Industri halal global saat ini menjadi salah satu sektor ekonomi yang paling pesat pertumbuhannya. Seiring meningkatnya kesadaran konsumen muslim di seluruh dunia akan pentingnya produk halal, permintaan terhadap produk halal pun kian mengalami peningkatan. Indonesia sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia memiliki potensi besar untuk menjadi pemain utama dalam pasar halal internasional. Potensi tersebut tidak hanya terbatas pada kebutuhan domestik, melainkan juga merambah pada peluang ekspor produk halal ke berbagai negara tujuan, seperti negara-negara di Timur Tengah, Asia Selatan, bahkan Eropa dan Amerika.
Untuk menjawab tantangan sekaligus peluang tersebut, keberadaan sertifikat halal menjadi sangat krusial. Sertifikat halal tidak hanya berfungsi sebagai bentuk kepatuhan terhadap regulasi dalam negeri, tetapi juga sebagai instrumen strategis dalam memperkuat daya saing produk di pasar global. Di tengah ketatnya kompetisi perdagangan internasional, sertifikat halal dapat menjadi nilai tambah (added value) bagi produk Indonesia, sehingga mampu bersaing dengan produk dari negara lain yang lebih dulu mengembangkan industri halal.
Seperti Apa Potensi Indonesia dalam Pasal Halal Dunia?
Menurut data yang dihimpun oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI), pasar halal dunia memiliki nilai yang sangat besar, bahkan diproyeksikan terus tumbuh dari tahun ke tahun. Indonesia memiliki posisi strategis untuk mengambil bagian dalam pasar ini karena beberapa faktor, di antaranya jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, keberlimpahan sumber daya alam, serta dukungan pemerintah dalam mengembangkan ekosistem halal.
Strategi yang dicanangkan Indonesia untuk merebut pasar halal dunia meliputi: penguatan regulasi, pembinaan pelaku usaha, peningkatan kualitas produk, serta ekspansi jaringan dagang halal internasional. Namun, tanpa adanya jaminan halal yang diakui secara global, produk Indonesia sulit bersaing di pasar ekspor. Hal ini menjadi alasan mengapa sertifikasi halal bukan hanya formalitas, melainkan keharusan dalam strategi bisnis modern.
Lebih jauh, posisi Indonesia dalam pasar halal dunia semakin penting mengingat tren global yang menunjukkan bahwa konsumen non-muslim juga mulai tertarik pada produk halal. Hal ini terjadi karena produk halal sering diasosiasikan dengan kualitas, kebersihan, serta keamanan pangan yang lebih terjamin. Dengan demikian, sertifikasi halal dapat memperluas basis konsumen, tidak hanya di negara-negara dengan mayoritas muslim, tetapi juga di negara dengan mayoritas non-muslim yang peduli terhadap standar kualitas.
Selain itu, Indonesia memiliki peluang besar untuk mengembangkan beragam sektor halal, bukan hanya makanan dan minuman, tetapi juga farmasi, kosmetik, pariwisata, hingga fesyen. Menurut State of the Global Islamic Economy (SGIE) Report 2023, Indonesia berada di peringkat ketiga. Posisi ini meningkat dari tahun 2022 yang berada di posisi keempat. Pengeluaran konsumen muslim dunia untuk produk halal pun mencapai triliunan dolar setiap tahunnya, dan angka ini diperkirakan terus meningkat. Jika Indonesia mampu memanfaatkan peluang tersebut dengan serius, maka kontribusi industri halal terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional akan semakin signifikan.
Data terbaru yang disampaikan oleh Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) mengungkapkan bahwa pasar halal global saat ini telah menembus nilai Rp20.670 triliun. Angka yang fantastis ini menjadi bukti nyata bahwa industri halal adalah salah satu motor penggerak ekonomi dunia. Indonesia, dengan modal sumber daya dan jumlah penduduk muslim yang besar, memiliki peluang besar untuk mengambil porsi signifikan dari nilai pasar tersebut. Namun, hal ini hanya dapat terwujud apabila pelaku usaha mampu memenuhi persyaratan sertifikasi halal yang diakui secara internasional, sehingga produk nasional dapat diterima lebih luas di kancah global.
Namun, peluang besar ini juga datang dengan tantangan yang tidak ringan. Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain yang sudah lebih dahulu mengembangkan ekosistem halal, seperti Malaysia, Thailand, dan Uni Emirat Arab. Oleh karena itu, selain memperkuat regulasi dan sertifikasi halal, Indonesia juga perlu memperhatikan aspek inovasi, teknologi, serta promosi internasional agar mampu menjadi pusat industri halal dunia.
Bagaimana Regulasi Produk Halal di Indonesia?
Regulasi produk halal di Indonesia telah mengalami perkembangan dalam satu dekade terakhir, seiring dengan meningkatnya kesadaran konsumen dan tuntutan pasar global terhadap jaminan kehalalan produk. Pemerintah Indonesia menempatkan jaminan produk halal sebagai bagian penting dari perlindungan konsumen, penguatan industri nasional, dan strategi ekspor. Hal ini tercermin dari lahirnya Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”) yang menjadi tonggak awal kewajiban sertifikasi bagi produk yang beredar di Indonesia, sebagaimana diatur dalam Pasal 4 UU JPH.
Sementara dalam Pasal 3 UU JPH menegaskan bahwa adanya penyelenggaraan jaminan produk halal bertujuan untuk:
- Memberikan kenyamanan, keamanan, keselamatan, dan kepastian ketersediaan Produk Halal bagi masyarakat dalam mengonsumsi dan menggunakan Produk; dan
- Meningkatkan nilai tambah bagi Pelaku Usaha untuk memproduksi dan menjual Produk Halal.
Sebagai tindak lanjut dari UU JPH, pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 42/2024”) yang memperjelas mekanisme pelaksanaan jaminan produk halal. PP ini mengatur secara teknis mengenai kewajiban sertifikasi halal yang diatur dalam Pasal 2 PP 42/2024 yang berbunyi sebagai berikut:
- Produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal;
- Produk yang berasal dari Bahan yang diharamkan dikecualikan dari kewajiban bersertifikat halal;
- Produk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) wajib diberikan keterangan tidak halal.
Ketentuan Pasal tersebut menegaskan prinsip dasar sistem jaminan produk halal di Indonesia, yakni setiap produk yang beredar wajib diklasifikasikan secara jelas sebagai halal atau tidak halal. Tidak ada ruang abu-abu atau kategori netral dalam sistem ini. Produk yang memenuhi standar halal harus melalui proses sertifikasi, sementara produk yang berasal dari bahan yang diharamkan secara eksplisit wajib diberi label “nonhalal” agar konsumen dapat membuat keputusan yang sadar dan sesuai dengan keyakinan.
Implikasi hukum dari ketentuan ini sangat penting bagi pelaku usaha. Sertifikasi halal bukan hanya menjadi syarat administratif, tetapi juga bentuk transparansi dan tanggung jawab hukum terhadap konsumen. Dengan hanya 2 (dua) kategori yang diakui secara legal, yakni halal dan tidak halal, pelaku usaha wajib memastikan bahwa klasifikasi produk mereka sesuai dengan ketentuan yang berlaku atau tidak. Kegagalan dalam mencantumkan status halal atau tidak halal dapat berujung pada sanksi administratif, pencabutan izin edar, atau bahkan tuntutan hukum berdasarkan pelanggaran terhadap hak konsumen dan prinsip kejelasan informasi.
Baca juga: PP Jaminan Produk Halal Telah Diundangkan
Sertifikasi Halal sebagai Strategi Bisnis dan Ekspor
Sertifikasi halal dapat dilihat dari 2 (dua) dimensi, yakni:
- Dimensi Legalitas: Pemenuhan terhadap regulasi nasional, sebagaimana diatur dalam UU JPH dan PP 42/2024.
- Dimensi Bisnis: Sebagai alat pemasaran dan daya saing dalam persaingan pasar, baik lokal maupun global.
