Sejak era reformasi tahun 1998, Indonesia berjuang keras memberantas praktik tindak pidana korupsi. Upaya negara ini dilakukan dengan menerbitkan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Selain itu pemerintah menerbitkan sejumlah peraturan pelaksana, diantaranya adalah Instruksi Presiden No. 5 Tahun 2004 tentang Langkah dan Program Konkrit Percepatan Pemberantasan Korupsi, Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2011 tentang Rencana Aksi Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi, dan Instruksi Presiden No. 2 Tahun 2014 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Korupsi.

Namun, disahkannya Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan  memunculkan polemik terhadap perang melawan korupsi yang semakin kompleks di Indonesia. Hal ini muncul karena kerugian keuangan negara akibat dugaan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh lembaga atau pejabat pemerintah tidak serta merta dianggap perbuatan korupsi.

Landasan hukum ini turut memperlemah upaya pemberantasan korupsi karena terkesan memberikan perlindungan hukum kepada pejabat pemerintah korup atau menyalahgunakan kekuasaannya untuk kepentingan pribadi.

Undang-undang ini mendefinisikan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh lembaga atau pejabat pemerintah dalam mengambil keputusan yang melebihi wewenangnya atau bertindak sewenang-wenang dan melawan hukum untuk kepentingannya sendiri dimana kewenangan itu diperoleh melalui tiga cara: atribusi, delegasi, dan mandat.  Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 ini menyatakan, apabila terjadi kerugian/kerusakan yang diderita negara dipulihkan oleh pejabat pemerintah yang dituduhkan, perbuatan itu tidak dapat dianggap korupsi.

Lembaga/pejabat negara terancam pidana apabila pelakunya tidak memperbaiki atau memulihkan kesalahannya. Namun, apabila terbukti bersalah, Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa masalah itu harus diselesaikan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), bukan pengadilan pidana. Dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 juga diatur sanksi pidana atau sanksi administratif setelah dilakukan penyelidikan oleh Aparatur Pengawasan Intern Pemerintah (APIP).

Di sinilah letak kontradiksi antara sanksi administratif dan sanksi pidana terhadap pemidanaan pejabat pemerintah yang korup.

Sebagian besar ahli hukum dan ahli pidana menganggap ini sebagai salah satu titik lemah pemberantasan korupsi di Indonesia karena mereka percaya bahwa pengesahan Undang-undang No. 30 Tahun 2014 bertentangan dengan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

 

Penanganan Penyalahgunaan Wewenang oleh Hukum Tata Usaha Negara

Penyalahgunaan wewenang merupakan perbuatan yang dilarang. Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 menyatakan bahwa setiap Badan atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan atau melampaui kewenangannya untuk kepentingan pribadi dan/atau kepentingan orang lain. Pasal 17 Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 membagi penyalahgunaan wewenang menjadi tiga bentuk, yaitu larangan melampaui wewenang; larangan mencampuradukkan wewenang; dan larangan bertindak sewenang-wenang.

Oleh sebab itu, setiap aparatur pemerintah selalu diawasi APIP. Apabila APIP menemukan kesalahan administrasi yang mengakibatkan kerugian negara, maka kerugian tersebut harus dilunasi paling lambat 10 hari kerja.

Menurut Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, hanya sanksi administratif yang diterapkan pada tahap ini. Kelemahan dari undang-undang tersebut adalah hanya memperlakukan penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara yang sangat besar sebagai kesalahan administrasi. Padahal, seharusnya penyalahgunaan kekuasaan yang menyebabkan kerugian serius terhadap dana publik harus dihukum dengan sanksi pidana, bukan sekedar sanksi administratif.

Keberadaan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 tidak hanya bertujuan menciptakan pemerintahan yang bersih, tetapi juga memberikan perlindungan hukum bagi setiap warga negara. Apabila masyarakat menemukan terjadinya penyalahgunaan wewenang, undang-undang ini mengizinkan bagi setiap warga negara melaporkan peristiwa tersebut.

