Transisi energi menuju sumber yang lebih bersih dan berkelanjutan merupakan isu global yang tidak dapat diselesaikan oleh satu negara saja. Perubahan iklim, peningkatan kebutuhan energi, dan keterbatasan sumber daya fosil mendorong negara-negara di seluruh dunia untuk mencari solusi bersama melalui pengembangan energi baru dan terbarukan (EBT). Dalam hal ini, kerja sama internasional menjadi kunci penting untuk mempercepat inovasi, memperkuat kebijakan, dan mendukung pendanaan dalam pengembangan EBT secara global.

Indonesia sebagai negara berkembang dengan potensi EBT yang besar, telah terlibat aktif dalam berbagai forum dan lembaga internasional untuk mendukung transisi energi nasional. Melalui kolaborasi dengan organisasi internasional dan keterlibatan dalam forum kerja sama multilateral lainnya, Indonesia berupaya memperkuat kapasitas nasional dalam mengembangkan energi terbarukan, serta menunjukkan komitmen nyata dalam mewujudkan sistem energi yang lebih bersih, adil dan berkelanjutan. 

Koordinasi Global melalui Lembaga Internasional 

International Renewable Energy Agency (IRENA) merupakan lembaga internasional yang berperan penting dalam mendorong transisi energi global. Didirikan pada tahun 2009, IRENA menjadi pusat kerja sama antarnegara untuk mempromosikan penggunaan energi terbarukan di seluruh dunia. IRENA memfasilitasi pertukaran pengetahuan, penyusunan kebijakan, dan dukungan teknis untuk membantu negara anggota dalam merumuskan strategi energi yang berkelanjutan. IRENA telah menjadi mitra penting dalam mengakselerasi agenda transisi energi.

Dalam laporan terbaru, Indonesia disebut sebagai “kunci transisi energi di Asia Tenggara” karena besarnya potensi energi terbarukan seperti panas bumi, tenaga air, dan surya. IRENA mendukung Indonesia melalui penyusunan strategi nasional dekarbonasi, penilaian peta jalan energi terbarukan, dan forum kebijakan berbasis data. IRENA menilai bahwa posisi strategis Indonesia dengan konsumsi energi tertinggi di kawasan dan potensi sumber daya terbarukan yang besar, menjadikannya sebagai aktor penting dalam mendorong ketahanan dan keterjangkauan energi di Asia Tenggara. 

Melalui laporan profil energi Indonesia yang dirilis IRENA pada 2024, tercatat peningkatan kapasitas energi terbarukan di sektor kelistrikan, termasuk energi surya (324 MW), bioenergi (288 MW), dan panas bumi (237 MW). Namun, penambahan kapasitas energi fosil masih mendominasi, menunjukkan perlunya percepatan transisi ke sumber energi bersih.

Selain itu, IRENA menyediakan platform pendanaan bernama Energy Transition Accelerator Financing (ETAF) yang dirancang untuk membantu negara berkembang, termasuk Indonesia, dalam mengakses pembiayaan proyek transisi energi. Melalui ETAF, proyek-proyek dari sektor publik maupun swasta dapat diajukan untuk mendapatkan dukungan teknis dan finansial, sehingga mempercepat implementasi energi bersih di lapangan.

Inisiatif dan Pendanaan untuk Energi Terbarukan

Transisi menuju energi bersih memerlukan investasi besar, inovasi teknologi, dan dukungan kebijakan yang konsisten. Untuk meraih hal tersebut, kolaborasi internasional menjadi kunci untuk mempercepat transformasi energi global. Kerja sama lintas negara memungkinkan penggabungan sumber daya, pengetahuan, dan teknologi untuk mengatasi tantangan bersama, seperti pengembangan teknologi energi terbarukan dan penggalangan dana untuk proyek-proyek berskala besar.

Hal ini dikarenakan salah satu tantangan utama dalam pengembangan energi terbarukan di negara berkembang adalah pendanaan. Biaya investasi yang tinggi untuk infrastruktur energi bersih sering kali menjadi hambatan, terutama bagi negara dengan keterbatasan fiskal. Dalam hal ini, lembaga internasional memainkan peran krusial dalam menyediakan akses terhadap pendanaan internasional dan mendukung inisiatif transisi energi.

