Tenaga kerja di Indonesia diatur oleh Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pengertian dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 adalah: “Ketenagakerjaan adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu sebelum, selama, dan sesudah masa kerja”.

Tujuan dibentuknya Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 adalah untuk memberdayakan pekerja secara optimal dan manusiawi, membuka lapangan kerja serta meningkatkan kesejahteraan rakyat, khususnya kaum pekerja.

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian antara pengusaha dengan pekerja. Hubungan kerja terbagi dua, yaitu hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) dan hubungan kerja berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (PKWTT) sebagaimana diatur Pasal 50-65 UU No. 13 Tahun 2003.

Dalam menjalankan usahanya setiap pelaku usaha mempunyai kewajiban memenuhi hak para pekerja.

Hak dasar yang harus dipenuhi adalah hak memperoleh upah yang layak; hak untuk mendapatkan kesempatan dan perlakuan yang sama dari perusahaan tanpa diskriminasi; hak meningkatkan dan mengembangkan kompetensi kerja; hak melaksanakan kerja sesuai waktu yang ditentukan; hak mendapatkan perlindungan atas kesehatan dan keselamatan kerja; hak mendapatkan kesejahteraan melalui jaminan sosial tenaga kerja; hak mendapatkan cuti; hak cuti melahirkan dan cuti haid (menstruasi) khusus karyawan perempuan; hak melaksanakan ibadah dan hak lainnya seperti sudah diatur dalam Undang-Undang No. 13 Tahun 2003.

Kesetaraan Gender Dalam Ketenagakerjaan

Para pekerja perempuan harus mendapatkan perlindungan khusus terkait kodrat yang melekat pada dirinya, yaitu ketika masa haid, kehamilan, melahirkan, hingga menyusui. Bahkan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (UU HAM) secara khusus memberikan perlindungan kepada kalangan pekerja perempuan yang melahirkan hingga masa menyusui seperti tertuang dalam Pasal 10 ayat 1 yang berbunyi;

“Setiap orang berhak membentuk suatu keluarga dan melanjutkan keturunan melalui perkawinan yang sah”.

Atas dasar inilah negara hadir untuk menghormati dan melindungi hak-hak pekerja perempuan.  Untuk itu, pelaku usaha wajib memberikan perlindungan hukum terhadap pekerja perempuan terkait hak-hak reproduktif, yaitu hak -hak dan kebebasan terkait dengan aspek reproduksi dan kesehatan reproduksi.

Walaupun  sejumlah instrumen hukum sudah mengatur tentang hak-hak para pekerja perempuan, namun kerap dijumpai terjadinya pelanggaran yang dilakukan oleh para pelaku usaha. Salah satu bentuk pelanggaran yang sering terjadi adalah pelanggaran terhadap Pasal 82 ayat (1) Undang-undang No. 13 Tahun 2003  yang mengatur tentang hak cuti melahirkan bagi pekerja perempuan.

Munculnya diskriminasi terhadap pekerja perempuan juga muncul terkait pemberian tunjangan atau upah/gaji. Umumnya pelaku usaha hanya memberikan tambahan tunjangan kepada pekerja laki-laki berupa tunjangan kesejahteraan untuk anak dan istri. Sebaliknya, pekerja perempuan tidak mendapatkan tunjangan untuk anak dan suami.

Ironisnya, perlakuan ini juga berimbas terhadap pembatasan  kedudukan dan jabatan yang hanya diberikan kepada jenis kelamin tertentu.

Sebagai contoh, masih ada perusahaan yang mensyaratkan jenis kelamin tertentu saat membuka iklan lowongan pekerjaan. Padahal jika ditinjau lebih jauh, spesifikasi yang terdapat pada lowongan pekerjaan tersebut tidak memiliki karakter khas dan hanya boleh dikerjakan oleh satu jenis kelamin.

Jabatan-jabatan strategis kebanyakan diisi oleh pekerja laki-laki. Pekerja perempuan umumnya selalu diposisikan pada jabatan yang tidak strategis.

Selain hak anti-diskriminasi, para pekerja perempuan juga berhak mendapatkan hak -hak maternal. Hak-hak maternal pada dasarnya sama dengan hak-hak kesehatan reproduksi. Aspek perlindungan terhadap hak-hak maternal ini menjadi ketentuan yang wajib diharmonisasikan ke dalam peraturan perundang-undangan bidang ketenagakerjaan di Indonesia.

Hak maternal meliputi hak mendapatkan perlindungan untuk tetap bisa melanjutkan keturunan dalam bentuk tidak dipecat atas dasar kehamilan atau status perkawinan, mendapatkan cuti hamil dengan tetap mendapatkan upah/gaji, pengadaan pelayanan sosial dalam bentuk tempat penitipan anak, dan mendapatkan pekerjaan yang tidak membahayakan kehamilan.

Berdasarkan argumen di atas sudah jelas bahwa ada sejumlah instrumen hukum yang melindungi para pekerja perempuan. salah satunya adalah Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 . Undang-undang ini bukan saja melindungi dan menjamin hak-hak pekerja kaum perempuan, tapi juga mewajibkan peraturan itu dijalankan oleh pelaku usaha.

Apabila terjadi penyimpangan atau terabaikannya hak-hak pekerja sehingga berujung pada perselisihan antara pekerja dan pelaku usaha, maka sesuai Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Perselisihan Hubungan Industrial, pihak yang merasa keberatan dapat mengajukan upaya penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial.

Ada sejumlah faktor pemicu terjadinya perselisihan antara pekerja dan pengusaha, misalnya adalah perselisihan soal hak yang diterima pekerja, perselisihan kepentingan, pemutusan hubungan kerja (PHK), dan pertentangan antara serikat pekerja dengan pihak manajemen perusahaan.

Setiap persoalan yang timbul dapat diselesaikan dengan menempuh sejumlah upaya baik melalui perundingan bipartite, mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.  Jika upaya itu menemukan jalan buntu, pihak-pihak yang merasa dirugikan dapat melanjutkan upaya penyelesaian di Pengadilan Hubungan Industrial.

Di sini jelas bahwa pengadilan adalah jalan terakhir jika upaya sebelumnya tidak membuahkan hasil atau tidak tercapainya perdamaian antara pihak yang berselisih.

Perempuan adalah ujung tombok sebuah negara. Keberlanjutan sebuah bangsa sangat ditentukan oleh perempuan yang melahirkan generasi tangguh.

Oleh sebab itu negara harus memberikan prioritas bagi pekerja  perempuan dalam menjalankan aktivitas dengan memberikan perlindungan pada aspek ketenagakerjaan. Kesetaraan gender dapat dimaknai sebagai upaya membangun relasi dan kesempatan  yang sama antara laki-laki dan perempuan sesuai dengan kodratnya. Dengan demikian perempuan secara penuh mempuyai hak untuk mewujudkan secara penuh hak-haknya serta potensi dalam dirinya bagi pembangunan.

 

 

Author / Contributor:

 Erwin, S.H.

Associate

Contact:

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975