instan, tetapi legalitas usaha adalah langkah awal yang strategis dan berdampak luas. Legalitas bukan hanya soal izin, tetapi tentang komitmen terhadap kualitas, etika, dan keberlanjutan. Pelaku usaha, baik UMKM, startup, maupun korporasi besar, perlu menjadikan legalitas sebagai bagian dari strategi bisnis, branding, dan reputasi bisnisnya.
Dengan memahami jenis legalitas yang relevan dan mengintegrasikannya dalam komunikasi bisnis, pelaku usaha dapat membangun fondasi kepercayaan yang kokoh, membuka akses pasar yang lebih luas, dan memperkuat posisi bisnis dalam jangka panjang.***
Baca juga: Ini yang Harus Diketahui Pelaku Usaha agar Tak Melanggar Hak Konsumen!
Daftar Hukum:
- Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2025 tentang Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (“PP 28/2025”).
- Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (“UU HPP”).
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”).
Referensi:
- Legalitas NPWP Perusahaan: Kepatuhan Pajak Badan Usaha. Jaga Pajak. (Diakses pada 12 November 2025 pukul 15.45 WIB).
- Legalitas Usaha Kunci Agar UMKM Naik Kelas dan Terlindungi Secara Hukum. Kompas. (Diakses pada 12 November 2025 pukul 15.57 WIB).
