Transisi menuju energi bersih dan berkelanjutan merupakan salah satu pilar utama dalam pembangunan nasional yang ramah lingkungan. Indonesia sebagai negara berkembang memiliki tantangan besar dalam mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil, sembari mendorong penggunaan Energi Baru dan Terbarukan (EBT). Walaupun Indonesia memiliki kapasitas yang menjanjikan dalam pemanfaatan sumber daya EBT, pengembangan sektor ini tetap menghadapi tantangan struktural yang memerlukan keterlibatan aktif pemerintah, baik melalui pembentukan regulasi yang mendukung maupun pemberian insentif fiskal yang tepat.

Pemerintah Indonesia menyiapkan sejumlah insentif untuk pengembangan pembangkit listrik energi baru terbarukan. Hal tersebut terungkap dalam Buku Nota Keuangan Rancangan Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2025. Sejak 2016 hingga 2021, pemerintah telah mengucurkan pendanaan sebesar Rp97,8 triliun per tahun untuk belanja demi mengantisipasi perubahan iklim. Untuk itu, pemerintah akan mengoptimalkan berbagai kebijakan pembiayaan seperti penelusuran pinjaman, investasi pemerintah, penjaminan, dan pembiayaan kreatif. 

Insentif Pajak untuk Produk dan Industri Energi Baru Terbarukan

Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022) memberikan kerangka hukum penting dalam mendorong percepatan pembangunan EBT, khususnya dalam penyediaan tenaga listrik. Salah satu fokus utama regulasi ini adalah pemberian insentif fiskal, termasuk strategi insentif pajak, untuk menarik minat investor dan pelaku industri energi terbarukan.

Dalam Pasal 22 ayat (1) Perpres 112/2022, dijelaskan bahwa dalam melaksanakan pengembangan pembangkit Tenaga Listrik yang memanfaatkan sumber Energi Terbarukan, Badan Usaha diberikan insentif dalam bentuk fiskal maupun nonfiskal. Dalam penjelasannya, Perpres ini mendorong kementerian/lembaga terkait, termasuk Kementerian Keuangan, untuk memberikan dukungan fiskal berupa pembebasan atau pengurangan pajak tertentu bagi proyek-proyek EBT.

Sementara dalam Pasal 22 ayat (2), dijelaskan lebih lanjut bahwa insentif fiskal dapat berupa:

  1. fasilitas pajak penghasilan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  2. fasilitas impor berupa pembebasan bea masuk impor dan/atau pajak dalam rangka impor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan dan kepabeanan;
  3. fasilitas pajak bumi dan bangunan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang perpajakan;
  4. dukungan pengembangan panas bumi; dan/atau
  5. dukungan fasilitas pembiayaan dan/atau penjaminan melalui badan usaha milik negara yang ditugaskan pemerintah.

Insentif ini bertujuan untuk menurunkan biaya produksi pembangkit EBT yang selama ini dianggap kurang kompetitif dibandingkan pembangkit berbasis energi fosil. Dengan adanya dukungan fiskal, diharapkan tarif listrik dari EBT menjadi lebih terjangkau dan menarik bagi investor. Dengan demikian, tarif listrik yang dihasilkan dari pembangkit EBT dapat ditawarkan dengan harga yang lebih kompetitif di pasar, meningkatkan daya tarik bagi investor domestik maupun asing, dan membuka peluang investasi jangka panjang di sektor energi hijau.

Jenis Insentif Perpajakan dan Kepabeanan untuk Produk dan Industri EBT

Untuk mendorong investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT), pemerintah Indonesia telah merancang berbagai skema insentif fiskal dan kepabeanan yang bersifat strategis. Insentif ini tidak hanya bertujuan untuk menurunkan beban biaya investasi, tetapi juga untuk meningkatkan daya saing proyek EBT di tengah dominasi energi fosil.

  • Tax allowance

Salah satu bentuk dukungan fiskal yang diberikan pemerintah kepada pelaku usaha di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT) adalah fasilitas tax allowance. Ketentuan ini tercantum dalam Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (PP 78/2019). 

Melalui skema ini, pemerintah memberikan pengurangan Pajak Penghasilan (PPh) neto sebesar 5% per tahun selama enam tahun, atau total 30% dari nilai investasi. Fasilitas tersebut mencakup 166 bidang usaha yang memenuhi kriteria, meningkat dari sebelumnya yang hanya mencakup 71 bidang usaha.

  • Tax holiday

Ketentuan mengenai pemberian fasilitas pengurangan pajak bagi investor diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (“PMK 130/2020”) serta Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7 Tahun 2020 tentang Rincian Bidang Usaha dan Jenis Produksi Industri Pionir serta Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (“PerBKPM 7/2020”).

Melalui regulasi tersebut, pemerintah memberikan pengurangan pajak penghasilan (PPh) Badan bagi wajib pajak badan yang melakukan penanaman modal baru pada industri pionir atas kegiatan usaha utama yang dilakukan.

investor yang menanamkan modal minimal sebesar Rp100 miliar berhak memperoleh insentif berupa pembebasan Pajak Penghasilan Badan hingga 100% selama jangka waktu antara 5 hingga 20 tahun, tergantung pada besaran nilai investasi yang direalisasikan. Selain itu, terdapat skema insentif tambahan berupa Mini Tax Holiday, yang memberikan pengurangan Pajak Penghasilan Badan maksimal sebesar 50% selama lima tahun bagi investor dengan nilai investasi antara Rp100 miliar hingga Rp500 miliar.

  • Fasilitas Impor dan Kepabeanan

Fasilitas impor dan kepabeanan merupakan dukungan fiskal yang diberikan pemerintah untuk menekan biaya investasi sektor EBT. Melalui pembebasan Bea Masuk, PPN atas barang impor, serta PPh yang ditanggung pemerintah, pelaku usaha dapat mengakses peralatan dan teknologi yang belum tersedia di dalam negeri. Kebijakan ini dirancang untuk mempercepat realisasi proyek energi bersih dengan efisiensi biaya yang lebih optimal.

Baca juga: Peran Lembaga Internasional dalam Pengembangan Energi Baru Terbarukan Dalam Negeri

Lalu, bagaimana dengan produk yang bersumber dari energi tak terbarukan?

Selain insentif, Indonesia juga mulai menerapkan instrumen disinsentif untuk mendorong perilaku ramah lingkungan, yakni pajak karbon. Pajak ini dikenakan terhadap emisi karbon dari aktivitas ekonomi yang berdampak pada lingkungan, termasuk sektor energi fosil. Dasar hukum utama penerapan pajak karbon adalah Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Pasal 13 ayat (1) UU HPP menyatakan bahwa: 

“pajak karbon dikenakan atas emisi karbon yang memberikan dampak negatif bagi lingkungan hidup.” 

Tujuan dari pengenaan pajak karbon ini adalah untuk mengubah perilaku ekonomi agar beralih pada aktivitas ekonomi hijau yang rendah karbon. Hal ini sejalan dengan Paris Agreement yang telah diratifikasi Indonesia untuk menurunkan emisi gas rumah kaca sebesar 29% (dua puluh sembilan persen dengan kemampuan sendiri dan 41% (empat puluh satu persen) dengan dukungan internasional. 

Subjek pajak karbon yaitu orang pribadi atau badan yang membeli barang yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang mengandung karbon dan/atau melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi karbon. Pajak karbon terutang atas pembelian barang yang mengandung karbon atau aktivitas yang menghasilkan emisi karbon dalam jumlah tertentu pada periode tertentu. 

Kebijakan fiskal, termasuk insentif dan pajak karbon, memainkan peran kunci dalam mempercepat transisi energi bersih di Indonesia. Insentif seperti tax allowance, tax holiday, dan pembebasan bea masuk membantu mendorong investasi di sektor Energi Baru dan Terbarukan (EBT), sementara pajak karbon mengarahkan perilaku ekonomi menuju aktivitas rendah emisi. Keberhasilan kebijakan ini akan bergantung pada pelaksanaannya yang konsisten, kolaborasi lintas sektor, serta dukungan terhadap inovasi teknologi berkelanjutan.***

Baca juga: Intip Dukungan Pemerintah terhadap Proyek Energi Baru, Bertabur Insentif Pajak!

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP).
  • Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2019 tentang Fasilitas Pajak Penghasilan untuk Penanaman Modal di Bidang-Bidang Usaha Tertentu dan/atau di Daerah-daerah Tertentu (PP 78/2019)
  • Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan untuk Penyediaan Tenaga Listrik (Perpres 112/2022).
  • Peraturan Menteri Keuangan Nomor 130/PMK.010/2020 tentang Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (“PMK 130/2020”)
  • Peraturan Badan Koordinasi Penanaman Modal Nomor 7 Tahun 2020 tentang Rincian Bidang Usaha dan Jenis Produksi Industri Pionir serta Tata Cara Pemberian Fasilitas Pengurangan Pajak Penghasilan Badan (“PerBKPM 7/2020”).

Referensi:

  • Pengembangan Energi Baru Terbarukan di RI Perlu Insentif dan Perubahan. Kompas.com.  (Diakses pada 21 Juli 2025 pukul 12.59 WIB). 
  • Investasi Energi Baru Terbarukan Bertabur Insentif Pajak, Apa Saja?. Katadata.  (Diakses pada 21 Juli 2025 pukul 13.04 WIB). 
  • Insentif Pajak untuk Energi Hijau. Pajak.go.id.  (Diakses pada 21 Juli 2025 pukul 13.50 WIB). 
  • Simak, Ini Sederet Insentif untuk Energi Terbarukan. CNBC. (Diakses pada 21 Juli 2025 pukul 14.19 WIB). 
  • Sri Suryani, A. (2022). Persiapan Implementasi Pajak Karbon Di Indonesia. Badan Keahlian DPR RI Bidang Ekonomi, Keuangan, Industri, Dan Pembangunan, 14, 19–24. (Diakses pada 21 Juli 2025 pukul 14.44 WIB).