Viktimologi berasal dari kata “victim” yang berarti korban dan “logos” yang berarti ilmu. Dengan demikian, viktimologi dapat diartikan sebagai ilmu yang mempelajari korban kejahatan, baik dalam aspek sosial, psikologis, maupun hukum. Pada hukum Indonesia, viktimologi berhubungan dengan perlindungan terhadap korban kejahatan sebagaimana diatur dalam berbagai peraturan perundang-undangan, termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 31/2014”), serta ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014, mendefinisikan korban sebagai seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, atau kerugian ekonomi akibat suatu tindak pidana, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 Ayat (2) UU 31/2014. Selain itu, Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) dalam Pasal 28D ayat (1) menegaskan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil.
Dalam KUHP, hak korban diatur dalam Pasal 14 C, yang menyebutkan bahwa ketika hakim menjatuhkan pidana bersyarat, terdapat syarat umum dan khusus yang harus dipenuhi oleh terpidana selama masa percobaan. Salah satu syarat khususnya adalah bahwa terpidana harus mengganti kerugian yang timbul akibat perbuatannya dalam waktu tertentu yang lebih singkat dari masa percobaan.
Pada KUHAP, hak korban tercantum dalam Pasal 98 Ayat (1), yang menyatakan bahwa jika perbuatan yang menjadi dasar dakwaan dalam suatu kasus pidana mengakibatkan kerugian bagi orang lain, hakim ketua dapat memutuskan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti rugi dengan perkara pidana atas permintaan pihak yang dirugikan.
UU 13/2006 telah membawa perkembangan besar dalam pengaturan hak-hak korban, yang mencakup hak atas keamanan diri dan keluarga, hak untuk mendapatkan bantuan hukum, hak atas informasi tentang penyelesaian perkara, serta hak-hak lainnya terkait biaya hidup, medis, dan psikososial, serta hak untuk memberikan kesaksian di luar persidangan tanpa dapat dituntut atas kesaksian atau laporannya. Hak-hak ini diberikan di semua tahap peradilan pidana, seperti yang diatur dalam Pasal 5 UU 13/2006, yang mencakup perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta benda korban, serta hak untuk mendapatkan informasi perkembangan kasus dan putusan pengadilan.
Pasal 6 UU 13/2006 mengatur bahwa korban pelanggaran hak asasi manusia yang berat berhak atas bantuan medis dan rehabilitasi psikososial. Pasal 7 UU 13/2006 juga menyebutkan hak korban untuk mengajukan kompensasi dan restitusi melalui LPSK, serta hak untuk memberikan kesaksian di luar persidangan dan tidak dapat dituntut atas kesaksian atau laporannya. Korban yang merasa terancam dapat memberikan kesaksian secara tertulis atau melalui sarana elektronik, dengan persetujuan hakim dan didampingi pejabat yang berwenang. Korban tidak dapat dituntut secara hukum atas laporan atau kesaksian yang diberikan, kecuali jika keterangan yang diberikan tidak berdasarkan itikad baik.
Tujuan Viktimologi
Viktimologi memiliki beberapa tujuan utama yang berkaitan dengan perlindungan dan kesejahteraan korban kejahatan. Salah satu tujuan utamanya adalah untuk memahami faktor-faktor yang menyebabkan seseorang menjadi korban kejahatan serta dampak yang dialami oleh korban. Hal ini mencakup aspek psikologis, sosial, dan ekonomi yang dialami oleh korban setelah terjadinya kejahatan. Pemahaman ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh tentang kondisi korban, yang dapat membantu dalam menentukan langkah-langkah perbaikan dan dukungan yang sesuai untuk mereka.
Selain itu, viktimologi juga bertujuan untuk mengembangkan strategi pencegahan kejahatan. Dengan mempelajari pola viktimisasi yang terjadi dalam masyarakat, para ahli viktimologi dapat membantu merancang kebijakan pencegahan yang lebih efektif. Tujuannya adalah agar masyarakat dapat lebih terlindungi dari tindak pidana, serta untuk mengurangi kemungkinan terjadinya viktimisasi lebih lanjut. Strategi ini melibatkan analisis tentang berbagai faktor yang mempengaruhi terjadinya kejahatan dan bagaimana mengurangi risiko tersebut melalui pencegahan yang lebih proaktif.
Viktimologi juga bertujuan untuk meningkatkan peran lembaga hukum dan masyarakat dalam menangani kasus-kasus yang melibatkan korban kejahatan. Viktimologi mendorong sistem peradilan pidana untuk lebih memperhatikan kebutuhan korban, serta untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam membantu korban memperoleh keadilan. Dengan adanya kesadaran yang lebih tinggi tentang pentingnya peran masyarakat dan lembaga hukum, diharapkan dapat tercipta lingkungan yang lebih aman bagi korban, serta memastikan mereka mendapatkan hak-hak yang seharusnya mereka terima setelah mengalami peristiwa kejahatan.
Baca juga: Kejahatan Seksual Terhadap Anak di Dunia Maya
Ruang Lingkup Viktimologi
Viktimologi memiliki ruang lingkup yang luas dalam kajian sosial dan hukum. Ruang lingkup viktimologi melibatkan analisis mendalam mengenai berbagai dimensi korban kejahatan, seperti karakteristik, proses viktimisasi, hak-hak korban dalam sistem peradilan pidana, serta kebijakan perlindungan yang diterapkan oleh negara dan lembaga terkait. Fokus utama viktimologi adalah untuk memberikan pemahaman yang lebih mendalam mengenai korban kejahatan dan memperjuangkan kesejahteraan serta perlindungan mereka.
Salah satu aspek yang penting dalam ruang lingkup viktimologi adalah studi tentang karakteristik korban. Penelitian viktimologi mencakup analisis profil korban, termasuk latar belakang sosial, ekonomi, dan psikologis mereka. Faktor-faktor ini sering kali mempengaruhi sejauh mana seseorang menjadi lebih rentan terhadap tindak pidana, sehingga viktimologi bertujuan untuk menggali berbagai elemen yang dapat menjelaskan mengapa beberapa individu lebih mudah menjadi korban daripada yang lain. Hal ini dapat mencakup analisis terkait kemiskinan, kurangnya pendidikan, atau ketidakstabilan mental, yang semuanya dapat meningkatkan kerentanannya terhadap kejahatan.
Selanjutnya, proses viktimisasi merupakan dimensi penting dalam viktimologi yang mengacu pada bagaimana seseorang dapat terlibat dalam situasi kriminal. Proses ini mencakup identifikasi jenis kejahatan yang dialami korban serta dampak yang ditimbulkan, baik dalam bentuk fisik, emosional, maupun sosial. Pemerintah Indonesia telah mengatur hal ini melalui KUHP Baru, yang memberikan mekanisme hukum untuk korban agar dapat memperoleh perlindungan dan keadilan.
Dalam perspektif hukum, viktimologi juga sangat berperan dalam memastikan bahwa hak-hak korban dihormati dalam sistem peradilan pidana, yang mencakup hak atas kompensasi, perlindungan dari ancaman, serta rehabilitasi psikologis bagi korban yang mengalami trauma akibat kejahatan. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 memberikan jaminan perlindungan hukum kepada korban kejahatan. Pasal 37 hingga Pasal 41 dari undang-undang ini mengatur tentang hak-hak korban, seperti hak untuk mendapatkan restitusi dan rehabilitasi, yang mendukung pemulihan mereka setelah mengalami peristiwa kejahatan.
Kebijakan dan program perlindungan korban juga menjadi bagian dari ruang lingkup viktimologi. Pemerintah dan lembaga terkait memiliki tanggung jawab besar dalam menciptakan kebijakan yang mendukung pemulihan korban kejahatan. Dalam hal ini, UU 13/2006 berfungsi sebagai instrumen perlindungan hukum, memberikan landasan untuk pemberian bantuan medis, psikologis, dan hukum kepada korban. Pemerintah perlu memastikan adanya akses yang mudah bagi korban untuk memperoleh bantuan, serta memastikan bahwa setiap kebijakan yang dibuat berfokus pada pemulihan korban secara menyeluruh.
Baca juga: Delik Aduan Dalam Sistem Hukum di Indonesia
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”).
- Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
- Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban (“UU 13/2006”).
- Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 (“UU 31/2014”).
Referensi:
- Victimologi. (2016). Universitas Muhammadiyah Yogyakarta. (Diakses pada 1 Februari 2025 pukul 10.30 WIB).
- Viktimologi dalam Sistem Peradilan Pidana. (2017). Neliti. (Diakses pada 1 Februari 2025 pukul 10.45 WIB).
- Karakteristik Korban dalam Perspektif Viktimologi. Jurnal Kriminologi Indonesia. (Diakses pada 1 Februari 2025 pukul 11.00 WIB).
- Peran Hukum dalam Proses Viktimisasi di Indonesia. Jurnal Hukum dan Peradilan. (Diakses pada 1 Februari 2025 pukul 11.10 WIB).