Percepatan penggunaan kendaraan bermotor listrik berbasis baterai (KBLBB) telah menjadi salah satu fokus pemerintah dalam melaksanakan kebijakan energi nasional. Agar transformasi menuju KBLBB tidak mengalami hambatan khususnya dalam bidang infrastruktur, maka kebutuhan terkait penyediaan jaringan Stasiun Pengisian kendaraan Listrik Umum (SPKLU) merupakan hal yang krusial.
Meskipun didukung dengan kebijakan yang kuat dan terbukanya peluang bisnis yang lebar, namun pada praktiknya pembangunan SPKLU kerap menghadapi tantangan maupun hambatan hukum. Oleh karena itu, tulisan ini akan mengupas secara kritis pada 3 hal pokok utama, yakni: target pemerintah terkait pembangunan SPKLU, regulasi perizinan pembangunan SPKLU, serta hambatan pembangunan SPKLU.
Target Pemerintah terkait Pembangunan SPKLU
Pemerintah telah menargetkan tercapainya bauran energi baru dan energi terbarukan antara 19% hingga 23% pada 2030 sebagaimana tertera dalam Pasal 10 Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”). Untuk merealisasikan hal tersebut, salah satu fokus pemerintah adalah dengan menyerukan masyarakat untuk segera beralih dari kendaraan bermotor berbahan bakar minyak menuju kendaraan motor berbasis listrik.
Kendaraan motor berbasis listrik saat ini terbagi atas sistem pengisian dayanya, yakni melalui swapping (pertukaran) baterai dan charging (pengisian). Sistem swapping dilaksanakan dengan mengunjungi stasiun terdekat untuk menukarkan baterai yang kosong dengan baterai yang penuh di stasiun penukaran. Sementara itu, sistem charging dilakukan dengan mengisi ulang daya baterai di Stasiun pengisian Kendaraan Listrik Umum (SPKLU), mirip seperti mengisi bensin di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU).
Menurut Pasal 1 angka 5 Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (“Perpres 79/2023”) menyatakan bahwa:
“Stasiun Pengisian Kendaraan Listrik Umum yang selanjutnya disingkat SPKLU adalah sarana pengisian energi listrik untuk KBL Berbasis Baterai untuk umum.”
Dilansir dari laman Detik, pemerintah telah menargetkan sejumlah 2 juta mobil listrik dan 13 juta mobil listrik yang akan beroperasi di Indonesia pada 2030. Target tersebut menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah, mengingat masih banyak masyarakat Indonesia yang belum juga mau beralih ke kendaraan listrik. Kurangnya minat masyarakat beralih ke kendaraan listrik pun terjadi karena beberapa faktor, seperti harga kendaraan yang cenderung masih mahal, infrastruktur pengisian daya yang masih sedikit, serta jarak tempuh kendaraan yang terbatas. Untuk menanggapi tantangan tersebut, pemerintah menargetkan pembangunan SPKLU menjadi 31.859 unit hingga 2030 di seluruh tanah air. Target yang dikerahkan oleh pemerintah dilaksanakan melalui kolaborasi antar lintas sektor, yakni melibatkan Pihak Pemerintah Indonesia, PLN, serta pihak swasta.
Regulasi Perizinan Pembangunan SPKLU
Berdasarkan ketentuan pada Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (“Permen ESDM 1/2023”), pengisian daya SPKLU terbagi atas teknologi pengisian lambat (slow charging) dengan daya keluaran hinga 7 (tujuh) kilowatt, teknologi pengisian menengah (medium charging) dengan daya keluaran antara 7 (tujuh) kilowatt hingga 22 (dua puluh dua) kilowatt, serta teknologi pengisian cepat (fast charging) dengan daya keluaran lebih dari 22 (dua puluh dua) hingga 50 (lima puluh) kilowatt.
Menurut Pasal 2 ayat (1) huruf a Permen ESDM 1/2023, infrastruktur pengisian listrik untuk KBLBB sebagai fasilitas pengisian ulang, setidaknya mencakup:
- Peralatan catu daya listrik;
- Sistem kontrol arus, tegangan, dan komunikasi; dan
- Sistem proteksi dan keamanan.
Berkaitan dengan hal di atas, menurut Pasal 26 ayat (2) Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (“Perpres 55/2019”), terdapat lokasi khusus untuk melakukan pembangunan SPKLU, yakni dengan beberapa kriteria sebagai berikut:
- Mudah dijangkau oleh pemilik KBLBB;
- Disediakan tempat parkir khusus SPKLU; dan
- Tidak mengganggu keamanan, keselamatan, ketertiban, dan kelancaran berlalu lintas.
Jika ditinjau dari hal di atas, maka dapat diketahui bahwa keberadaan pembangunan SPKLU telah diatur dalam Permen ESDM 1/2023 dan Perpres 55/2019. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa pembangunan SPKLU di Indonesia telah memiliki dasar hukum yang jelas dan bersifat mengikat secara nasional.
Baca juga: Akhiri Insentif Mobil Listrik CBU 2025, Bagaimana Nasib Produsen dan Konsumen Indonesia?
Hambatan Pembangunan SPKLU
Meskipun Negara Indonesia telah menetapkan regulasi terkait pembangunan SPKLU di Indonesia, namun implementasinya hingga saat ini SPKLU masih terbatas di kota-kota besar wilayah Indonesia. Keterbatasan tersebut terjadi karena terdapat berbagai hambatan yang harus dihadapi, diantaranya adalah sebagai berikut:
- Tumpang Tindih Regulasi
Banyaknya regulasi yang mengatur terkait KBLBB justru berpotensi menimbulkan persoalan baru berupa tumpang tindih kebijakan dan ketidakjelasan kewenangan antar lembaga pemerintah yang tentu berdampak pada kebutuhan pembangunan SPKLU. Setiap instansi memiliki pendekatan dan prioritas yang berbeda, sehingga perbedaan fokus tersebut menimbulkan inkonsistensi dalam penerapan kebijakan bahkan berimbas pada proses perizinan yang panjang. Maka dari itu, diperlukan sinkronisasi lintas sektor melalui harmonisasi peraturan dan pembentukan mekanisme koordinasi terpadu agar setiap kebijakan terkait KBLBB memiliki arah yang sama.
- Belum Meratanya Infrastruktur dan Regulasi Insentif yang Terbatas di Daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, Terluar)
Sampai saat ini belum ada regulasi insentif yang menarik terkait investasi SPKLU di daerah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar), sehingga pembangunan infrastruktur SPKLU masih terpusat di wilayah perkotaan dan daerah dengan daya beli tinggi. Adanya ketimpangan tersebut menunjukkan bahwa kebijakan nasional terkait percepatan KBLBB belum sepenuhnya menerapkan asas kemanfaatan, efisiensi berkeadilan, dan keberlanjutan sebagaimana telah diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”).
- Distribusi Informasi yang Belum Terintegrasi
Adanya keterbatasan informasi, seperti keterbatasan informasi terkait potensi lokasi pembangunan SPKLU, rincian perizinan, serta insentif yang ditawarkan oleh pemerintah, tentu dapat menjadi faktor penghambat dalam melaksanakan pembangunan SPKLU karena berpotensi menimbulkan ketidakpastian hukum dan keterlambatan investasi. Selain itu, pelaku usaha juga tidak memiliki akses yang memadai terkait informasi strategis yang menjadi dasar utama pengambil keputusan bisnis dan kepatuhan hukum.
Secara keseluruhan, sistem hukum positif di Indonesia telah menunjukkan kemajuan yang signifikan terhadap persiapannya dalam rangka perizinan maupun standar teknis untuk pembangunan SPKLU, terutama melalui Permen ESDM 1/2023 dan Perpres 55/2019. Hal tersebut pun selaras dengan ambisius pemerintah dengan menargetkan 31.859 unit SPKLU pada 2030 sebagai langkah strategis pemerintah menuju transisi energi. Meskipun demikian, hal tersebut tidak menghilangkan potensi risiko hukum melalui beberapa hambatan, mulai dari tumpang tindih regulasi hingga distribusi informasi yang belum terintegrasi menjadi tantangan tersendiri yang harus dikelola secara sistematis. Tanpa adanya mitigasi hambatan, maka berpotensi mengganggu pembangunan SKPLU sekaligus menggagalkan target yang telah dirancang oleh pemerintah.***
Baca juga: Pemanfaatan Energi Baru untuk Kendaraan Listrik di Indonesia Menuju Transisi Energi Berkelanjutan
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”)
- Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 1 Tahun 2023 tentang Penyediaan Infrastruktur Pengisian Listrik untuk Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (“Permen ESDM 1/2023”)
- Peraturan Presiden Nomor 79 Tahun 2023 tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (“Perpres 79/2023”).
- Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (Battery Electric Vehicle) untuk Transportasi Jalan (“Perpres 55/2019”)
Referensi:
- Kendaraan Listrik Digenjot, SPKLU Ditambah hingga 31.859 Unit. Detik. (Diakses pada 17 Oktober 2025 Pukul 10.20 WIB).
- Ketimpangan Infrastruktur: Ketergantungan Mobil Listrik dan Ketidakmerataan SPKLU di Indonesia. BPMPP UMA. (Diakses pada 20 Oktober 2025 Pukul 09.46 WIB).
- Sembiring, R, H. (2025). Strategi Kebijakan Peningkatan Adopsi Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB) di Indonesia. Journal of Innovation Research and Knowledge, Vol. 4, No. 11, Hal 8755. (Diakses pada 20 Oktober 2025 Pukul 11.01 WIB).
