Energi terbarukan (clean energy) telah menjadi fokus utama dalam upaya global untuk mengurangi emisi karbon dan mencapai keberlanjutan lingkungan. Proyek Clean Energy memiliki peran krusial dalam transisi menuju sumber energi yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Di Indonesia, potensi pengembangan proyek energi terbarukan mencapai 333 GW yang mencakup pembangkit listrik tenaga surya (PLTS), tenaga bayu (PLTB), dan tenaga mini hidro (PLTM). 

Di berbagai negara termasuk Indonesia, proyek-proyek ini didorong oleh komitmen untuk mengurangi emisi karbon serta meningkatkan ketahanan energi. Sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2007 tentang Energi (UU Energi) bahwa, “Penyediaan energi dari sumber energi baru dan sumber energi terbarukan yang dilakukan oleh badan usaha, bentuk usaha tetap, dan perseorangan dapat memperoleh kemudahan dan/atau insentif dari Pemerintah dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya untuk jangka waktu tertentu hingga tercapai nilai keekonomiannya.”

Namun, di tengah optimisme terhadap energi terbarukan, proyek-proyek ini sering menghadapi tantangan finansial yang berujung pada kepailitan. 

Mengapa Proyek Clean Energy Rentan terhadap Kegagalan Finansial?

Proyek energi terbarukan memiliki karakteristik unik yang membuatnya rentan terhadap kegagalan finansial. Ketergantungan pada regulasi dan insentif pemerintah menjadi salah satu faktor utama. Keberhasilan proyek seringkali bergantung pada kebijakan pemerintah, termasuk tarif listrik dan insentif fiskal. Perubahan kebijakan pun dapat memengaruhi kelayakan finansial proyek.

Salah satu alasan utama mengapa proyek energi bersih rentan terhadap kegagalan finansial adalah tingginya biaya investasi awal.Tingkat bunga modal proyek PLTS di Indonesia 8-12% (delapan hingga dua belas persen) lebih tinggi daripada di AS/Eropa yang hanya 3-6% (tiga sampai enam persen). Hal ini juga terjadi pada proyek energi tenaga angin/bayu (PLTB) yang biaya investasi awal (CAPEX) relatif tinggi. Pembangunan 1 MW PTLB membutuhkan USD 1.5-2 juta—lebih mahal dari PLTS (USD 0.8-1.2 juta/MW). Biaya transmisi ke grid jika lokasi terpencil pun bisa menambah 15-20% (lima belas hingga dua puluh persen) biaya investasi awal. 

Selain faktor biaya dan kebijakan, fluktuasi harga energi juga turut memengaruhi keberlanjutan proyek energi bersih. Contohnya seperti turbin untuk PLTB yang hampir semua diimpor dari Eropa atau Tiongkok dan akan terkena risiko nilai tukar (IDR-USD/EUR) dari tarif impor. Di lain sisi, banyak proyek PLTS berskala besar yang bergantung pada pendanaan asing–misalnya dari ADB atau IFC—yang rentan terhadap fluktuasi nilai tukar dan akan memengaruhi kelangsungan proyek. 

Tingginya biaya investasi awal, ketergantungan pada kebijakan pemerintah, serta fluktuasi pasar sering kali membuat proyek energi bersih rentan terhadap kepailitan. Risiko ini perlu dikelola dengan strategi yang tepat agar proyek tetap berkelanjutan dan tidak merugikan investor serta masyarakat yang bergantung pada energi tersebut.

Baca juga: Intip Dukungan Pemerintah terhadap Proyek Energi Baru, Bertabur Insentif Pajak!

Lalu, Apa Dampak dari Kepailitan Proyek Clean Energy?

Kepailitan proyek energi bersih membawa dampak luas, tidak hanya bagi pengembang dan investor tetapi juga bagi masyarakat secara keseluruhan. Bagi investor, kepailitan berarti hilangnya modal yang telah ditanamkan, menyebabkan mereka semakin berhati-hati dalam mengalokasikan dana ke proyek-proyek serupa. Ketidakpastian ini dapat memperlambat arus investasi yang sangat dibutuhkan untuk mempercepat transisi energi. Terlebih lagi, proyek energi terbarukan umumnya memiliki masa pengembalian investasi yang panjang, sehingga kegagalan satu proyek saja bisa memengaruhi persepsi risiko terhadap seluruh sektor.

