Indonesia sebagai salah satu negara dengan populasi muslim terbanyak memiliki potensi besar dalam pengembangan perbankan syariah. Dalam beberapa tahun terakhir, sektor ini telah menunjukkan pertumbuhan yang signifikan, baik dari segi jumlah institusi keuangan syariah, produk yang ditawarkan, maupun jumlah nasabah yang dilayani. Maka diperlukan regulasi yang ketat terkait tata kelola perbankan syariah yang tepat dan sesuai standar.

Kebutuhan akan jasa perbankan syariah pun terus meningkat seiring dengan tumbuhnya kesadaran masyarakat untuk menjalankan aktivitas keuangan sesuai prinsip syariah. Perbankan syariah di Indonesia telah menjadi salah satu pilar penting dalam mendukung pertumbuhan ekonomi nasional. Maka, sejalan dengan tujuan pembangunan nasional untuk mencapai terciptanya masyarakat adil dan makmur berdasarkan demokrasi ekonomi, dikembangkan sistem ekonomi yang berlandaskan pada nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan yang sesuai dengan prinsip syariah. 

Pemerintah pun terus memperkuat regulasi untuk memastikan tata kelola yang baik, karakteristik syariah yang kuat, dan kepatuhan terhadap prinsip-prinsip syariah. Aturan terkait dengan pelaksanaan perbankan syariah di Indonesia salah satunya diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU Perbankan Syariah”). UU tersebut menjelaskan cakupan perbankan syariah yakni:
“Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.”

Selain itu, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) sebagai lembaga independen di Indonesia yang bertugas mengawasi dan mengatur seluruh aktivitas di sektor jasa keuangan pun memiliki aturan terkait tata kelola perbankan syariah yang diatur dalam Peraturan Otoritas Jasa Keuangan Nomor 2 Tahun 2024 tentang Penerapan Tata Kelola Syariah Bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah (“POJK 2/2024”). Peraturan tersebut menjadi tindak lanjut dari meningkatnya peran perbankan syariah dalam mendukung pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional dan diperlukan penguatan dalam sistem tata kelolanya. 

Dalam Pasal 3 ayat (1) POJK 2/2024 ditegaskan bahwa prinsip syariah pada penyelenggaraan kegiatan usaha bank syariah didasarkan pada fatwa dan/atau pernyataan kesesuaian syariah yang ditetapkan oleh Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN MUI). Dalam menyusun ketentuan terkait prinsip syariah yang harus ditegakkan, OJK membentuk komite pengembangan keuangan syariah dengan berkoordinasi dengan Dewan Syariah Nasional MUI untuk penyusunan ketentuannya. 

Untuk memastikan pemenuhan prinsip syariah, maka bank wajib menerapkan tata kelola syariah. Dalam penerapannya, OJK melalui Pasal 4 ayat (2) POJK 2/2024 mengharuskan bank untuk memiliki kerangka tata kelola syariah yang diwujudkan paling sedikit melalui:

  1. Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS;
  2. Penerapan fungsi kepatuhan syariah;
  3. Penerapan fungsi manajemen risiko syariah;
  4. Penerapan fungsi audit intern syariah; dan
  5. Pelaksanaan kaji ulang ekstern terhadap tata kelola syariah. 

Selain itu, peraturan ini juga mengatur pelaporan pelaksanaan tata kelola syariah. Bank diwajibkan untuk menyusun laporan yang transparan dan akuntabel terkait implementasi prinsip syariah. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap perbankan syariah dna memastikan bahwa operasional bank berjalan sesuai dengan nilai-nilai Islam.

Baca juga: Jenis-jenis Produk Perbankan di Indonesia

Penguatan Karakteristik Perbankan Syariah di indonesia

Perbankan syariah memiliki karakteristik yang berbeda dibandingkan dengan perbankan konvensional, terutama dalam hal struktur operasional, akad yang digunakan, serta pengelolaan risiko. Salah satu karakteristik utama perbankan syariah adalah penggunaan akad yang sesuai dengan hukum Islam, seperti mudharabah (bagi hasil), musyarakah (kemitraan), murabahah (jual beli), dan ijarah (sewa). Setiap akad ini memiliki aturan spesifik yang harus dipatuhi guna memastikan tidak adanya unsur riba, gharar (ketidakpastian), dan maysir (judi).

Pada periode 2023-2027, OJK memiliki lima pilar yang menjadi penopang pengembangan dan penguatan pelaksanaan perbankan syariah, di antaranya melalui:

  1. Penguatan struktur dan ketahanan industri perbankan syariah;
  2. Akselerasi digitalisasi perbankan syariah;
  3. Penguatan karakteristik syariah;
  4. Peningkatan kontribusi perbankan syariah dalam perekonomian nasional;
  5. Penguatan pengaturan, perizinan, dan pengawasan perbankan syariah.

Salah satu tujuan utama dari POJK 2/2024 adalah penguatan karakteristik perbankan syariah. Dalam hal ini, OJK menekankan pentingnya diferensiasi antara perbankan syariah dan konvensional. Bank syariah diharapkan tidak hanya mengikuti prinsip-prinsip syariah, namun juga mencerminkan nilai-nilai Islam dalam setiap aspek operasionalnya. Penguatan karakteristik ini melibatkan inovasi produk dan layanan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat yang ingin menjalankan aktivitas keuangannya sesuai dengan prinsip Islam. 

Baca juga: Hak, Kewajiban, dan Jenis Bank di Indonesia, Menurut Hukum Perbankan

Kepatuhan terhadap Prinsip Syariah

Kepatuhan terhadap prinsip syariah adalah inti dari perbankan syariah. Oleh karena itu, POJK 2/2024 mewajibkan bank syariah untuk menerapkan sistem pengawasan internal yang lebih ketat guna memastikan bahwa seluruh kegiatan operasional mereka berjalan sesuai dengan prinsip syariah. Dalam hal ini, peran DPS menjadi sangat krusial dalam memberikan fatwa dan pengawasan terhadap produk serta layanan yang ditawarkan oleh bank syariah.

Dalam Pasal 6 POJK 2/2024, ditegaskan bahwa OJK melakukan penilaian terhadap penerapan tata kelola syariah yang dilakukan oleh bank. Bank wajib memiliki fungsi kepatuhan syariah yang didukung oleh pejabat minimal setingkat Pejabat Eksekutif yang mempunyai pengetahuan dan/atau pemahaman mengenai operasional perbankan syariah dalam pelaksanaan fungsi kepatuhan syariah, sebagaimana diatur dalam Pasal 37 ayat (1) POJK 2/2024. 

Selain itu, dalam peraturan tersebut juga mengatur tindak lanjut terhadap ketidakpatuhan. Jika ditemukan pelanggaran terhadap prinsip perbankan syariah, bank diwajibkan untuk mengambil langkah-langkah korektif. Bank yang melanggar ketentuan tersebut dikenai sanksi administratif sesuai dengan Peraturan OJK mengenai pelaksanaan fungsi kepatuhan bank umum. Selain sanksi administratif, bank dan/atau pemegang saham pengendali dapat dikenai sanksi administratif berapa denda paling sedikit Rp2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) dan paling banyak Rp50.000.000.000,00 (lima puluh miliar rupiah) untuk setiap pelanggaran yang dilakukan. Hal ini menunjukkan komitmen OJK dalam mengawasi dan menjaga integritas perbankan syariah di Indonesia.

Baca juga: Peningkatan Keamanan Transaksi Perbankan di Era Digital

Daftar Hukum:

Referensi: