Hak kekayaan intelektual (HKI) merupakan suatu hak eksklusif yang bisa didapatkan oleh pencipta atas karya ciptaannya. Litigasi hak kekayaan intelektual di Indonesia terdiri atas berbagai macam, salah satunya ialah hak cipta. Sebagaimana tertera dalam Pasal 1 angka 1 Undang-undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (UUHC), hak cipta adalah hak eksklusif pencipta yang timbul secara otomatis berdasarkan prinsip deklaratif setelah suatu ciptaan diwujudkan dalam bentuk nyata tanpa mengurangi pembatasan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Sebagaimana telah diketahui bahwa hak cipta merupakan hak eksklusif bagi pencipta, hak tersebut terbagi atas hak moral dan hak ekonomi. Hak moral timbul secara otomatis pada diri pencipta, sementara hak ekonomi hadir apabila pencipta atau pemegang hak cipta melakukan pencatatan karya ciptaannya ke Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI). Tujuan dari pencatatan karya cipta untuk mendapatkan hak ekonomi (royalti) dan sebagai tindakan preventif terhadap tindak pelanggaran hak cipta guna melindungi pencipta beserta karya ciptanya dari pihak yang tidak bertanggung jawab.
Meskipun telah melaksanakan tindak preventif dalam bentuk pencatatan karya cipta ke DJKI, akan tetapi tindakan pelanggaran hak cipta tentu tidak dapat dihindari oleh para pencipta maupun pemegang hak cipta. Berdasarkan Pasal 99 ayat (1) UUHC yang berbunyi:
“Pencipta, Pemegang Hak Cipta, atau pemilik Hak Terkait berhak mengajukan gugatan ganti rugi kepada Pengadilan Niaga atas pelanggaran Hak Cipta atau produk Hak Terkait.”
Menurut ketentuan pada pasal di atas, apabila terindikasi terjadinya pelanggaran hak cipta, maka pencipta, pemegang hak cipta, maupun pemilik hak terkait dapat melakukan gugatan ganti rugi ke Pengadilan Niaga. Gugatan ganti rugi disini adalah sebagai bentuk pelindungan hukum represif terhadap hak cipta miliknya dan sebagai permintaan tanggung jawab atas pelanggaran yang telah dilakukan oleh pelaku.
Persengketaan mengenai hak cipta bisa menjadi perkara perdata maupun pidana, tergantung pelanggaran apa yang dilakukan oleh pelaku. Pada perkara perdata, pertanggungjawaban yang diminta ialah berupa mengganti kerugian atas wanprestasi yang telah dilakukan oleh salah satu pihak atau adanya pelanggaran hukum (biasa dikenal dengan istilah perbuatan melawan hukum) yang dilakukan oleh seseorang. Kerugian tersebut dapat berupa kerugian materiil maupun immateriil.
Berdasarkan Pasal 1243 KUHPerdata, ganti rugi dalam perdata dapat berupa penggantian biaya, kerugian, dan bunga. Ganti kerugian tidak hanya berupa materi. Menurut Keputusan Hoge Raad pada tanggal 24 Mei 1918, ganti rugi yang paling tepat ialah mengembalikan keadaan seperti semula sebelum terjadi wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, baik dalam bentuk pemulihan keadaan secara fisik ataupun kompensasi yang setara dengan kerugian yang diderita.
Ketika pencipta, pemegang hak cipta, atau pun pihak berwenang terhadap suatu karya cipta mengetahui adanya pelanggaran hak cipta atas karyanya, maka dapat mengajukan gugatan secara perdata ke Pengadilan Niaga di wilayah hukum tempat tinggal atau domisili tergugat. Akan tetapi, jika salah satu pihak tinggal di luar wilayah Indonesia, maka gugatan didaftarkan kepada Pengadilan Niaga Jakarta Pusat.
Baca juga: Tips Memilih Konsultan HKI dan Hal yang Perlu Dipertimbangkan
Lalu, bagaimana cara mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga?
Pengajuan gugatan dapat diajukan kepada ketua Pengadilan Niaga secara online melalui aplikasi e-Court Mahkamah Agung dengan mengakses website: ecourt.mahkamahagung.go.id atau secara offline dengan mendatangi langsung Pengadilan Niaga. Setelah pengajuan gugatan dilayangkan, panitia Pengadilan Niaga melakukan pencatatan dalam register perkara pengadilan sesuai dengan tanggal pendaftaran. Lalu panitera Pengadilan Niaga menyampaikan permohonan gugatan kepada Ketua Pengadilan Niaga dalam waktu paling lama 2 hari terhitung sejak tanggal gugatan didaftarkan. Lalu, Pengadilan Niaga akan menetapkan hari sidang dalam jangka waktu paling lama 3 hari sejak pendaftaran gugatan. Dalam waktu paling lama 7 hari sejak pendaftaran gugatan, juru sita melakukan pemberitahuan dan pemanggilan para pihak. Proses pengajuan gugatan mengenai pelanggaran hak cipta ini sebagaimana tertera dalam Pasal 100 UUHC.
Tak hanya melalui jalur litigasi, penyelesaian sengketa terkait pelanggaran hak cipta dapat diselesaikan pula melalui jalur non-litigasi hak kekayaan intelektual. Sebagaimana tertera dalam Pasal 95 ayat (1) UUHC yang berbunyi:
“Penyelesaian sengketa Hak Cipta dapat dilakukan melalui alternatif penyelesaian sengketa, arbitrase, atau pengadilan.”
Alternatif penyelesaian sengketa (APS) di Indonesia terdiri atas beberapa lembaga, diantaranya: konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sebagaimana hal ini tertera dalam Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”).
Kelima alternatif penyelesaian sengketa tersebut bertujuan untuk menyelesaikan sengketa perdata secara efektif dan efisien tanpa melalui jalur litigasi hak kekayaan intelektual. Penyelesaian sengketa melalui konsultasi dilaksanakan atas permintaan klien yang membutuhkan pendapat hukum kepada konsultan hukum untuk mendapat nasihat hukum. Diantara kelima alternatif penyelesaian sengketa, hanya negosiasi yang tidak membutuhkan pihak ketiga sebagai pihak yang membantu menyelesaikan sengketa karena bersifat musyawarah antar kedua belah pihak. Metode mediasi sebagai salah satu APS terpopuler sebagaimana telah diatur dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“PERMA 1/2016”) yang menyatakan bahwa mediasi merupakan penyelesaian sengketa dengan cara melaksanakan perundingan untuk memperoleh kesepakatan antara para pihak didampingi oleh Mediator sebagai pihak netral. Penyelesaian sengketa melalui konsiliasi kurang lebih mirip seperti mediasi, namun konsiliator dapat memberikan rekomendasi solusi. Kemudian yang terakhir ada penilaian ahli yang melibatkan seorang ahli profesional di suatu bidang untuk dimintai pendapatnya terkait sengketa yang terjadi.
Baca juga: Fungsi, Manfaat, dan Jenis HKI Dalam Perlindungan Produk
Daftar Hukum:
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata)
- Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU Arbitrase dan APS”)
- Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta (“UUHC”).
- Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2016 tentang Prosedur Mediasi di Pengadilan (“PERMA 1/2016”).
Referensi:
- Pengajuan Perkara Niaga. Pengadilan Negeri Surabaya Kelas IA Khusus. (Diakses pada 31 Januari 2025 pukul 10.00 WIB).
- Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Kementerian Keuangan. (Diakses pada 31 Januari 2025 pukul 11.42 WIB).
- Artikel KPKNL Lhokseumawe. Kementerian Keuangan. (Diakses pada 31 Januari 2025 pukul 15.17 WIB).