Jika dalam jangka waktu tertentu tidak ada jawaban dari Lembaga/instansi terkait, laporan tersebut dapat diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) untuk dilakukan pemeriksaan. Oleh karena itu, undang-undang ini menjadi landasan hukum yang mendasari keputusan/tindakan pejabat pemerintah.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 juga mengatur bahwa sanksi pidana atau sanksi administratif dapat diterapkan setelah dilakukan penyelidikan oleh APIP. Patut diketahui bahwa persoalan tata usaha negara pada mulanya harus diselesaikan melalui PTUN. Namun bila menyangkut perbuatan korupsi, hal itu masuk dalam wilayah hukum pidana sebagaimana diatur dalam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001.

 

Penanganan Penyalahgunaan Wewenang Menurut Hukum Pidana

Berdasarkan hukum pidana Indonesia, korupsi adalah tindak pidana berat yang diancam Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001. Apabila seorang pegawai negeri sipil atau penyelenggara negara menerima hadiah atau uang imbalan atas tindakan yang bertentangan dengan tugas dan kewajiban, dapat diancam pidana korupsi.

Begitu juga dengan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. Perbuatan ini bisa dijerat dengan Undang-undang Korupsi.

Pernyataan tersebut kontradiksi dengan Undang-Undang No. 30 Tahun 2014 yang menyebut tidak ada perbuatan korupsi jika kerugian atau kerusakan yang diderita negara telah dikembalikan. Padahal Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 menyebutkan bahwa pengembalian kerugian keuangan negara atau perekonomian negara tidak menghapus tindak pidana.  Selain Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001, penyalahgunaan wewenang yang menyangkut korupsi juga diatur dalam Pasal 209 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

 

Kontroversi Sanksi Pidana dan Sanksi Administratif

Sanksi pidana dan sanksi administrasi merupakan instrumen dalam penegakan hukum administrasi. Namun dalam praktiknya, kedua prosedur tersebut berbeda satu sama lain.

Sanksi administratif bersifat korektif atau preventif, dan terkadang tindakan disipliner diambil sebagai bagian dari tanggapan terhadap insiden di mana kebijakan, prosedur, atau aturan perilaku telah dilanggar dalam suatu administrasi. Pengenaan sanksi administratif dapat langsung dilakukan oleh instansi dan/atau pejabat pemerintah tanpa harus melalui proses pengadilan terlebih dahulu. Hanya ketika pihak tersebut keberatan dengan sanksi administratif yang diberikan, kasus tersebut dapat dibawa ke pengadilan.

Di sisi lain penegakan sanksi pidana harus terlebih dahulu dilakukan melalui proses peradilan yang mengarah pada keputusan pengadilan. Sanksi pidana adalah hukuman yang digunakan untuk memberikan dorongan agar warga negara taat terhadap hukum. Sanksi pidana dapat berupa hukuman yang berat, seperti hukuman badan atau hukuman mati, kurungan, atau denda yang berat.

Penyalahgunaan wewenang yang berujung pada penyalahgunaan dana masyarakat bia dikategorikan sebagai tindak pidana korupsi. Sedangkan sanksi administratif yang dikenakan terhadap penyalahgunaan wewenang diatur dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, sebagaimana telah disebutkan sebelumnya.

Undang-Undang No. 30 Tahun 2014, Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 dan  Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 serta Kitab Undang-Undang Hukum Pidana terlihat kontradiktif dan inkoheren dalam penjatuhan sanksi terkait penyalahgunaan wewenang yang mengakibatkan kerugian keuangan negara. Seolah-olah ada dualisme penerapan sanksi, yaitu antara sanksi pidana dan sanksi administrasi.

Pada tahun 2015, Hakim Agung pada Mahkamah Agung RI berusaha menyelesaikan masalah tersebut ketika memutuskan bahwa pejabat pemerintah yang melakukan korupsi yang di dalamnya terdapat unsur penyalahgunaan wewenang dapat dituntut di Pengadilan Tipikor. Namun, hal ini justru memeperkuat adanya dikotomi pengadilan yang berwenang atas kasus penyalahgunaan wewenang yang melibatkan tindak pidana korupsi karena ada dua pengadilan yang memiliki kekuasaan untuk memutuskan kasus seperti itu yaitu PTUN dan Pengadilan Negeri Pidana.

 

 

Author / Contributor:

GardaGarda Garindra, S.H.

Associate

Contact:

Mail       : garda@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975