Lingkungan hidup adalah kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan dan makhluk hidup termasuk manusia. Memastikan lingkungan hidup selalu dalam keadaan baik sangat penting bagi kelangsungan kehidupan manusia serta makhluk hidup lain. Maka dari itu, perlu adanya upaya perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baik. Untuk menciptakan hal tersebut, Pemerintah Indonesia melalui Pasal 22 Undang-Undang Cipta Kerja mencoba menyempurnakan pengaturan mengenai perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup. Selain itu, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (PP 22/2021) sebagai peraturan pelaksana.

 

Persetujuan lingkungan (Pasal 3 PP 22/2021)

Persetujuan Lingkungan adalah Keputusan Kelayakan Lingkrrngan Hidup atau pernyataan Kesanggupan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang telah mendapatkan persetujuan dari Pemerintah pusat atau pemerintah Daerah.  Persetujuan Lingkungan sangat penting bagi pelaku usaha karena Persetujuan Lingkungan menjadi prasyarat penerbitan Perizinan Berusaha atau Persetujuan Pemerintah.

Persetujuan Lingkungan dilakukan melalui penyusunan Amdal dan uji kelayakan Amdal atau penyusunan Formulir UKL-UPL dan pemeriksaan Formulir UKL-UPL. Dengan PP 22/2021, setiap penyusunan Amdal dilakukan dengan melibatkan masyarakat yang terkena dampak langsung. Pelibatan masyarakat yang terkena dampak langsung dilakukan dengan pengumuman rencana Usaha dan/atau Kegiatan dan konsultasi publik.[1]

 

Pengendalian Kerusakan Lingkungan Hidup (Pasal 272-273 PP 22/2021)

Kriteria baku Kerusakan Lingkungan Hidup diperlukan untuk menentukan terjadinya kerusakan lingkungan hidup. Kriteria yang dimaksud meliputi kriteria baku kerusakan:

  1. Terumbu Karang, diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 231 dan Pasal 232;
  2. Mangrove, diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 231 dan Pasal 232;
  3. Padang Lamun, diatur sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 231 dan Pasal 232;
  4. tanah untuk produksi biomassa;
  5. gambut,
  6. karst, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri;
  7. lingkungan yang berkaitan dengan kebakaran hutan dan/atau lahan, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri. Hal ini dikecualikan terhadap kegiatan yang dilakukan masyarakat di lahan miliknya sendiri;
  8. lahan akibat Usaha dan/atau Kegiatan pertambangan, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri; dan
  9. kriteria baku Kerusakan Lingkungan Hidup lainnya sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, yang ditetapkan dalam Peraturan Menteri.

 

Pengelolaan Limbah B3 dan Non-B3

Pengelolaan Limbah B3 wajib dilakukan oleh setiap orang yang menghasilkan Limbah B3.[2] Penghasil Limbah B3 juga diwajibkan untuk melakukan pengurangan Limbah B3. Pelaksanaan pengurangan limbah B3 dilaporkan secara tertulis kepada Menteri Lingkungan Hidup secara berkala paling sedikit 1 kali dalam 6 bulan.[3] Pengurangan Limbah B3 dilakukan dengan cara:[4]

  1. substitusi bahan, dengan mengganti bahan baku dan/atau bahan penolong yang tidak mengandung B3;
  2. modifikasi proses, dengan cara pemilihan dan penerapan proses produksi yang lebih efisien; dan/atau
  3. penggunaan teknologi ramah lingkungan

Sedangkan pengelolaan Limbah nonB3 dilakukan oleh setiap orang yang menghasilkan Limbah nonB3.[5] Dalam melaksanakan pengelolaan Limbah nonB3 terdapat larangan-larangan, yakni:[6]

  1. Dumping (Pembuangan) Limbah nonB3 tanpa Persetujuan dari Pemerintah Pusat;
  2. pembakaran secara terbuka (open burning);
  3. pencampuran Limbah nonB3 dengan Limbah B3; dan
  4. melakukan penimbunan Limbah nonB3 di fasilitas tempat pemrosesan akhir.

 

Pengawasan dan Sanksi (Pasal 494-504 dan Pasal 505-526)

Pengawasan dilakukan oleh Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup, Gubernur, atau Bupati/Wali Kota. Pengawasan dilakukan dengan cara langsung dengan mendatangi lokasi usaha dan/atau kegiatan, dan/atau secara tidak langsung dengan cara  penelaahan data laporan penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan dan/atau sistem informasi lingkungan hidup.

Apabila penganggung jawab usaha dan/atau kegiatan ditemukan tidak taat, Pejabat Pengawas Lingkungan Hidup data memberi rekomendasi untuk tindak lanjut penegakan hukum administratif, perdata, dan/atau pidana. Dalam hal penegakan hukum perdata dilakukan dengan pembuktian pertanggungjawaban mutlak (strict liability) yang sebelumnya harus dimintakan oleh penggugat dan termuat dalam surat gugatan. Tergugat dapat terbebas dari pertanggungjawaban mutlak apabila pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup disebabkan oleh:

  1. bencana alam atau peperangan;
  2. keadaan memaksa di luar kemampuan manusia; atau
  3. akibat, perbuatan pihak lain yang menyebabkan terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.

Terkait dengan sanksi administratif diterbitkan dalam bentuk keputusan. Bentuk sanksi administratif dapat berupa:

  1. teguran tertulis;
  2. paksaan pemerintah:
  3. denda administratif;
  4. pembekuan Perizinan Berusaha; dan/atau
  5. pencabutan Perizinan Berusaha

 

DISCLAIMER

Setiap informasi yang terkandung dalam Artikel ini disediakan hanya untuk tujuan informasi dan tidak boleh ditafsirkan sebagai nasihat hukum tentang masalah apa pun. Anda tidak boleh bertindak atau menahan diri dari bertindak berdasarkan konten apa pun yang termasuk dalam Update Hukum ini tanpa mencari nasihat hukum atau profesional lainnya. Dokumen ini dilindungi hak cipta. Tidak ada bagian dari dokumen ini yang dapat diungkapkan, didistribusikan, direproduksi atau dikirim dalam bentuk apa pun atau dengan cara apa pun, termasuk fotokopi dan rekaman atau disimpan dalam sistem pengambilan apa pun tanpa persetujuan tertulis sebelumnya dari Firma Hukum SIP.

 

 

[1] Pasal 27-28 PP 22/2021

[2] Pasal 276 ayat (1) PP 22/2021

[3] Pasal 284 PP 22/2021

[4] Pasal 283 PP 22/2021

[5] Pasal 452 ayat (2) PP 22/2021

[6] Pasal 453 PP 22/2021