Wanprestasi dalam hukum perdata Indonesia mengacu pada pelanggaran kewajiban antara dua pihak dalam suatu kontrak. Istilah wanprestasi berasal dari bahasa Belanda yang artinya ‘prestasi buruk’ atau ‘pelanggaran prestasi’.
Wanprestasi terjadi ketika salah satu pihak gagal melakukan semua atau sebagian dari kewajiban kontraktualnya tanpa alasan yang kuat. Hal ini dapat meliputi keterlambatan atau ketidaksesuaian pelaksanaan, pelanggaran syarat-syarat perjanjian, atau tidak memenuhi prestasi yang dijanjikan.
Dalam hukum perdata Indonesia, kelalaian diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata). Pasal 1233 KUHPerdata menyatakan bahwa pihak yang melanggar perjanjian dapat diminta untuk mengganti kerugian yang disebabkan oleh kelalaian.
Pihak yang mengalami wanprestasi memiliki beberapa opsi untuk menangani situasi ini, antara lain pihak yang tidak memenuhi kewajibannya dapat diminta untuk memenuhi prestasi yang telah disepakati dalam perjanjian.
Pihak yang mengalami kerugian akibat wanprestasi dapat mengajukan permintaan kepada pihak yang melanggar untuk menggantikan kerugian yang timbul akibat pelanggaran tersebut.
Penggantian kerugian ini meliputi kerugian aktual yang dialami serta kerugian yang diakibatkan oleh kegagalan pihak yang melanggar untuk memenuhi kewajiban kontraktualnya.
Jika wanprestasi yang dilakukan oleh salah satu pihak dianggap sangat serius, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan pembatalan perjanjian. Pembatalan perjanjian dapat dilakukan melalui jalur hukum yang ditentukan dalam KUHPerdata.
Wanprestasi harus dibuktikan dan dapat diterima secara hukum. Dalam hal terjadi sengketa mengenai wanprestasi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan gugatan ke pengadilan untuk menyelesaikan perselisihan tersebut. Pengadilan akan mempertimbangkan bukti-bukti yang ada dan memutuskan tindakan yang tepat berdasarkan hukum yang berlaku.