Mogok kerja memang dapat dijadikan salah satu upaya dalam melakukan aksi penuntutan pemenuhan hak para pekerja/buruh kepada pengusaha. Namun, apakah pelaksanaan mogok kerja dapat dilakukan secara serta merta oleh para pekerja/buruh? Apa saja dampak atau konsekuensi hukum yang dapat dibebankan kepada pekerja/buruh apabila pelaksanaan mogok kerja tidak dilakukan sesuai peraturan perundang-undangan? 

Mengenal Istilah Mogok Kerja

Bahwa merujuk pada ketentuan Pasal 137 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sebagaimana telah diubah dalam Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“UU Ketenagakerjaan”), yang dimaksud dengan mogok kerja adalah hak dasar pekerja/buruh dan serikat pekerja/serikat buruh dilakukan secara sah, tertib, dan damai sebagai akibat gagalnya perundingan. 

Bagaimana Prosedur Pelaksanaan Mogok Kerja yang Sah?

Merujuk pada ketentuan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan dapat disampaikan agar suatu aksi mogok kerja yang dilakukan oleh para pekerja/buruh dianggap sebagai suatu tindakan sah yang tidak melanggar hukum, maka terlebih dahulu para pekerja/buruh membuktikan perundingan bipartit antara buruh dengan pengusaha telah  gagal.

Lebih lanjut, penjelasan Pasal 137 UU Ketenagakerjaan juga menekankan yang dimaksud dengan gagalnya perundingan dalam hal ini adalah tidak tercapainya kesepakatan penyelesaian perselisihan perhubungan industrial yang dapat disebabkan 2 (dua) hal, yakni:

  1. Pengusaha tidak mau melakukan perundingan; atau
  2. Perundingan telah dilakukan namun mengalami jalan buntu. 

Hal tersebut juga diamini dalam ketentuan Pasal 3 ayat (3) Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang No.1 Tahun 2005 (“UU PPHI”) pada pokoknya mengatur yang dimaksud dengan gagalnya perundingan bipartit terjadi apabila salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal dimulai perundingan. 

Selain itu, untuk membuktikan benar telah gagalnya perundingan bipartit antara pekerja/buruh dengan pengusaha maka salah satu atau kedua belah pihak perlu mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan sesuai Pasal 4 ayat (1) UU PPHI.

Selanjutnya, Pasal 141 ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa sebelum dan selama masa mogok kerja berlangsung, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan wajib menyelesaikan masalah yang menyebabkan timbulnya pemogokan dengan mempertemukan dan merundingkan dengan para pihak yang berselisih. Apabila tidak terdapat kesepakatan atas perundingan tersebut maka penyelesaian diselesaikan sesuai lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam UU PPHI dan mogok kerja dapat dilanjutkan, dihentikan untuk sementara atau dihentikan sama sekali sesuai kesepakatan pengusaha dengan buruh sebagaimana hal ini telah diatur dalam Pasal 141 ayat (4) dan ayat (5) UU Ketenagakerjaan.

Bahwa selanjutnya berdasarkan ketentuan Pasal 140 ayat (1) dan ayat (2) UU Ketenagakerjaan mengatur para pekerja/buruh wajib memberitahukan secara tertulis kepada pengusaha dan instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat sehubungan rencana pelaksanaan aksi mogok kerja paling lambat dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja dengan memuat informasi mengenai:

  1. Waktu (hari, tanggal, dan jam) dimulai dan diakhiri mogok kerja;
  2. Tempat mogok kerja;
  3. Alasan dan sebab-sebab mengapa harus melakukan mogok kerja; dan 
  4. tanda tangan ketua dan sekretaris dan/atau masing-masing ketua dan sekretaris serikat pekerja/serikat buruh sebagai penanggung jawab mogok kerja.

Baca juga: Money Laundering in Indonesia: Legal Framework, Enforcement, and Evolving Methods

Sanksi Terhadap Pekerja/Buruh yang Melakukan Mogok Kerja Tidak Sah

Bahwa dalam hal pelaksanaan mogok kerja tidak dilakukan secara tidak sah maka dapat dilihat sebagai perbuatan pekerja/buruh yang tidak melaksanakan pekerjaan sesuai dengan Perjanjian Kerja jo. Perjanjian Kerja Bersama jo. Peraturan Perusahaan. Dalam hal mogok kerja secara tidak sah telah berlangsung berlarut-larut maka hal tersebut dapat dijadikan alasan pemutusan hubungan kerja oleh pengusaha akibat pekerja mangkir.*** 

Baca juga: ESG in Indonesia: Key to Sustainable Corporate Governance and Growth

Daftar Hukum:

  • Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).
  • Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2005 (“UU PPHI”).

Author / Contributor:

Larasati Amalia

SIP Law

Bella Larasati, S.H.
Junior AssociateContact:
Mail       : @siplawfirm.id
Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975