Transisi energi menjadi agenda nasional yang semakin strategis, terutama setelah Pemerintah menargetkan bauran Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBT) sebesar 23% pada tahun 2025. Target tersebut semakin relevan, mengingat meningkatnya urgensi mitigasi perubahan iklim dan kebutuhan untuk memperkuat ketahanan energi nasional.

Maka dari itu, keberadaaan Rancangan Undang-Undang Energi Baru dan Energi Terbarukan (“RUU EBT”) merupakan tonggak penting yang berpotensi mereformasi kebijakan energi hijau di Indonesia, termasuk pada perkembangan PLTS, PLTB, dan Bioenergi hijau.

 

Status RUU EBT

 

Energi baru dan terbarukan (EBT) merupakan energi alternatif yang berkelanjutan dan saat ini sedang dikembangkan lebih lanjut oleh pemerintah. Langkah pemerintah dalam mengajak masyarakat untuk semakin memanfaatkan EBT pada kehidupan sehari-hari bukan sekedar tindakan tanpa tujuan semata, melainkan guna mewujudkan target bauran energi nasional. Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”), khususnya pada Pasal 10 pemerintah telah menargetkan bauran EBT sebesar 19% – 23% pada tahun 2030, kemudian pada tahun 2040 target bauran yang ditetapkan sebesar 36% – 40%, serta terus meningkat setiap 1 dekade.

Untuk mencapai target tersebut, pemerintah memasukkan RUU EBT ke dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) dan menjadikannya sebagai salah satu prioritas pembahasan antara Pemerintah dengan DPR selama 2024-2025. Menurut Bambang Patijaya selaku Ketua Komisi XII DPR, urgensi RUU EBT bertujuan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sebesar 8% sebagaimana telah ditargetkan oleh pemerintah. 

Meskipun penyusunan RUU EBT telah dimulai sejak beberapa tahun lalu dan naskah akademiknya telah dibahas oleh Kementerian ESDM, namun proses legislasi masih berjalan dikarenakan terdapat sejumlah isu fundamental yang belum disepakati, diantaranya: skema pendanaan, keberadaan kategori energi baru, serta desain insentif fiskal maupun nonfiskal bagi investor. Akan tetapi, akhir-akhir ini muncul dorongan yang berasal dari Masyarakat Energi Terbarukan Indonesia (METI) agar pemerintah dan DPR segera menyelesaikan pembahasan RUU EBT dikarenakan hingga saat ini rancangan regulasi tersebut masih tertahan di Komisi XII DPR RI. 

Menurut Rachmat Gobel sebagai Ketua Dewan Pengawas METI periode 2022-2025, latar belakang desakan RUU EBT tersebut dikarenakan saat ini Negara Indonesia masih sangat mengandalkan sumber energi fosil yang berisiko menimbulkan dampak lingkungan, padahal Negara Indonesia memiliki peluang yang signifikan untuk mendorong sektor EBT.

Berdasarkan berkas Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (“RUU EBT”), hingga saat ini telah dibahas mengenai reformasi birokrasi perizinan, harmonisasi kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah, hingga pemberian insentif sebagai bentuk kemudahan berusaha bagi badan usaha yang menyelenggarakan kegiatan EBT. Oleh karena itu, apabila RUU EBT dapat segera disahkan, Indonesia akan memiliki payung hukum khusus yang memberikan kepastian bagi investor dan mendorong percepatan berbagai proyek, khususnya Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS), Pembangkit Listrik Tenaga Bayu (PLTB), dan bioenergi.

 

Dampak bagi Investor Energi Terbarukan

 

Kehadiran RUU EBT berpotensi memberikan perubahan secara signifikan bagi investor PLTS, PLTB, maupun bioenergi. Diharapkan regulasi tersebut dapat menjadi titik balik yang memperbaiki struktur pasar EBT yang selama ini masih dipenuhi dengan ketidakpastian. Dengan hadirnya RUU EBT, investor akan memperoleh kejelasan mengenai kerangka bisnis dalam jangka panjang, termasuk proses perizinan yang lebih sederhana, standar teknis yang lebih terukur, serta skema kontrak yang lebih transparan, sehingga menciptakan kepastian berusaha yang selama ini sangat dibutuhkan pada sektor EBT. Adapun dampak yang dapat dirasakan oleh investor EBT adalah sebagai berikut:

Pertama, kepastian hukum. Selama ini, banyak proyek yang terhambat karena terjadinya kekosongan hukum, sehingga dengan adanya regulasi yang setingkat dengan undang-undang, maka investor dapat memperoleh legalitas yang lebih baik dalam jangka panjang.

Kedua, RUU EBT diproyeksikan mampu mendorong kehadiran insentif fiskal dan nonfiskal. Hal tersebut sesuai dengan amanat Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”), khususnya dalam Pasal 42 ayat (1) yang menyatakan bahwa: 

“Dalam rangka melestarikan fungsi lingkungan hidup, Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib mengembangkan dan menerapkan instrumen ekonomi lingkungan hidup.”

Lebih lanjut, dalam Pasal 42 ayat (2) UU PPLH pun telah menjelaskan bahwa instrumen ekonomi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 42 ayat (1) UU PPLH adalah berupa perencanaan pembangunan dan kegiatan ekonomi, pendanaan lingkungan hidup, serta pemberian insentif dan/atau disinsentif.

