Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia. Dengan jumlah mencapai lebih dari 64 (enam puluh empat) juta unit usaha dan menyerap hampir 96% (sembilan puluh enam persen) tenaga kerja nasional, posisi UMKM yang vital ini menjadikannya penopang stabilitas ekonomi, sekaligus salah satu sektor yang paling rentan terhadap dinamika bisnis dan krisis keuangan.
Namun, dalam praktiknya, tidak semua UMKM dapat bertahan dari tekanan ekonomi, persaingan usaha, atau beban kewajiban finansial. Ketika UMKM mengalami kesulitan keuangan yang serius, muncul pertanyaan penting, apakah UMKM dapat dinyatakan pailit? Bagaimana mekanisme hukum yang berlaku, dan apa dampaknya terhadap keberlangsungan usaha kecil yang kerap berperan sebagai penggerak ekonomi lokal?
SIP Law Firm akan menguraikan syarat kepailitan yang berlaku untuk UMKM, risiko dan dampaknya, serta alternatif solusi hukum bagi perusahaan.
Syarat Kepailitan yang Berlaku untuk UMKM
Secara hukum, UMKM diposisikan sama dengan badan usaha lain dalam hal kepailitan. Tidak ada perbedaan kedudukan antara UMKM, perseroan terbatas, firma, maupun perorangan yang melakukan kegiatan usaha ketika berhadapan dengan aturan kepailitan. Artinya, meskipun UMKM memiliki karakteristik usaha yang sederhana dan skala terbatas, mekanisme hukum yang berlaku tetap mengikat mereka secara penuh.
Berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”) menetapkan bahwa syarat suatu pihak dapat dinyatakan pailit adalah:
“Debitor yang mempunyai dua atau lebih Kreditor dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan, baik atas permohonannya sendiri maupun atas permohonan satu atau lebih kreditornya.”
Berdasarkan ketentuan tersebut, ada 2 (dua) syarat utama agar debitor (termasuk UMKM, perusahaan, atau perorangan) dapat dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga, yaitu:
- Debitor memiliki minimal 2 (dua) atau lebih kreditur
Artinya, tidak cukup hanya ada satu kreditur. Harus ada setidaknya dua pihak yang memberikan utang atau memiliki piutang terhadap debitor. - Debitor tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih
Tidak semua utang harus gagal dibayar. Cukup ada satu utang yang sudah jatuh tempo dan sah untuk ditagih, tetapi tidak dilunasi debitor.
Lebih lanjut, dalam Pasal 2 ayat (1) UU K-PKPU, tidak disebutkan adanya batasan minimum nilai utang maupun ukuran perusahaan sebagai syarat untuk dapat dinyatakan pailit. Ini menunjukkan bahwa, baik perusahaan besar maupun usaha kecil seperti UMKM memiliki kedudukan yang sama di mata hukum dalam hal kepailitan. Selama debitur memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak mampu membayar setidaknya satu utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih, maka ia dapat diajukan pailit oleh krediturnya atau atas permohonan sendiri.
Ketentuan ini menunjukkan bahwa hukum kepailitan bersifat universal dan tidak membedakan skala usaha, baik UMKM maupun korporasi besar. Sehingga, UMKM pun berpotensi menghadapi proses kepailitan apabila tidak mampu memenuhi kewajiban utangnya sesuai dengan syarat yang ditentukan dalam undang-undang.
Menurut laporan World Bank Group, UMKM secara global merupakan pengguna terbesar dari sistem kepailitan, namun hanya sedikit yurisdiksi yang memiliki rezim khusus untuk menangani kepailitan UMKM. Di Indonesia, belum ada pengaturan khusus yang membedakan perlakuan kepailitan antara UMKM dan entitas bisnis lainnya. Dr. Aria Suyudi yang merupakan Dosen Hukum Bisnis STHI Jentera berpendapat bahwa Indonesia masih terjebak pada penafsiran dalam Pasal 1131 dan 1132 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPerdata”) yang mengatur bahwa utang debitur akan hidup terus selama belum dilunasi.