Dampak lainnya dirasakan oleh masyarakat yang sebelumnya mungkin telah mengharapkan pasokan listrik yang lebih stabil dan ramah lingkungan dari proyek tersebut. Ketika proyek berhenti beroperasi atau mangkrak karena masalah hukum dan finansial, masyarakat—terutama yang berada di wilayah terpencil—akan kembali menghadapi keterbatasan akses energi. 

Untuk mengatasi tantangan ini, diperlukan strategi mitigasi yang efektif untuk mencegah risiko kepailitan. Risiko kepailitan pada proyek clean energy sering kali berakar dari ketidakstabilan model pendanaan, asumsi keuangan yang terlalu optimis, kegagalan teknis, perubahan regulasi dari pemerintah, hingga volatilitas harga pasar yang tinggi.

Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan adalah diversifikasi sumber pendanaan. Mengandalkan berbagai sumber pembiayaan, seperti investasi swasta, memanfaatkan insentif pemerintah seperti tax holiday dan pembebasan PPN, serta skema pembiayaan inovatif seperti green bonds/sukuk, nndapat membantu meningkatkan ketahanan finansial proyek. Selain itu, proyek clean energy juga dapat memanfaatkan skema KPBU atau Kemitraan Pemerintah-Badan Usaha (Swasta) untuk membagi risiko dengan pemerintah. 

Pengembang proyek clean energy harus mengadopsi pendekatan pendanaan yang konservatif namun fleksibel, yakni dengan tidak bergantung pada satu sumber modal saja, misalnya dari perbankan atau pun lembaga investasi swasta. Dengan hal ini, proyek dapat meningkatkan ketahanan keuangan terhadap guncangan pasar. Kombinasi pendanaan dari bank, modal ventura, green bonds, dana investasi publik, serta kemitraan dengan lembaga keuangan internasional memberikan buffer keuangan yang lebih solid dan menurunkan risiko default jika salah satu sumber mengalami gangguan.

Selain diversifikasi sumber pendanaan, struktur pembiayaan proyek juga perlu dirancang dengan cermat. Skema pembiayaan berbasis proyek (project finance) yang memisahkan risiko antara proyek dan sponsor korporat dapat menjadi pilihan ideal. Dalam project finance, arus kas proyek menjadi dasar pembayaran kewajiban utang, bukan neraca keuangan pemilik proyek. Ini memungkinkan proyek berdiri secara mandiri dan mengurangi eksposur sponsor terhadap potensi kerugian. Namun, agar skema ini berjalan efektif, diperlukan analisis kelayakan yang sangat mendalam sejak tahap awal, meliputi proyeksi arus kas konservatif, stress test keuangan, serta analisa sensitivitas terhadap berbagai skenario perubahan pasar dan regulasi yang berlaku.

Asuransi keuangan, seperti political risk insurance atau credit guarantee, menjadi alat mitigasi tambahan yang efektif, terutama untuk proyek di wilayah dengan ketidakpastian politik atau pasar yang baru berkembang. Produk asuransi ini melindungi investor dan pemberi pinjaman dari kerugian yang timbul akibat perubahan regulasi yang merugikan, nasionalisasi, ketidakstabilan politik, atau kegagalan pembayaran. Dengan menempatkan lapisan proteksi tambahan ini, proyek dapat meningkatkan daya tariknya di mata lembaga pembiayaan dan memperluas akses ke modal.

Pengelolaan risiko kepailitan juga membutuhkan pemantauan berkelanjutan sepanjang siklus hidup proyek. Sistem pengawasan kinerja yang ketat, baik dari sisi teknis maupun keuangan, harus diimplementasikan untuk mendeteksi potensi masalah sejak dini. Selain itu, pemerintah perlu memberikan kepastian hukum dan regulasi yang mendukung investasi energi bersih. Kebijakan yang stabil akan memberikan rasa aman bagi investor dan pengembang dalam jangka panjang. Dengan kombinasi strategi yang tepat, proyek energi bersih dapat berjalan lebih berkelanjutan, menghindari risiko kepailitan, serta tetap memberikan manfaat bagi masyarakat dan lingkungan.***

Baca juga: Peran Lembaga Internasional dalam Pengembangan Energi Baru Terbarukan Dalam Negeri

Author / Contributor:

Caesar AF is Senior Associate in Corporate Law division with specialization in Bankruptcy Law. He has been practicing law since 2008 and has been working with clients from various business sectors to resolve their bankruptcy matters. Caesar also acts as Receiver (Curator) and Certified Legal Auditor Caesar Aidil Fitri, S.H., CLA.
PartnerContact:
Mail       : @siplawfirm.id
Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975