Di era globalisasi dan persaingan pasar yang semakin ketat, pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) dihadapkan pada tantangan besar dalam mempertahankan kualitas produk. Banyak produk lokal memiliki ciri khas yang unik dan bernilai tinggi, namun sering kali belum memiliki perlindungan hukum yang memadai. Merek dapat digunakan sebagai identitas produk yang dihasilkan UMKM yang bermanfaat sebagai pembeda dengan produk lain, sehingga memudahkan konsumen untuk mengenalinya saat akan membeli. Salah satu solusi yang ditawarkan oleh sistem kekayaan intelektual adalah merek kolektif, yakni bentuk perlindungan hukum yang memungkinkan sekelompok pelaku usaha menggunakan satu merek bersama untuk menunjukkan asal, kualitas, atau karakteristik produk mereka.

Konsep merek kolektif menjadi penting karena banyak UMKM di Indonesia beroperasi dalam komunitas atau asosiasi yang memiliki produk serupa, seperti pengrajin batik, petani kopi, atau pembuat tenun. Dengan merek kolektif, mereka tidak hanya memperoleh perlindungan hukum atas nama kelompok, tetapi juga dapat memperkuat posisi di pasar secara bersama-sama. SIP Law Firm akan mengulas dasar hukum merek kolektif, perbedaannya dengan indikasi geografis, manfaatnya bagi UMKM dan komunitas lokal, serta persyaratan pendaftarannya. 

 

Dasar Hukum Merek Kolektif dan Perbedaannya dengan Indikasi Geografis

 

Definisi merek kolektif diatur dalam Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG) yang menyatakan bahwa:

“Merek Kolektif adalah Merek yang digunakan pada barang dan/atau jasa dengan karakteristik yang sama mengenai sifat, ciri umum, dan mutu barang atau jasa serta pengawasannya yang akan diperdagangkan oleh beberapa orang atau badan hukum secara bersama-sama untuk membedakan dengan barang dan/atau jasa sejenis lainnya.”

Sementara itu, indikasi geografis diatur dalam Pasal 1 angka 6 UU MIG dan didefinisikan sebagai tanda yang menunjukkan daerah asal suatu barang dan/atau produk yang karena faktor lingkungan geografis termasuk faktor alam, faktor manusia atau kombinasi dari kedua faktor tersebut memberikan reputasi, kualitas, dan karakteristik tertentu pada barang dan/atau produk yang dihasilkan.

Meskipun sekilas tampak serupa karena sama-sama melibatkan kelompok masyarakat dan termasuk ke dalam kategori komunal, perbedaan mendasar antara keduanya meliputi:

AspekMerek KolektifIndikasi Geografis
Dasar HukumPasal 1 angka 4 dan Pasal 50 UU MIGPasal 1 angka 6, Pasal 53-66 UU MIG
Subjek hukumAsosiasi atau kelompok pelaku usaha yang memiliki kesamaan produk/jasaKomunitas yang menghasilkan produk khas dari daerah tertentu
Fokus perlindunganKesamaan mutu, karakteristik, dan pengawasan antar anggotaHubungan produk dan wilayah geografis
KepemilikanDimiliki bersama oleh anggota kelompokDimiliki oleh negara, dikelola oleh lembaga masyarakat dari suatu daerah
ContohnyaMerek kolektif “Batik Trusmi Cirebon” yang digunakan oleh pengrajin di bawah asosiasiIndikasi Geografis “Kopi Gayo” yang terkait langsung dengan daerah asal

 

Dilansir dari laman HukumOnline, dijelaskan bahwa merek kolektif lebih fleksibel dan dapat digunakan oleh komunitas usaha yang tidak selalu terkait dengan wilayah geografis tertentu, sementara indikasi geografis harus menunjukkan keterkaitan erat antara produk dan daerah asalnya. 

 

Manfaat Merek Kolektif bagi UMKM dan Komunitas Lokal

 

Dalam World Intellectual Property Organization (WIPO), merek kolektif disebut dengan “the regulation concerning the use of collective mark” yang peraturan itu harus berisikan tentang:

  1. Sifat, ciri-ciri umum atau mutu dari barang atau jasa yang diproduksi dan perdagangannya akan menggunakan merek kolektif.
  2. Ketentuan bagi pemilik merek kolektif untuk melakukan pengawasan yang efektif atas penggunaan merek tersebut sesuai dengan peraturan.
  3. Sanksi atas pelanggaran peraturan penggunaan merek kolektif.

Dengan adanya ketentuan ini, maka terkandung pengertian adanya persyaratan yang harus diikuti oleh orang atau badan hukum yang ikut menggunakan merek tersebut. Bagi UMKM dan komunitas lokal, merek kolektif tidak hanya menjadi alat perlindungan hukum, tetapi juga instrumen ekonomi yang penting. Beberapa manfaat utama dapat diuraikan sebagai berikut:

  • Perlindungan Hukum Bersama

Melalui pendaftaran merek kolektif, kelompok UMKM memperoleh perlindungan hukum dari tindakan pelanggaran seperti pemalsuan atau penggunaan tanpa izin. Hal ini penting karena pelaku usaha kecil sering kali tidak memiliki kemampuan finansial atau sumber daya untuk mendaftarkan merek secara individu. Dengan merek kolektif, mereka dapat berbagi hak dan tanggung jawab perlindungan hukum secara bersama.

  • Meningkatkan Daya Saing dan Reputasi Produk

Merek kolektif menjadi sarana penting untuk membangun reputasi bersama di pasar. Ketika merek digunakan secara konsisten oleh anggota yang memenuhi standar mutu tertentu, konsumen akan lebih percaya terhadap produk tersebut. Misalnya, “Madu Sumbawa” yang dijual oleh kelompok peternak lebah memiliki merek kolektif yang menjamin mutu dan asal produk, sehingga dapat bersaing dengan merek komersial besar. Menurut HukumOnline, merek kolektif juga membantu pelaku UMKM “naik kelas” karena menciptakan identitas bersama yang kuat dan mudah dikenali oleh pasar.

  • Efisiensi Biaya dan Promosi Bersama

Salah satu upaya untuk menekan biaya dan memberikan perlindungan terhadap merek barang yang diproduksi oleh anggota-anggota koperasi produksi adalah dengan menggunakan merek kolektif, karena  dengan menggunakan merek kolektif anggota koperasi sebagai pemohon dapat menanggung biaya yang timbul dari proses pendaftaran merek kolektif tersebut.

Mendaftarkan merek kolektif secara kelompok jauh lebih efisien dibandingkan pendaftaran individual. Biaya administrasi, promosi, hingga kegiatan pemasaran dapat dilakukan secara bersama-sama. Asosiasi juga dapat membentuk tim pengelola merek kolektif yang bertanggung jawab dalam menjaga konsistensi kualitas dan promosi, sebagaimana diatur dalam peraturan penggunaan merek kolektif yang wajib dilampirkan saat pendaftaran.

  • Pemberdayaan Komunikasi Lokal

Lebih jauh, merek kolektif mendorong kemandirian komunitas lokal. Melalui sistem ini, masyarakat tidak hanya menjadi produsen, tetapi juga pelaku ekonomi yang sadar hukum dan mampu mengelola hak kekayaan intelektualnya sendiri. Hal ini sejalan dengan misi pemerintah untuk mendorong transformasi ekonomi berbasis kreativitas dan kekayaan lokal.

Dalam Pasal 46 ayat (4) UU MIG diatur bahwa:

“Untuk pemberdayaan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, Pemerintah dapat mendaftarkan Merek Kolektif yang diperuntukkan bagi pengembangan usaha dimaksud dan/atau pelayanan publik.”

Baca juga: Indikasi Geografis sebagai Peluang UMKM Lokal Menembus Pasar Global

 

Lalu, Bagaimana Prosedur Pendaftaran Merek Kolektif?

 

Diatur dalam Pasal 46 ayat (1) UU MIG bahwa permohonan pendaftaran merek sebagai merek kolektif hanya dapat diterima jika dalam permohonan dengan jelas dinyatakan bahwa merek tersebut akan digunakan sebagai merek kolektif. Ketentuan penggunaan merek kolektif paling sedikit memuat mengenai:

  1. Sifat, ciri umum, atau mutu barang dan/atau jasa yang akan diproduksi dan diperdagangkan;
  2. Pengawasan atas penggunaan Merek Kolektif; dan
  3. Sanksi atas pelanggaran ketentuan penggunaan Merek Kolektif. 

Secara administratif, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) mensyaratkan bahwa permohonan merek kolektif harus secara jelas dinyatakan sebagai merek kolektif dan dilampiri salinan ketentuan penggunaan merek tersebut. Ketentuan ini bertujuan untuk memastikan bahwa merek digunakan secara konsisten oleh seluruh anggota dan tidak disalahgunakan.

Langkah pendaftaran merek kolektif secara garis besar sama dengan pendaftaran merek biasa, namun dengan beberapa tambahan dokumen. Prosesnya meliputi:

  1. Pengajuan Permohonan melalui sistem online DJKI;
  2. Pemeriksaan Formalitas, untuk menilai kelengkapan dokumen dan peraturan penggunaan merek kolektif;
  3. Pemeriksaan Substantif, untuk menilai apakah merek tidak melanggar ketentuan Pasal 20 (misalnya, bertentangan dengan moralitas, kesusilaan, atau meniru merek lain);
  4. Pengumuman Merek selama 2 bulan untuk memberi kesempatan pihak lain mengajukan keberatan;
  5. Pendaftaran dan Penerbitan Sertifikat Merek Kolektif.

Selain itu, pemohon harus memiliki badan hukum yang sah, seperti koperasi, asosiasi, atau kelompok usaha bersama. Hal ini penting untuk menjamin akuntabilitas dan keberlanjutan penggunaan merek kolektif. DJKI juga mendorong pemanfaatan merek kolektif sebagai bagian dari strategi nasional untuk meningkatkan daya saing produk dalam negeri. Pada tahun 2023, Menteri Hukum dan HAM kala itu menetapkannya sebagai “Tahun Merek Nasional” untuk mendorong rasa cinta terhadap produk buatan Indonesia melalui penguatan merek kolektif.

Meskipun manfaat merek kolektif sangat besar, implementasinya di lapangan masih menghadapi sejumlah tantangan. Salah satunya adalah rendahnya pemahaman pelaku UMKM terhadap konsep dan prosedur pendaftaran merek kolektif. Banyak pelaku usaha yang belum menyadari bahwa merek kolektif dapat menjadi alat strategis untuk meningkatkan nilai tambah produk mereka.

Tantangan lainnya adalah koordinasi antar anggota kelompok atau koperasi. Penggunaan merek kolektif membutuhkan komitmen bersama dalam menjaga standar mutu dan konsistensi produk. Tanpa pengawasan yang ketat, merek kolektif dapat kehilangan reputasi dan kepercayaan konsumen.

Untuk mengatasi tantangan tersebut, diperlukan edukasi dan pendampingan hukum yang intensif dari pemerintah dan lembaga terkait. Program pelatihan, seminar, dan klinik HKI dapat membantu pelaku UMKM memahami manfaat dan prosedur merek kolektif. Selain itu, digitalisasi proses pendaftaran dan pengawasan merek kolektif dapat mempercepat implementasi dan meningkatkan transparansi.***

Baca juga: Kenali Kriteria dan Persyaratan UMKM untuk Memperoleh KUR Perumahan 2025

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis (UU MIG). 
  • Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights (TRIPs).

Referensi:

  • Masnun, M. A. (2019). Reorientasi Pengaturan Pemberdayaan Hukum Usaha Mikro Kecil Menengah Melalui Hak Atas Merek Kolektif. Jurnal Wawasan Yuridika, 3(2), 217. (Diakses pada 20 Oktober 2025 pukul 13.34 WIB). 
  • Terlihat Sama, Pahami Perbedaan Merek Kolektif dan Indikasi Geografis. HukumOnline. (Diakses pada 20 Oktober 2025 pukul 13.58 WIB).
  • Mahdi, F., Santoso, B., & Mahmudah, S. (2016). Merek Kolektif sebagai Upaya Perlindungan Merek Bersama untuk USAha Mikro Kecil dan Menengah dalam Implementasi Undang-undang Nomor 15 Tahun 2001 Tentang Merek (Studi Merek Genteng Sokka Kabupaten Kebumen). Diponegoro Law Review, 5(3), 19329. (Diakses pada 20 Oktober 2025 pukul 14.43 WIB). 
  • Merek Kolektif, Solusi Pengusaha UMKM. HukumOnline. (Diakses pada 20 Oktober 2025 pukul 14.59 WIB).
  • Memahami Persyaratan Pendaftaran dan Penggunaan Merek Kolektif. HukumOnline. (Diakses pada 20 Oktober 2025 pukul 15.14 WIB).