Hubungan antara bank dan nasabah seringkali memunculkan permasalahan yang kompleks, sehingga membutuhkan penyelesaian dengan cara yang tepat, baik melalui internal maupun mekanisme hukum. Kondisi tersebut pada umumnya memposisikan nasabah selaku konsumen produk dan/atau jasa bank memiliki kedudukan yang relatif lebih lemah dibandingkan bank sebagai pelaku usaha jasa keuangan.
Maka dari itu, penting bagi nasabah untuk memahami posisi hukum dalam menghadapi persengketaan, mengenali jenis-jenis sengketa yang kerap terjadi, serta mengetahui langkah-langkah perlindungan yang dapat ditempuh agar hak-haknya tetap terlindungi secara adil.
Memahami Posisi dalam Sengketa
Negara Indonesia mengenal 2 jenis bank umum, yakni bank konvensional dan bank syariah. Kedua jenis bank tersebut memiliki fungsi dan tujuan yang sama, namun terdapat perbedaan pada sistem operasionalnya. Bank konvensional didasari atas hukum dan mengenal sistem bunga, sementara itu bank syariah beroperasi atas prinsip syariah islam dan menggunakan sistem bagi hasil (akad). Perbedaan tersebut tidak hanya berpengaruh pada produk dan mekanisme transaksi yang ditawarkan, melainkan juga pola hubungan hukum antara bank dan nasabah.
Ketika terjadi persengketaan antara bank dengan nasabah, maka diperlukan pemahaman terkait penempatan diri secara tepat. Dalam hal ini, nasabah memiliki kedudukan sebagai konsumen yang menikmati produk dan/atau layanan yang diberikan oleh bank, sementara itu bank berkedudukan sebagai lembaga penyedia layanan jasa keuangan. Sejatinya konsumen berhak atas mendapatkan informasi yang benar, berhak memilih layanan, berhak atas keamanan, serta berhak mendapatkan perlindungan apabila mengalami persengketaan sebagaimana tertera dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”).
Berkaitan dengan hak-hak konsumen, bank pun memiliki kewajiban untuk memberikan layanan yang sesuai, menyediakan informasi secara transparan, serta memberikan kompensasi, ganti rugi, dan/atau penggantian atas kerugian yang dialami oleh konsumen sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Pasal 7 UU PK.
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU P2SK”) secara eksplisit mencantumkan asas pelindungan konsumen sebagai bagian dari tujuan pembentukan UU P2SK, yakni untuk mendorong kontribusi sektor keuangan bagi pertumbuhan ekonomi yang inklusif, berkelanjutan, dan berkeadilan guna meningkatkan taraf hidup masyarakat, mengurangi ketimpangan ekonomi, dan mewujudkan Indonesia yang sejahtera, maju, dan bermartabat sebagaimana tercantum dalam Pasal 3 UU P2SK.
Oleh karena itu, apabila terjadi persengketaan antara bank dengan nasabah, pada umumnya nasabah diposisikan sebagai pihak yang berpotensi lebih besar dirugikan atas tindakan atau kelalaian bank, sedangkan bank sebagai pihak penyedia layanan yang harus bertanggung jawab atas keluhan dari nasabah. Pemahaman posisi ini sangat penting dipahami oleh kedua belah pihak agar masing-masing pihak dapat menentukan strategi penyelesaian sengketa yang tepat jika tertimpa persengketaan, baik melalui internal bank ataupun menempuh jalur hukum.
Jenis-Jenis Sengketa yang Pada Umumnya Terjadi antara Bank Konvensional vs Nasabah
Pada praktik perbankan konvensional di Indonesia, terdapat beberapa jenis sengketa yang cenderung bermunculan, beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
- Sengketa Pengaduan Layanan
Jenis sengketa ini muncul jika nasabah mengeluhkan layanan bank yang tidak sesuai dengan standar, contohnya adalah terlambat menangani pengaduan, memberikan informasi produk yang tidak jelas, ataupun pelayanan yang tidak sesuai perjanjian. Menurut Pasal 6 ayat (1) Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (“PBI 7/2005”), bank berkewajiban menerima pengaduan yang diajukan oleh nasabah, serta dalam Pasal 2 ayat (1) PBI 7/2005 menyatakan bahwa bank wajib menyelesaikan pengaduan tersebut. - Sengketa terkait Kontrak atau Akad Bank
Ketika nasabah merasa bahwa klausula dalam perjanjian baku (standard form) berpotensi merugikan, contohnya adalah klausula eksekusi, denda, atau bunga yang tidak proporsional, maka nasabah berhak meminta kejelasan secara rinci kepada pihak bank sebelum menyetujui isi perjanjian tersebut. - Sengketa Wanprestasi dan Kredit Bermasalah
Apabila terjadi kredit nasabah bermasalah yang kemudian tindakan yang dilakukan oleh bank adalah melakukan eksekusi agunan milik nasabah, namun nasabah yang bersangkutan merasa dirugikan, maka hal tersebut dapat menjadi dasar timbulnya sengketa wanprestasi antara kedua belah pihak, sehingga memerlukan mekanisme mediasi atau mekanisme hukum lainnya. - Sengketa Data dan Privasi Nasabah
Melalui digitalisasi jasa keuangan, perlindungan data nasabah menjadi isu krusial. Seluruh data nasabah harus dijaga kerahasiaannya oleh bank sebagaimana hal tersebut telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”). - Sengketa terkait Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan
Bank sebagai pelaku jasa keuangan harus memiliki layanan pengaduan sesuai Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 18/2018”). Apabila bank tidak memiliki layanan pengaduan, maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa peringatan atau teguran tertulis, dan/atau penurunan dalam penilaian. - Sengketa Likuidasi atau Bank dalam Masalah
Dalam kondisi ekstrim, ketika bank gagal atau dalam likuidasi, nasabah dapat terlibat dalam sengketa penjaminan simpanan atau likuidasi bank.
Dengan mengetahui berbagai jenis sengketa di atas, maka nasabah dan bank dapat lebih proaktif dalam mencegah, mengelola, ataupun menyusun strategi dalam menyelesaikan sengketa dengan tepat.
Baca juga: Penggunaan Smart Contract dalam Perbankan dan Implikasinya Secara Hukum
Panduan Langkah-Langkah Perlindungan Nasabah
Adapun panduan praktis yang dapat ditempuh oleh nasabah dalam upaya penyelesaian sengketa dengan bank konvensional, yakni sebagai berikut:
Langkah pertama adalah mencermati ulang isi kontrak atau akad. Pada tahap ini, nasabah perlu mereview kembali terkait isi kontrak/akad dengan bank. Apabila nasabah menemukan klausa yang memberatkan atau merugikan, maka nasabah dapat mempertimbangkan untuk meminta penjelasan ataupun melakukan negosiasi dengan bank.
Langkah kedua adalah dengan meminta penjelasan atau melakukan konsultasi ke bank. Ketika nasabah merasa ada ketidaksesuaian, maka ia dapat berkomunikasi dengan pihak bank dengan mencantumkan kronologi kejadian, bukti, serta tuntutan yang jelas. Kemudian bank wajib menindaklanjuti segala pengaduan nasabah dan menanggapi aduan tersebut dalam jangka waktu yang telah ditetapkan.
Langkah ketiga adalah mengajukan pengaduan ke Otoritas Jasa Keuangan (OJK) atau Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa (Lembaga APS). Apabila bank tidak menghiraukan pengaduan, ataupun tidak tercapai kesepakatan antara bank dengan nasabah, maka nasabah dapat mengajukan aduan tersebut ke OJK atau Lembaga APS sebagaimana hal ini didasari atas Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 61/2020”). Selain itu, dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (“PBI 3/2023”) turut memperkuat pelindungan konsumen di sektor perbankan. Adapun langkah praktis yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
- Mempersiapkan dokumen pengaduan, seperti kontrak, bukti transaksi, serta korespondensi dengan bank
- Mengajukan pengaduan melalui mekanisme resmi bank atau OJK
- Apabila memilih penyelesaian melalui Lembaga APS, maka perlu memastikan telah memenuhi persyaratan, seperti pengaduan sudah diajukan ke bank.
Langkah keempat adalah melakukan pendampingan atau mediasi. Ketika pengaduan telah diajukan, namun masih belum ada penyelesaian yang memuaskan, maka nasabah dapat mempertimbangkan menggunakan mediasi atau pendampingan hukum. Dalam hal ini, nasabah bisa meminta advokasi atau konsultasi kepada lembaga perlindungan konsumen atau pengacara yang memahami hukum perbankan dan perlindungan konsumen. Pendampingan hukum berguna agar nasabah memahami posisi hak dan kewajiban, serta tindakan hukum yang tepat untuk diambil.
Langkah kelima adalah dengan memastikan hasil kesepakatan atau keputusan benar-benar dilakukan. Ketika memilih langkah mediasi atau pengajuan ke OJK/Lembaga APS dan hasil kesepakatan atau keputusan benar menyatakan bahwa bank bersalah dalam sengketa, maka hasil kesepakatan atau putusan tersebut wajib dilaksanakan oleh bank dan nasabah dapat mengawasi apakah hasil kesepakatan atau putusan tersebut benar-benar dilaksanakan oleh bank.
Langkah keenam adalah mengupayakan jalur litigasi. Apabila upaya non-litigasi telah dilakukan, tetapi bank tetap tidak memenuhi kewajibannya ataupun sengketa tidak dapat terselesaikan dengan baik, maka nasabah berhak menempuh jalur hukum melalui pengadilan. Dalam hal ini, sebaiknya nasabah telah memahami terkait bentuk gugatan yang tepat, memahami waktu kedaluwarsa, serta prosedur pengadilan yang berlaku pada sistem hukum Indonesia.
Sengketa antara bank konvensional dan nasabah merupakan tantangan yang terus berkembang dalam sektor jasa keuangan di Indonesia. Melalui regulasi yang semakin memihak pada perlindungan konsumen, kini nasabah memiliki payung hukum yang lebih kuat dalam menuntut hak-haknya. Akan tetapi, keberhasilan penyelesaian sengketa tetap bergantung pada pemahaman nasabah dan bank terhadap posisinya, jenis sengketa yang dihadapi, serta kemampuan para pihak dalam menentukan strategi penyelesaian sengketa yang tepat. Ketika bank responsif terhadap aduan nasabah dan mampu menyelesaikan sengketa secara tepat, maka akan meningkatkan reputasi dan kepercayaan dari nasabah. Dengan demikian, pada akhirnya penyelesaian sengketa yang adil, cepat, dan efisien tidak hanya menguntungkan satu pihak, melainkan berpotensi memperkuat sektor keuangan secara keseluruhan.***
Baca juga: Mengenal Undisbursed Loan dalam Sistem Perbankan
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (“UU P2SK”)
- Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2022 tentang Perlindungan Data Pribadi (“UU PDP”).
- Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU PK”)
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 61/POJK.07/2020 tentang Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 61/2020”).
- Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 18/POJK.07/2018 tentang Layanan Pengaduan Konsumen di Sektor Jasa Keuangan (“POJK 18/2018”).
- Peraturan Bank Indonesia Nomor 3 Tahun 2023 tentang Perlindungan Konsumen Bank Indonesia (“PBI 3/2023”)
- Peraturan Bank Indonesia Nomor 7/7/PBI/2005 tentang Penyelesaian Pengaduan Nasabah (“PBI 7/2005”)
Referensi:
- Sengketa Nasabah vs Bank, Selesaikan dengan Langkah-langkah Ini. HukumOnline. (Diakses pada 5 November 2025 Pukul 13.10 WIB)