Ketiga, peluang ekspansi skema sistem energi terdistribusi. Melalui skema sistem energi terdistribusi (distributed renewable energy), investor PLTS dan PLTB mendapat peluang ekspansi lebih besar. Dalam hal ini, RUU EBT membuka ruang bagi pengembangan PLTS atap dan PLTB pada skala kecil di wilayah terpencil. Dengan pendekatan tersebut, maka akan meringankan beban pembangunan, sebab beban tersebut tidak hanya bertumpu pada proyek dalam skala utility.

Keempat, potensi membangun kepercayaan investor pada kancah internasional. Regulasi EBT dapat meningkatkan kepercayaan investor internasional, terutama setelah Indonesia menerima pendanaan transisi energi melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) senilai USD 20 miliar.

Baca juga: Peran Smart Grid dalam Transisi Energi Bersih

 

Prospek Pasar Energi Hijau 2025 ke Depan

 

Pasar energi terbarukan Indonesia diproyeksikan tumbuh pesat mulai tahun 2025. Pemerintah telah menargetkan bauran energi terbarukan sebesar 23% pada 2025. Meskipun target tersebut meleset, namun akselerasi kebijakan melalui RUU EBT berpotensi menciptakan landasan hukum yang lebih kuat.

Untuk dapat mencapai target bauran EBT sebesar 19% – 23% pada tahun 2030, sektor PLTS dapat dijadikan sebagai kandidat utama karena biaya teknologinya terus menurun dan didukung dengan letak geografis Negara Indonesia yang terus mendapatkan pancaran sinar matahari. Selain itu, produksi panel surya dalam skala besar yang dilakukan oleh China mampu menurunkan harga panel surya di seluruh dunia, bahkan penurunan harga tersebut mencapai 80% dalam satu dekade terakhir. Maka dari itu, RUU EBT berpotensi memperkuat prospek tersebut dengan membuka peluang investasi PLTS atap, kawasan industri hijau, hingga PLTS terapung.

Pada sektor PLTB, meskipun sedang menghadapi tantangan berupa capacity factor yang lebih rendah dibanding negara subtropis, namun teknologi turbin modern membuka peluang pemanfaatan potensi angin, khususnya di NTT, dan NTB. Dengan dukungan model tarif baru yang lebih kompetitif, maka investor dapat menilai PLTB sebagai proyek jangka panjang yang stabil.

Sementara itu, bioenergi memiliki pertumbuhan prospek pasar yang berjalan beriringan dengan target pengurangan emisi pada sektor transportasi. Salah satu kebijakan pemerintah, seperti penggunaan biodiesel B40 yang didukung oleh ketersediaan bahan baku berupa sawit yang melimpah berpotensi menciptakan rantai pasok yang stabil dan menarik bagi investor. 

RUU EBT menjadi tonggak penting dalam reformasi kebijakan energi hijau Indonesia. Statusnya yang saat ini masih dibahas di DPR menunjukkan adanya komitmen pemerintah yang kuat untuk menciptakan kerangka hukum yang lebih modern, responsif, dan sejalan dengan prinsip perlindungan lingkungan. Bagi investor energi terbarukan, keberadaan RUU EBT merupakan sinyal positif, khususnya untuk meningkatkan kepastian hukum, memperluas peran pasar, serta memperkuat bankability proyek PLTS, PLTB, dan bioenergi. Memasuki tahun 2025 dan tahun-tahun selanjutnya, prospek energi hijau di Indonesia diproyeksikan akan semakin cerah dengan didukung oleh komitmen nasional terhadap bauran energi bersih, menurunnya biaya teknologi, serta meningkatnya kebutuhan pengendalian emisi. Oleh karena itu, apabila RUU EBT disahkan dan diikuti implementasi yang konsisten, maka Indonesia berpeluang menjadi pemimpin energi hijau di Asia Tenggara dan menciptakan ekosistem investasi yang berkelanjutan, inklusif, dan kompetitif.***

Baca juga: Investasi Asing dan Skema Pembiayaan Hijau (Green Financing) dalam Proyek Energi Bersih

 

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (“UU PPLH”)
  • Rancangan Undang-Undang tentang Energi Baru dan Energi Terbarukan (“RUU EBT”)
  • Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 2025 tentang Kebijakan Energi Nasional (“PP 40/2025”)

Referensi:

  • Komisi XII DPR Segera Bahas RUU Energi Baru dan Terbarukan. HukumOnline. (Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 08.15 WIB).
  • RUU Energi Terbarukan Mendesak, METI Minta DPR Segera Tuntaskan. Kompas. (Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 08.28 WIB).
  • Janji Surga Rp 353 Triliun Pendanaan Transisi Energi. Kompas. (Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 09.03 WIB).
  • Rahasia di Balik Keberhasilan China Menjadi Raja Energi Surya Dunia. HMEnergi. Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 09.20 WIB).
  • Nurrohim, Agus. (2012). Pembangkit Listrik Tenaga Hibrid sebagai Solusi Kelistrikan di Daerah Terpencil. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia, Vol. 14, No. 2, Hal 98. (Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 09.44 WIB).
  • Inovasi Bioenergi Berbasis Sawit Guna Mewujudkan Ketahanan Energi Nasional. BPDP. (Diakses pada 2 Desember 2025 Pukul 10.00 WIB).