Pemerintah saat ini terus menggenjot penerimaan negara yang berasal dari sektor pertambangan mineral dan batubara melalui Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Penerimaan negara itu diambil dari hasil penjualan atau setoran royalti hasil sektor pertambangan.

Kewajiban itu harus dijalankan oleh setiap perusahaan pertambangan pemegang Izin Usaha Produksi (IUP), Izin Usaha Produksi Khusus (IUPK), atau pemegang PKP2B. Bahkan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) memperketat pembayaran royalti dengan menerbitkan berbagai regulasi.

Belum lama ini Kementrian ESDM menerbitkan Keputusan Menteri ESDM No. 18.K/HK.02/MEM.B/2022 tentang Pedoman Pembayaran atau Penyetoran Iuran Tetap atau Royalti, dan Dana Hasil Produksi Batubara (DHPB). Keputusan ini juga mengatur besaran biaya kegiatan usaha pertambangan mineral dan batubara.

Regulasi tersebut menjelaskan tata cara penyetoran iuran produksi/royalti, DHPB khusus bagi pemegang Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B) yang harus melakukan pembayaran di muka (provisional).  Besarannya dihitung berdasarkan kualitas dan kuantitas hasil tambang yang akan dilakukan pengiriman atau pengapalan per transaksi dengan perhitungan tarif dikalikan volume penjualan dikalikan harga dasar royalti pada saat tanggal pembuatan provisional dan penyetoran royalti.

Keputusan itu juga mengatur terjadinya selisih kurang bayar berdasarkan perhitungan penyetoran royalti atau DHPB final. Apabila hal itu terjadi maka kekurangan tersebut harus segera dibayarkan paling lambat 30 (tiga puluh) hari kalender terhitung sejak tanggal pengiriman atau terjadinya transaksi.

Namun, timbul pertanyaan terkait perusahaan pemegang IUP/IUPK atau PKP2B yang telah membayar royalti dan DHPB sesuai dengan perhitungan tetapi perusahaan tersebut masih menerima surat pemberitahuan dari Direktorat Jendral Mineral dan Batubara terkait terjadinya kekurangan bayar royalti dan DHPB.  Apakah perusahaan tersebut dapat mengajukan keberatan dengan cara mengajukan Gugatan kepada Dirjen Mineral dan Batubara (Dirjen Minerba) melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN)?

Pasal 1 angka (10) Undang-Undang No. 51 Tahun 1986 Jo. Undang-Undang No. 9 Tahun 2014 Jo. Undang-Undang No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara  mengatur sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara, sesuai peraturan dan perundang-undangan yang berlaku.

Surat pemberitahuan kekurangan bayar royalti dan DHPB oleh Dirjen Mineral dan Batubara tidak serta merta dapat dijadikan dasar gugatan terhadap Dirjen Mineral dan Batubara di Pengadilan Tata Usaha Negara. Pasal 1 angka (9) Undang-Undang No. 51 Tahun 1986  menyatakan  bahwa keputusan atau penetapan yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata usaha negara haruslah berisi tindakan hukum tata usaha negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang bersifat konkret, individual, dan final, serta menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Oleh karena itu, surat pemberitahuan kekurangan pembayaran royalti dan DHPB yang dikeluarkan oleh Dirjen Mineral dan Batubara tidak serta merta dapat dipergunakan sebagai objek sengketa.

Sebelum mengajukan gugatan melalui pengadilan tata usaha negara, perusahaan yang menerima surat pemberitahuan kekurangan pembayaran iuran produksi atau royalti dan DHPB dapat mengajukan keberatan kepada Dirjen Mineral dan Batubara sebagaimana telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 34 Tahun 2010 tentang Pengajuan dan Penyelesaian Keberatan Atas Penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak Yang Terhutang.

Tata cara pengajuan keberatan tersebut dapat dilihat pada Pasal 2 ayat (1) Bab II mengenai Pengajuan Keberatan, yaitu;

“wajib bayar yang dapat mengajukan keberatan atas penetapan Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang adalah Wajib Bayar yang menghitung sendiri Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang

Pasal 2 ayat (2) Peraturan Pemerintah RI No.34 Tahun 2010 menyatakan bahwa keberatan bisa diajukan apabila ada perbedaan perhitungan antara jumlah PNBP (dalam hal ini iuran produksi atau royalti dan DHPB) yang dihitung oleh perusahaan dengan hasil perhitungan dari Dirjen Mineral dan Batubara.

Terjadinya perbedaan perhitungan tidak serta merta membuat perusahaan dapat langsung mengajukan keberatan kepada Dirjen Mineral dan Batubara terkait nilai yang harus dibayarkan.  Namun berdasarkan Pasal 3 PP No. 34 Tahun 2010, keberatan baru dapat diajukan setelah perusahaan melakukan pembayaran sesuai perhitungan yang telah ditetapkan,  sebagai berikut:

Keberatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 diajukan setelah wajib bayar melakukan pembayaran sesuai jumlah Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Terutang yang ditetapkan oleh Instansi Pemerintah

Setelah perusahaan melakukan pembayaran sesuai jumlah yang dihitung, selanjutnya perusahaan dapat mengajukan keberatan dalam jangka waktu tiga bulan sejak tanggal perhitungan yang sudah ditetapkan Dirjen Mineral dan Batubara, dengan tata cara pengajuan sebagai berikut:

  1. Melampirkan penjelasan dan alasan pengajuan keberatan;
  2. Adanya rincian perhitungan jumlah iuran produksi atau royalti dan DHPB yang dibuat oleh perusahaan itu sendiri;
  3. Adanya surat tanda bukti pembayaran yang sah sesuai perhitungan yang dikeluarkan oleh Dirjen Mineral dan Batubara;
  4. Dokumen pendukung lainnya; dan
  5. NPWP

Jika  perusahaan mengajukan keberatan setelah lewatnya jangka waktu yang ditentukan, maka pengajuan keberatan tersebut akan ditolak oleh pihak Dirjen Mineral dan Batubara dengan menerbitkan surat penolakan. Sebaliknya apabila perusahaan telah mengajukan keberatan, akan tetapi pihak Dirjen Mineral dan Batubara tidak menyampaikan tanggapan atas keberatan tersebut dalam jangka waktu 12  bulan sejak tanggal surat pengajuan keberatan, maka keberatan yang diajukan oleh perusahaan tersebut dianggap dikabulkan.

Apabila Dirjen Minerba sudah menanggapi keberatan, namun masing-masing pihak tetap pada argumennya, maka perusahaan tersebut dapat mengajukan upaya hukum gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara  sebagai upaya terakhir bagi perusahaan yang merasa dirugikan.

 

 

Author / Contributor:

 Muhammad, S.H.

Associate

Contact: 

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975