Hak cipta merupakan salah satu instrumen penting dalam dunia pendidikan yang berfungsi untuk melindungi karya orisinal para pencipta, termasuk buku ajar dan karya tulis ilmiah. Segala bentuk karya intelektual harus dilindungi secara hukum. Di Indonesia, perlindungan terkait dengan hak cipta diatur oleh Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”). Sebagaimana diatur dalam Pasal 40 ayat (1) huruf a UUHC disebutkan bahwa ciptaan yang dilindungi meliputi ciptaan dalam bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra yang terdiri atas buku, pamflet, perwajahan karya tulis yang diterbitkan, dan semua hasil karya tulis lainnya.

Manfaat melindungi buku ajar dan karya tulis ilmiah dalam lingkup pendidikan melalui pencatatan hak cipta sangat beragam. Pertama, pendaftaran hak cipta memberikan kepastian hukum bagi pencipta yang memungkinkan para pencipta untuk menuntut hak eksklusif atas penggunaan, penggandaan, dan distribusi karya. Dengan adanya kepastian hukum ini, pencipta dapat mengendalikan bagaimana karya intelektual mereka digunakan melalui lisensi ataupun penjualan hak cipta. Pencatatan hak cipta juga sebagai alat pencegahan terhadap pelanggaran hak cipta.

Terkait dengan penggandaan dalam pendidikan diatur dalam Pasal 44 ayat (1) huruf a UUHC yang menjelaskan bahwa: 

“Penggunaan, pengambilan, penggandaan, dan/atau pengubahan suatu ciptaan dan/atau produk Hak Terkait secara seluruh atau sebagian yang substansial tidak dianggap sebagai penggalan Hak Cipta jika sumbernya disebutkan atau dicantumkan secara lengkap untuk keperluan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjuan suatu masalah dengan tidak merugikan kepentingan yang wajar dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.”

Meski demikian, masih banyak yang salah menafsirkan bahwa duplikasi atau penggandaan buku untuk kepentingan pendidikan selalu diperbolehkan. Apalagi marak pula pelanggaran hak cipta mencakup kegiatan menyalin (fotocopy), reprografi, memindai (scanning), dan mengunggah di internet. Padahal, seharusnya penggandaan yang melibatkan lebih dari satu salinan atau digunakan untuk tujuan komersial tetap harus mengantongi izin dari pemegang hak cipta. Hal ini bertujuan untuk melindungi hak-hak pencipta dan memastikan bahwa pencipta akan mendapatkan pengakuan dan kompensasi yang layak atas karya intelektual mereka. Praktik-praktik tersebut akan semakin menambah deretan kurangnya penghargaan terhadap hak cipta karya literasi atau buku.

Untuk itu, pemerintah melalui Peraturan Menteri Hukum dan HAM Nomor 15 Tahun 2024 tentang Pengelolaan Royalti Atas Lisensi Penggunaan Sekunder untuk Hak Cipta Buku dan/atau Karya Tulis Lainnya (“Permenkumham 15/2024”) mempertegas aturan terkait dengan pengelolaan royalti buku untuk mencegah praktik-praktik pelanggaran. Aturan tersebut ditujukan untuk memberikan kepastian hukum dan mengatur mekanisme pelaksanaan penarikan, penghimpunan, dan pendistribusian royalti dari penggandaan ciptaan buku dan/atau karya tulis lainnya. 

Diatur dalam Pasal 1 ayat (8) Permenkumham 15/2024 dijelaskan bahwa lisensi penggunaan sekunder adalah izin untuk pemanfaatan lanjutan atas buku yang telah diterbitkan dan/atau karya tulis lainnya yang bersifat komersial maupun tidak komersial yang merugikan kepentingan wajar dari pencipta dan/atau pemegang hak cipta. Sementara pada Pasal 5 Permenkumham 15/2024 disebutkan bahwa pengguna sekunder meliputi:

  1. Satuan pendidikan;
  2. Perguruan tinggi;
  3. Lembaga pendidikan;
  4. Lembaga penelitian;
  5. Kementerian/lembaga/pemerintah daerah;
  6. Usaha swasta yang melakukan aktivitas penggandaan dokumen;
  7. Usaha jasa fotokopi;
  8. Penyelenggara sistem elektronik;
  9. Lembaga penyiaran;
  10. Pengembang kecerdasan artifisial (artificial intelligence); dan
  11. Pengguna sekunder lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. 

Baca juga: Inilah Keuntungan Memiliki Hak Cipta

Penggunaan sekunder ciptaan atas buku dan/atau karya tulis lainnya dapat dilakukan tanpa meminta izin terlebih dahulu kepada pencipta dan/atau pemegang hak cipta dengan membayar imbalan melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) di bidang buku dan/atau karya tulis lainnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 ayat (1) Permenkumham 15/2024. Terhadap penggunaan sekunder yang telah membayar imbalan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), LMK di bidang buku dan/atau karya tulis lainnya akan mengeluarkan bukti izin penggunaan sekunder. 

Berkaitan dengan pembayaran royalti, diatur dalam Pasal 19 ayat (1) Permenkumham 15/2024 yang wajib dilakukan atas penggunaan sekunder yang dilakukan dalam bentuk:

  1. Layanan publik yang bersifat komersial; dan
  2. Layanan publik yang bersifat tidak komersial namun merugikan kepentingan yang wajar.

Besaran royalti akan berbeda sesuai dengan penggunaan sekunder tersebut. Tarif penggunaan sekunder untuk satuan pendidikan, perguruan tinggi, lembaga pendidikan, dan usaha mikro dan usaha kecil dapat disesuaikan dengan mengajukan surat permohonan kepada LMK di bidang buku dan/atau karya tulis lainnya dapat menetapkan besaran royalti yang berbeda antara masing-masing.

Perlindungan hak cipta dalam pendidikan bukan hanya penting untuk melindungi hak dan kepentingan pencipta, namun juga mampu mendorong inovasi dan kreativitas. Melalui perlindungan hak cipta, para akademisi dan peneliti diberi rasa aman melalui perlindungan hukum yang ketat untuk terus berkontribusi positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pendidikan. Lebih lanjut, perlindungan hak cipta ini pun membantu menciptakan ekosistem pendidikan yang lebih baik, di mana setiap pencipta dihargai dan mendapat pengakuan yang layak atas karya mereka.

Baca juga: Memahami Fair Use: Solusi Perlindungan Hak Cipta di Era Digital

 Daftar Hukum:

Referensi: