Pengaturan status anak di Indonesia diatur dalam UU Perkawinan, UU Perlindungan Anak, UU Administrasi Kependudukan, KUH Perdata, Kompilasi Hukum Islam (Inpres No. 1 Tahun 1991), Putusan Mahkamah Konstitusi, dan Fatwa MUI. 

“Status anak dilihat dari perkawinan orang tuanya, ada anak sah dan ada juga anak yang lahir di luar perkawinan. Status anak juga bisa di kualifikasi tanpa hubungan darah dengan orang tua dan ditetapkan oleh pengadilan, misalnya anak angkat dan anak Istilhaq (pengakuan terhadap seorang anak sebagai anaknya yang sah),” kata Dr. Hartini, S.H. M.Si., pengajar FH UGM.

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata membagi  status anak menjadi 3 yaitu anak sah, yang lahir di dalam suatu perkawinan, anak yang lahir di luar perkawinan tapi diakui oleh seorang ayah dan/atau seorang ibu dan anak lahir di luar perkawinan yang tidak diakui, baik oleh ayah maupun oleh ibunya. 

Dalam hukum Islam, status perwalian anak dari sisi nasab, nafkah, dan hak waris anak di luar nikah, para ulama berbeda pendapat. Masalah ini juga diangkat dalam forum Munas Alim Ulama NU di Lombok pada akhir tahun 2017. Dikutip dari website NU, para peserta berpendapat, anak di luar nikah sebagai anak yang dilahirkan oleh seorang perempuan di luar ikatan perkawinan yang sah menurut hukum dan agama. 

Perempuan yang hamil itu dinikahi secara syar’i yakni dilaksanakan sesuai dengan ketentuan syarat dan rukunnya, maka berlaku hukum nasab, wali, waris, dan nafkah. Jika perempuan yang hamil itu tidak dinikahi secara syar’i, maka ada tafsil (rinci) sebagai berikut:

  1. Jika anak (janin) tersebut lahir pada saat ibunya belum dinikahi siapapun, maka anak itu bernasab kepada ibunya saja
  2. Jika anak lahir setelah ibunya dinikahi baik oleh ayah biologisnya atau orang lain, di sini ada tafsil: (a) jika (janin) lahir lebih dari 6 bulan (dari akad nikah), maka nasab anak itu jatuh kepada suami ibunya. Tetapi (b) jika lahir kurang dari 6 bulan (akad nikah), maka anak itu tidak bisa bernasab kepada suami ibunya.

Mahkamah Konstitusi membuat keputusan penting Jumat 12 Februari 2012 terkait status anak di luar pernikahan. Pasal 43 ayat (1) UU No 1/1974 tentang Perkawinan diubah dan menjadi “anak yang dilahirkan di luar perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai ayahnya yang dapat dibuktikan berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya”. Dengan putusan ini, maka anak hasil nikah siri atau pun di luar nikah berhak mendapatkan hak-haknya dari sang ayah seperti biaya hidup, akte lahir hingga warisan.