Sistem perpajakan di Indonesia menganut asas self assesment yang berarti wajib pajak diberikan kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan kewajiban perpajakan secara mandiri. Akan tetapi, pada praktiknya tidak jarang terjadi pelanggaran yang memerlukan penegakan hukum, termasuk melalui proses penyidikan tindak pidana perpajakan.

Untuk memastikan bahwa proses penyidikan berjalan dengan lancar sesuai pada prinsip-prinsip hukum dan menghormati hak asasi manusia (HAM), pemerintah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan. Diterbitkannya regulasi ini bertujuan untuk memberikan kepastian hukum terhadap pelaksanaan penyidikan tindak pidana di bidang perpajakan, memberikan keadilan dan perlindungan hak asasi manusia bagi wajib pajak, serta memberi perlindungan bagi negara dalam memperoleh hak atas pendapatan negara.

Proses Penyidikan Perpajakan oleh Penyidik

Berdasarkan Pasal 1 angka 11 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 17 Tahun 2025 tentang Penyidikan Tindak Pidana di Bidang Perpajakan (“PMK 17/2025”), penyidikan adalah serangkaian tindakan yang dilakukan oleh penyidik untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi serta menemukan tersangkanya. 

Penyidikan hanya dapat dilakukan oleh penyidik, yakni pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan direktorat jenderal pajak yang diberi wewenang khusus sebagai penyidik untuk melakukan penyidikan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Proses penyidikan dapat terjadi apabila terdapat surat perintah penyidikan (sprindik) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang (umumnya atasan penyidik) berdasarkan laporan kejadian. Laporan tersebut dapat berasal dari kegiatan:

  1. Pemeriksaan bukti permulaan;
  2. Penanganan tindak pidana yang diketahui seketika; atau
  3. Pengembangan penyidikan. 

Adapun kegiatan penyidikan sebagaimana tertera dalam Pasal 2 ayat (5) PMK 17/2025 terdiri dari:

  1. Pemanggilan;
  2. Pemeriksaan;
  3. Penangkapan;
  4. Penahanan;
  5. Penggeledahan;
  6. Pemblokiran dan/atau penyitaan;
  7. Penanganan data elektronik;
  8. Pencegahan;
  9. Penetapan tersangka;
  10. Pemberkasan;
  11. Penyerahan berkas perkara;
  12. Penyerahan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti; dan/atau
  13. Penghentian penyidikan.

Prinsip-prinsip Perlindungan HAM bagi Wajib Pajak dalam Proses Penyidikan Perpajakan

Penyidikan perpajakan didasari atas beberapa prinsip, diantaranya:

  • Prinsip Legalitas

PMK 17/2025 menjadi regulasi yang menaungi tata cara kegiatan penyidikan perpajakan– dimulai dari tahap pemanggilan hingga penghentian penyidikan. Selain itu, PMK 17/2025 juga memastikan penyidikan dilakukan secara proporsional dan tidak bertentangan dengan prinsip HAM, sehingga hak-hak wajib pajak tetap terpenuhi.

  • Prinsip Proporsionalitas

Tindakan penyidikan harus dilakukan secara proporsional– tidak berlebihan dan sesuai dengan kebutuhan penyelidikan. Penyidik dilarang menggunakan kekerasan atau intimidasi demi memperoleh suatu bukti.

  • Prinsip Transparansi

Wajib pajak berhak mengetahui terkait seluruh prosedur penyidikan. Dengan ini, otoritas pajak wajib memberi penjelasan terkait hak dan kewajiban wajib pajak selama proses penyidikan berlangsung. 

  • Prinsip Perlindungan Privasi 

Proses penyidikan tidak boleh melanggar hak privasi wajib pajak. Penggeledahan maupun penyitaan harta harus dilakukan melalui izin yang sah dan tidak mengganggu kehidupan pribadi wajib pajak. Tak hanya itu, seluruh informasi pribadi wajib pajak harus tetap dirahasiakan dan penggunaan informasi tersebut hanya diperbolehkan untuk tujuan sebagaimana diatur dalam undang-undang perpajakan. 