Dasi sisi bisnis, sertifikasi halal dapat meningkatkan brand trust, memperluas pasar, serta memberikan jaminan mutu pada konsumen. Banyak perusahaan besar, baik nasional maupun multinasional, menempatkan label halal sebagai salah satu strategi branding yang efektif.
Dalam ekspor, sertifikasi halal menjadi syarat penting untuk masuk ke pasar tertentu, misalnya negara-negara anggota Organisasi Kerjasama Islam (OKI) atau Organization of Islamic Cooperation (OIC) mensyaratkan standar halal yang diakui, bahkan beberapa negara non-muslim seperti Jepang, Korea Selatan, dan Australia juga memberikan atensi khusus terhadap produk halal, terutama pada sektor makanan dan minuman. Sertifikasi halal Indonesia yang diakui luas dapat meningkatkan daya tawar produk nasional di pasar global.
Baca juga: Proses Produk Halal dalam PP 39/2021
Lalu, Bagaimana Tata Cara Mengurus Sertifikasi Halal?
Mengurus sertifikasi halal bagi pelaku usaha di Indonesia telah diatur secara jelas oleh BPJPH bekerja sama dengan MUI dan LPH. Prosedurnya, sebagaimana dijelaskan oleh MUI, mencakup tahapan berikut:
- Pendaftaran: Pelaku usaha mengajukan permohonan sertifikasi halal melalui sistem daring BPJPH.
- Pemeriksaan Dokumen: Dokumen terkait bahan, proses produksi, hingga distribusi diperiksa untuk memastikan kesesuaian dengan standar halal.
- Pemeriksaan LPH: Lembaga Pemeriksa Halal melakukan audit lapangan untuk memastikan bahwa seluruh proses produksi sesuai ketentuan.
- Sidang Fatwa MUI: Hasil audit LPH diserahkan kepada MUI untuk ditetapkan fatwa halal produk tersebut.
- Penerbitan Sertifikat Halal: BPJPH menerbitkan sertifikat halal berdasarkan penetapan fatwa MUI.
Proses ini pada prinsipnya menekankan traceability dan transparency, sehingga konsumen maupun mitra dagang internasional dapat meyakini bahwa produk yang bersertifikat halal benar-benar memenuhi standar yang berlaku.
Sertifikasi halal ini tidak dapat dipandang semata-mata sebagai kewajiban administratif. Di era globalisasi perdagangan, sertifikasi halal adalah instrumen strategis yang dapat meningkatkan daya saing produk Indonesia baik di pasar domestik maupun internasional. Dengan dukungan regulasi, serta tata cara pengurusan yang semakin transparan, Indonesia memiliki peluang besar untuk memperkuat posisinya dalam pasar halal dunia.
Pelaku usaha di Indonesia yang ingin memasarkan produknya di dalam negeri maupun di luar negeri perlu menjadikan sertifikasi halal sebagai bagian dari strategi bisnis, bukan sekadar kepatuhan. Dengan demikian, sertifikasi halal dapat menjadi kunci untuk membuka akses ke pasar ekspor yang lebih luas, sekaligus memberikan kontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.***
Baca juga: Kerja Sama Internasional Jaminan Produk Halal
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (“UU JPH”).
- Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (“PP 42/2024”).
Referensi:
- Industri Halal Penopang Pertumbuhan Ekonomi Nasional. Indonesia.go.id. (Diakses pada 18 September 2025 pukul 14.00 WIB).
- Strategi Indonesia Merebut Pasar Halal Dunia. Halal MUI. (Diakses pada 18 September 2025 pukul 14.10 WIB).
- Pasar Halal Tembus Rp20.000 Triliun, Kepala BPJPH: Peluang Market yang Harus Kita Ambil. BPJPH Halal. (Diakses pada 18 September 2025 pukul 14.25 WIB).
- Prosedur Sertifikasi Halal MUI untuk Produk yang Beredar di Indonesia. Halal MUI. (Diakses pada 18 September 2025 pukul 14.30 WIB).