Dalam praktiknya, hal ini dapat menyebabkan UMKM terjerat dalam proses hukum yang panjang dan kompleks, meskipun nilai utangnya relatif kecil dan struktur usahanya sederhana. Tanpa perlindungan atau mekanisme yang lebih proporsional, UMKM berisiko kehilangan seluruh asetnya hanya karena gagal memenuhi satu kewajiban utang.
Baca juga: Pentingnya Sertifikat Halal untuk Produk UMKM
Lebih Dalam, Seperti Risiko dan Dampak Kepailitan bagi UMKM?
Dengan adanya pernyataan pailit pada suatu perseroan UMKM, maka harta kekayaan perseroan menjadi objek sita umum dalam hal dinyatakan pailit, sehingga seluruh harta kekayaan perusahaan tersebut harus dilakukan sita dan terhadap semua perikatan Debitor yang terbit sesudah putusan pernyataan pailit tidak lagi dapat dibayar dari harta pailit, kecuali perikatan tersebut menguntungkan harta pailit.
Kepailitan bagi UMKM tidak hanya berdampak pada pemilik usaha, tetapi juga pada ekosistem ekonomi yang lebih luas. Beberapa risiko dan dampak yang dapat terjadi antara lain:
- Kehilangan aset usaha
Dengan putusan pailit, seluruh aset UMKM menjadi bagian dari boedel pailit yang akan dikelola oleh kurator. Aset tersebut kemudian dapat dijual untuk membayar utang kepada kreditur. Hal ini berpotensi menyebabkan UMKM kehilangan sarana produksi, tempat usaha, maupun aset pribadi yang terkait.
- Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Kepailitan bisa memaksa UMKM untuk memberhentikan karyawan karena usaha tidak lagi beroperasi. Dampaknya bukan hanya pada pengusaha, tetapi juga terhadap pekerja dan keluarganya.
- Terganggunya kepercayaan bisnis
Reputasi UMKM yang dinyatakan pailit akan terpengaruh secara signifikan. Kreditur, investor, maupun mitra dagang akan lebih berhati-hati bekerja sama kembali dengan pihak yang pernah mengalami kepailitan.
- Konsekuensi hukum tambahan
Proses kepailitan menuntut UMKM untuk menjalani persidangan, pengurusan, hingga likuidasi aset. Tanpa pendampingan hukum yang memadai, UMKM bisa berada dalam posisi yang lemah di hadapan kreditur yang lebih besar.
- Dampak sosial dan ekonomi lokal
Banyak UMKM berperan penting dalam menyerap tenaga kerja di daerah. Jika UMKM pailit, efek domino berupa pengangguran dan berkurangnya perputaran ekonomi lokal bisa terjadi.
Dengan demikian, risiko kepailitan bagi UMKM sangat besar, sehingga penting untuk memikirkan alternatif penyelesaian yang lebih ramah dan berkelanjutan.
Baca juga: Pentingnya Legalitas Usaha bagi UMKM
Alternatif Sebelum Kepailitan: PKPU dan Restrukturisasi
Sebelum menempuh jalur kepailitan, UMKM memiliki opsi lain yang lebih bersifat preventif dan solutif, yaitu Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dan restrukturisasi utang. PKPU merupakan mekanisme hukum yang memungkinkan debitur dan kreditur untuk merundingkan skema pembayaran utang secara damai di bawah pengawasan pengadilan niaga.
Tujuan penundaan pembayaran (PKPU) adalah untuk mencegah kepailitan seorang debitur yang tidak dapat membayar tetapi yang mungkin dapat membayar di masa yang akan datang (yang dekat). Dalam situasi di mana debitur hanya mengalami kesulitan likuiditas sementara, proses kepailitan justru dapat menimbulkan kerugian, terutama berupa penurunan nilai aset atau modal yang tidak menguntungkan bagi para kreditur. Sebagai alternatif, PKPU memberikan kesempatan bagi debitur untuk memperoleh jeda waktu atau “nafas lega” guna menyusun kembali strategi usaha dan menyelesaikan kewajiban secara bertahap. Fasilitas ini memungkinkan debitur untuk tetap menjalankan operasional bisnis sambil merundingkan skema pembayaran dengan kreditur. Namun, jika upaya reorganisasi tidak membuahkan hasil, maka proses PKPU tersebut dapat beralih menjadi kepailitan sesuai ketentuan hukum yang berlaku.
Dalam Pasal 222 ayat (2) UU K-PKPU menyatakan:
“Debitur yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.”
PKPU memberikan ruang bagi UMKM untuk menyusun rencana perdamaian yang mencakup restrukturisasi utang, perpanjangan waktu pembayaran, atau pengurangan nilai utang. Proses ini lebih fleksibel dan tidak serta-merta menghilangkan kendali atas usaha. Jika rencana perdamaian disetujui oleh mayoritas kreditur dan disahkan oleh pengadilan, UMKM dapat melanjutkan operasionalnya tanpa harus dinyatakan pailit.
Selain PKPU, restrukturisasi utang secara non-litigasi juga menjadi alternatif yang layak. UMKM dapat melakukan negosiasi langsung dengan kreditur untuk merancang skema pembayaran baru yang lebih realistis. Restrukturisasi ini dapat mencakup penjadwalan ulang utang, pengurangan bunga, atau konversi utang menjadi ekuitas. Pendekatan ini lebih efisien dan menghindari stigma hukum yang melekat pada kepailitan.
UMKM memang dapat dinyatakan pailit apabila memenuhi syarat yang diatur dalam UU K-PKPU. Tidak ada ketentuan khusus yang membedakan UMKM dengan badan usaha lainnya. Namun, risiko dan dampak kepailitan terhadap UMKM sangat signifikan, mulai dari kehilangan aset hingga dampak sosial-ekonomi yang luas.
Oleh karena itu, alternatif penyelesaian melalui PKPU dan restrukturisasi menjadi sangat penting untuk diprioritaskan. UMKM memerlukan dukungan regulasi yang lebih adaptif dan perlindungan khusus, agar tetap dapat bertahan sebagai penggerak utama ekonomi nasional. Perumusan kebijakan yang ramah UMKM dalam konteks kepailitan dan PKPU akan menjadi langkah strategis menjaga stabilitas perekonomian Indonesia.***
Baca juga: Menghindari Pelanggaran Hak Cipta dalam Bisnis Kreatif dan UMKM
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
Referensi:
- Mengenal UMKM Indonesia, Tulang Punggung Ekonomi yang Terus Bergerak. UMKM Indonesia. (Diakses pada 24 September 2025 pukul 11.14 WIB).
- Report on the Treatment of MSME Insolvency. World Bank. (Diakses pada 24 September 2025 pukul 11.48 WIB).
- Perlunya Pengaturan Kepailitan dan PKPU Khusus untuk UMKM. HukumOnline. (Diakses pada 24 September 2025 pukul 11.56 WIB).
- Sitorus, R. (2021). Eksistensi Perseroan Umk Dan Implikasi Hukumnya Terhadap Kepailitan Menurut Sistem Hukum Di Indonesia. Majalah Hukum Nasional, 51(1), 21–39. (Diakses pada 24 September 2025 pukul 13.22 WIB).
- Arimba Rivaldo, J. S. M. (2022). Perlindungan Hukum Terhadap Usaha Mikro Kecil Menengah (Umkm) Sebagai Mitra Usaha Ketika Terjadi Kepailitan Perusahaan. Journal of Legal Research, 4(1), 65–74. (Diakses pada 24 September 2025 pukul 13.30 WIB).