  • Prinsip Akuntabilitas

Seluruh tindakan yang dilakukan oleh penyidik harus dapat dipertanggungjawabkan yang mana jika terjadi pelanggaran dalam proses penyidikan, maka wajib pajak diberikan perlindungan represif dalam bentuk hak mengajukan keberatan atas ketetapan pajak ataupun mengajukan laporan terkait penyidik yang bertindak diluar kewenangannya.

Baca juga: Viktimologi dalam Sistem Peradilan Hak dan Perlindungan bagi Korban Kejahatan

Penegakan Keseimbangan antara Penerapan Hukum dan Perlindungan bagi Wajib Pajak 

Penegakan hukum di bidang perpajakan harus mempertimbangkan keseimbangan antara kepentingan negara dalam memperoleh penerimaan pajak dan perlindungan hak-hak wajib pajak. Penerapan asas ultimum remedium merupakan upaya terakhir dalam hukum pidana setelah upaya administratif tidak berhasil. Hal ini sejalan dengan pendekatan yang menekankan pemulihan kerugian pada pendapatan negara daripada pemidanaan.

Beberapa hal yang dapat dilaksanakan sebagai bentuk keseimbangan antara penerapan hukum dan perlindungan bagi wajib pajak, antara lain:

  • Penghentian Penyidikan

Mekanisme penghentian penyidikan dapat dilaksanakan apabila wajib pajak bersedia melunasi kewajiban pajak yang tertunggak. Hal ini berfungsi untuk memberi kesempatan bagi wajib pajak untuk memperbaiki kesalahan tanpa harus menghadapi proses hukum yang panjang.

  • Pengawasan terhadap Penyidik

Untuk mencegah terjadinya penyalahgunaan kewenangan, maka dilakukan pengawasan terhadap penyidik tindak pidana perpajakan melalui 2 mekanisme, yakni pengawasan internal oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) dan pengawasan eksternal oleh Polisi. Setiap tindakan penyidikan harus dilaporkan dan diawasi oleh otoritas guna memastikan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip HAM.

  • Perlindungan bagi Wajib Pajak

Wajib pajak yang menjadi tersangka pada kasus perpajakan tetap memiliki hak-hak hukum, termasuk hak mendapat pendampingan hukum, hak tidak diperlakukan secara diskriminatif, serta hak untuk mengajukan keberatan atas tindakan penyidikan yang dianggap tidak sesuai dengan prosedur. 

Pelaksanaan penyidikan perpajakan dapat dilakukan akibat adanya dugaan tindakan pidana perpajakan. Hal ini perlu dilakukan demi menegakkan hukum perpajakan. Hadirnya PMK 17/2025 menjadi penyeimbang antara kepentingan negara dalam memperoleh penerimaan pajak dan perlindungan bagi wajib pajak. Dengan adanya aturan yang transparan dan mekanisme pengawasan yang tegas, proses penyidikan dapat berjalan secara optimal tanpa mengabaikan HAM.***

Baca juga: Aspek Hak Asasi Manusia dalam Kegiatan Pertambangan

Daftar Hukum:

Referensi:

  • Asas dan Tiga Sistem Pemungutan Pajak Indonesia. pajak.go.id. (Diakses pada 13 Mei 2025 pukul 13.40 WIB).
  • Fungsi Surat Perintah Penyidikan (Sprindik). hukumonline. (Diakses pada 13 Mei 2025 pukul 14.00 WIB).
  • Qinayya, S, A., Reyhanif, A, A., Nugroho, D, D., & Maulana, B, A. (2024). Perlindungan Hak Wajib Pajak dalam Proses Pemeriksaan dan Penegakan HUkum Pajak di Indonesia ditinjau dari Perspektif Hukum dan Etika. Jaksa: Jurnal Kajian Ilmu Hukum dan Politik, Vol. 2, No. 3, Hal. 98-109. (Diakses pada 13 Mei 2025 Pukul 14.05 WIB).
  • Penegakan Hukum Pidana di Bidang Perpajakan. pajak.go.id.(Diakses pada 13 Mei 2025 pukul 14.23 WIB).