Revisi Undang-Undang Komisi Pemberantas Korupsi (UU KPK) telah tercatat dalam Lembar Negara sebagai Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, serta sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019. UU KPK yang telah disahkan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) ini akan menggantikan UU KPK Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK.

Terdapat beberapa perubahan pada UU KPK tersebut. Di antaranya pada UU KPK yang baru, KPK menjadi lembaga rumpun eksekutif. Hal ini dimuat dalam Pasal 3 yang berbunyi, “Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.

Jika sebelumnya pegawai KPK diangkat karena keahliannya, maka kini pegawai KPK akan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN). Hal ini termuat dalam Pasal 1 ayat (6) yang berbunyi, “Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi adalah aparatur sipil negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan aparatur sipil negara.

Selain itu, dalam Pasal 21 disebutkan bahwa Pimpinan KPK bukan lagi sebagai penyidik dan penuntut umum. Adapun bunyi Pasal 21 yang baru adalah:

  • Komisi Pemberantasan Korupsi terdiri atas:
    Dewan Pengawas yang berjumlah 5 orang;
    b. Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi yang terdiri dari 5 orang Anggota Komisi Pemberantasan Korupsi ;dan
    c. Pegawai Komisi Pemberantasan Korupsi.
  • Susunan Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b terdiri dari:
    ketua merangkap anggota; dan
    b. wakil ketua terdiri dari 4 (empat) orang, masing-masing merangkap anggota.
  • Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b merupakan pejabat negara.
  • Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi sebagaimana dimaksud pada ayat (2) bersifat kolektif kolegial.

Selanjutnya, pada UU KPK yang baru disebutkan bahwa Penyelidik dan Penyidik KPK harus sehat jasmani, yang termuat dalam Pasal 43A dan 45A. Sedangkan pada UU KPK yang lama, syarat itu tidak ada.

Kemudian, pada UU KPK yang lama, ‘korupsi yang meresahkan masyarakat’ menjadi salah satu syarat korupsi yang bisa ditangani KPK. Sedangkan pada UU KPK yang baru, syarat itu tidak ada lagi.

Selain itu, Selama ini, KPK tidak bisa menerbitkan surat pemberitahuan penghentian penyidikan (SP3). Namun dalam UU KPK yang baru, KPK dapat menghentikan penyidikan dan penuntutan.

 

 

 

 

Sumber:

https://www.antaranews.com/berita/1118802/revisi-uu-kpk-resmi-menjadi-undang-undang-no-19-tahun-2019

https://wowkeren.com/berita/tampil/00278778.html