Salah satu bentuk kolaborasi yang krusial adalah transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang. Negara-negara maju dapat membantu negara berkembang dalam mengadopsi teknologi energi bersih melalui bantuan teknis, pelatihan, dan pendanaan. Selain itu, lembaga keuangan internasional seperti Bank Dunia dan Green Climate Fund juga memainkan peran penting dalam menyediakan pembiayaan untuk proyek energi berkelanjutan.

Skema pendanaan internasional ini tidak hanya mempercepat adopsi teknologi energi bersih, tetapi juga menciptakan skala ekonomi yang lebih besar, menurunkan biaya teknologi, dan memperluas akses terhadap energi bersih, terutama di negara-negara berkembang seperti Indonesia. Dengan demikian, kolaborasi internasional bukan hanya soal solidaritas global, tetapi juga strategi pragmatis untuk mencapai target iklim dan pembangunan berkelanjutan.

Sebagai contoh, pada tahun 2023, Indonesia menerima dukungan dari CIF sebesar USD 500 juta untuk mempercepat pensiun dini pembangkit listrik tenaga batu bara melalui program Just Energy Transition Partnership (JETP). Selain itu, kerja sama dengan Asian Development Bank (ADB) dan World Bank juga mendorong pengembangan proyek energi surya dan tenaga angin di berbagai provinsi.

Regulasi Nasional sebagai Dasar Keterlibatan Global

Transisi energi di Indonesia juga didukung oleh kerangka hukum yang memberikan kepastian dan arah kebijakan. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (“UU Energi”) memberikan mandat jelas kepada negara untuk mengembangkan energi baru dan terbarukan sebagai bagian dari ketahanan dan kemandirian energi nasional. Dalam Pasal 3 huruf b UU Energi dijelaskan bahwa:

“Dalam rangka mendukung pembangunan nasional secara berkelanjutan dan meningkatkan ketahanan energi nasional, tujuan pengelolaan energi adalah terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri.”

Negara memiliki tanggung jawab utama untuk menjamin tersedianya energi secara berkelanjutan demi mendukung pembangunan nasional dan memperkuat ketahanan energi. Frasa “dalam negeri maupun di luar negeri” menandakan fleksibilitas sumber daya energi yang dapat berasal dari potensi domestik maupun kerja sama internasional yang selaras dengan semangat keterlibatan global Indonesia dalam transisi energi. Hal ini pun membuka ruang legitimasi bagi Indonesia untuk:

  1. Melakukan impor energi dalam situasi tertentu demi kestabilan pasokan;
  2. Menarik investasi asing di sektor energi baru dan terbarukan; atau pun
  3. Berpartisipasi aktif dalam forum-forum internasional.

Dengan kata lain, pengelolaan energi tidak hanya difokuskan pada eksploitasi sumber daya lokal, tetapi juga membuka ruang bagi impor energi, investasi asing, dan kolaborasi teknologi lintas negara, selama tujuannya adalah menjamin kontinuitas dan keamanan pasokan energi nasional. Secara normatif, pasal ini menjadi landasan penting bagi kebijakan energi lintas sektor, termasuk pengembangan energi baru dan terbarukan melalui kerja sama internasional, seperti partisipasi aktif dalam IRENA dan JETP.

Regulasi tersebut juga diperkuat dengan mandat Presiden melalui Peraturan Presiden Nomor 22 Tahun 2017 tentang Rencana Umum Energi Nasional (“Perpres 22/2017”) yang menargetkan kontribusi EBT sebesar 23% (dua puluh tiga persen) dalam bauran energi nasional pada tahun 2025. Landasan hukum ini tidak hanya mempertegas komitmen nasional, tetapi juga menjadi dasar bagi Indonesia untuk berpartisipasi aktif dalam forum internasional dan inisiatif global lainnya. 

Melalui kerangka hukum yang kuat, indonesia memiliki posisi yang kuat pula untuk menjalin kerja sama strategis secara global. Sinergi antara regulasi nasional dan dukungan global menjadi kunci keberhasilan transisi energi yang berkeadilan dan berkelanjutan. Ke depan, Indonesia perlu terus memperluas kemitraan strategis, memperkuat diplomasi energi, dan memastikan bahwa setiap langkah kebijakan didukung oleh pembiayaan, teknologi, dan sumber daya manusia yang memadai.***

Daftar Hukum:

Referensi: