Konsep green mining atau pertambangan hijau sering dipromosikan sebagai jalan tengah antara kebutuhan eksploitasi sumber daya alam dan komitmen terhadap pelestarian lingkungan. Di atas kertas, gagasan ini tampak ideal—menjanjikan keseimbangan antara ekonomi dan ekologi. Namun dalam praktiknya, penerapan green mining di Indonesia masih jauh dari harapan, terutama ketika bersentuhan dengan tarik menarik kepentingan hukum, ekonomi, dan politik.
Salah satu contoh nyata yang mencerminkan kompleksitas tersebut adalah praktik penambangan nikel di wilayah Raja Ampat, Papua Barat Daya—khususnya di Pulau Gag. Penambangan di kawasan ini menyimpan berbagai persoalan, mulai dari persoalan regulasi, keberadaan masyarakat adat, hingga potensi dampak lingkungan yang serius. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah sejauh mana klaim “pertambangan hijau” benar-benar diterapkan, serta risiko hukum yang mungkin timbul di baliknya.
Bertentangan dengan Prinsip Green Mining
Secara prinsip, green mining menekankan praktik pertambangan yang minim dampak lingkungan, menjunjung partisipasi masyarakat lokal, serta menjamin keberlanjutan pascatambang. Namun pada praktiknya, konsep ini kerap kali hanya menjadi jargon. Tanpa mekanisme penegakan dan pengawasan yang ketat, label “hijau” hanya digunakan tanpa tolok ukur yang objektif.
Kegiatan tambang di Pulau Gag justru dilakukan di wilayah yang secara ekologis sangat rentan, berdekatan dengan kawasan konservasi laut dan habitat biota unik, sehingga mengancam kehidupan biota laut, dan satwa khas Papua lainnya yang hidup di kawasan tersebut. Hal ini jelas menunjukkan kontradiksi antara klaim green mining dan realitas di lapangan. Alih-alih menjadi contoh pertambangan hijau, proyek ini justru cenderung menjadi praktik greenwashing, di mana klaim lingkungan hanya menjadi alat legitimasi pencemaran.
Pelanggaran terhadap Peraturan Perundang-Undangan
Penambangan di Pulau Gag menimbulkan sejumlah persoalan hukum, di antaranya:
Pertama, Penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat berpotensi melanggar ketentuan Pasal 1 angka 3 Jo. Pasal 35 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (“UU 27/2007”) secara tegas melarang kegiatan penambangan mineral di pulau kecil (kurang dari 2.000 km²), Padahal, dilansir dari laman berita kompas, Pulau Gag memiliki luas hanya sekitar 6.500 hektar atau 65 km².
Selengkapnya dikutip Pasal 1 angka 3 Jo. Pasal 35 UU 27/2007 sebagai berikut:
Pasal 1
- Pulau Kecil adalah pulau dengan luas lebih kecil atau sama dengan 2.000 km2 (dua ribu kilometer persegi) beserta kesatuan Ekosistemnya.
Pasal 35
Dalam pemanfaatan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, setiap Orang secara langsung atau tidak langsung dilarang:
……
k. melakukan penambangan mineral pada wilayah yang apabila secara teknis dan/atau ekologis dan/atau sosial dan/atau budaya menimbulkan kerusakan lingkungan dan/atau pencemaran lingkungan dan/atau merugikan Masyarakat sekitarnya; serta
Lebih lanjut pasal 23 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (“UU 1/2014”) menyatakan pemanfaatan pulau kecil diprioritaskan untuk kepentingan sebagai berikut:
a. konservasi;
b. pendidikan dan pelatihan;
c. penelitian dan pengembangan;
d. budi daya laut;
e. pariwisata;
f. usaha perikanan dan kelautan serta industri perikanan secara lestari;
g. pertanian organik;
h. peternakan; dan/atau i.
i. pertahanan dan keamanan negara.
Kedua, Penambangan di Pulau Gag, Raja Ampat juga berpotensi melanggar Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023 (“Putusan MK 35/PUU-XXI/2023”) yang menyatakan Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 dan Pasal 35 huruf k UU 27/2007 tidak bertentangan dengan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang diskriminatif serta menguatkan larangan aktivitas tambang di wilayah pesisir dan pulau kecil.
Selengkapnya dikutip Putusan MK No. 35/PUU-XXI/2023 sebagai berikut:
“Bahwa berdasarkan seluruh uraian pertimbangan hukum tersebut di atas, Mahkamah berpendapat ketentuan Pasal 23 ayat (2) UU 1/2014 dan Pasal 35 huruf (k) UU 27/2007 telah ternyata tidak bertentangan dengan kepastian hukum yang adil dan perlakuan yang diskriminatif yang diatur dalam Pasal 28D ayat (1) dan Pasal 28I ayat (2) UUD 1945, bukan sebagaimana yang didalilkan oleh Pemohon. Dengan demikian, dalil-dalil Pemohon adalah tidak beralasan menurut hukum untuk seluruhnya”
Potensi Tindak Pidana Korupsi
Jika terbukti bahwa izin tambang diberikan dengan mengabaikan ketentuan hukum yang berlaku, termasuk tanpa adanya studi kelayakan lingkungan yang memadai atau tanpa persetujuan masyarakat adat, maka baik pejabat yang berwenang, maupun pelaku usaha dapat terindikasi melakukan perbuatan melawan hukum dan/atau penyalahgunaan wewenang sebagaimana unsur Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang menyatakan:
“Setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah.”
“Setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.”
Kesimpulan
Kasus Pulau Gag di Raja Ampat menjadi cermin penting betapa klaim green mining perlu diuji bukan hanya dari retorika, tapi dari kepatuhan terhadap hukum, penghormatan terhadap masyarakat adat, serta dampaknya terhadap ekosistem. Dalam konteks negara hukum, kegiatan pertambangan yang tidak sejalan dengan prinsip-prinsip tersebut bukan hanya cacat lingkungan, tetapi juga berisiko mengandung cacat hukum dan bahkan unsur pidana. Jika diteruskan, maka bukan tidak mungkin timbulnya kerusakan yang bersifat permanen yang pastinya mengorbankan masa depan pariwisata, masyarakat adat, dan lingkungan yang tak tergantikan. ***
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (“UU 27/2007”).
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 Tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir Dan Pulau-Pulau Kecil (“UU 1/2014”).
- Putusan Mahkamah Konstitusi No. 35/PUU-XXI/2023 (“Putusan MK 35/PUU-XXI/2023”).
Referensi:
- Peneliti BRIN: Pulau Gag Seluas 6.500 Hektar, Punya Pelabuhan dan Lapangan Terbang. Kompas.com. (Diakses pada 17 Juni 2025 pukul 10.00 WIB).
Author / Contributor:
![]() | Valdy Ongky, S.H. Junior Associate Contact: |