Dalam dunia usaha dan pembiayaan korporasi, utang-piutang yang tidak dapat dibayarkan tepat waktu sering kali menghadirkan 2 (dua) pilihan utama dari segi hukum, yakni kepailitan (bankruptcy) atau penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU). Meski keduanya diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”), sifat, tujuan, proses, dan akibat hukumnya berbeda.
Pemahaman yang tepat mengenai perbedaan antara kepailitan dan PKPU sangat penting, terutama bagi pelaku usaha, praktisi hukum, dan masyarakat umum yang ingin memahami hak dan kewajiban dalam menghadapi sengketa utang piutang. SIP Law Firm akan mengulas lebih dalam perbedaan mendasar antara keduanya, mulai dari sifat hukum, tahapan proses, hingga akibat hukum terhadap para pihak yang terlibat.
Tujuan dan Sifat Hukum Kepailitan vs PKPU
- Kepailitan (Likuidasi)
Kepailitan adalah mekanisme hukum yang diciptakan untuk melaksanakan likuidasi terhadap debitur yang sudah tidak mampu memenuhi kewajiban utangnya. Dalam Pasal 1 angka 1 UU K-PKPU, definisi kepailitan adalah sebagai berikut:
“Kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan Debitor Pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh Kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini.”
Dalam kepailitan, aset debitur menjadi “harta pailit” dan akan dikelola atau diurus oleh kurator untuk kemudian dibagikan kepada para kreditur sesuai peringkat dan hak masing-masing. Menurut UU K-PKPU, kepailitan merupakan upaya pemberesan harta debitur yang dinyatakan pailit untuk memenuhi utang-utang setelah diversifikasi. Hak-hak kreditur dipenuhi dari hasil pelunasan aset-aset debitur yang sudah menjadi harta pailit.
Sifat hukumnya bersifat likuidatif, yang artinya, utang piutang diselesaikan dengan menjual atau mengkonversi aset dan membayarkan kreditur sesuai urutan prioritas, yakni kreditur separatis, preferen, dan konkuren. Debitur kehilangan kendali penuh atas asetnya, dan fungsi operasional bisnisnya sering kali terhenti atau dibubarkan.
- Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU/Restrukturisasi)
Sebaliknya, PKPU adalah mekanisme restrukturisasi atau perpanjangan waktu bagi debitur untuk mengajukan rencana perdamaian (restructuring) kepada kreditur. Tujuan PKPU bukan untuk melikuidasi instan, melainkan memberi kesempatan agar debitur dapat menyusun dan menyepakati rencana pembayaran sebagian atau seluruhnya utang, biasanya tanpa menghentikan usaha secara langsung atau tanpa pembubaran otomatis.
Dengan kata lain, PKPU adalah upaya hukum restrukturisasi utang di bawah pengawasan Pengadilan Niaga, agar debitur terhindar dari pernyataan pailit apabila rencana penyelesaian disetujui oleh kreditur. PKPU memberi ruang negosiasi ulang, pengaturan ulang waktu pembayaran, atau pun kemungkinan pengurangan bunga atau penjadwalan kembali cicilan yang bergantung pada persetujuan kreditur.
Diatur dalam Pasal 222 ayat (2) UU K-PKPU bahwa:
“Debitor yang tidak dapat atau memperkirakan tidak akan dapat melanjutkan membayar utang-utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon penundaan kewajiban pembayaran utang, dengan maksud untuk mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditor.”
Sementara itu, dalam Pasal 222 ayat (3) UU K-PKPU dijelaskan:
“Kreditor yang memperkirakan bahwa Debitor tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, dapat memohon agar kepada Debitor diberi penundaan kewajiban pembayaran utang, untuk memungkinkan Debitor mengajukan rencana perdamaian yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utang kepada Kreditornya.”
Dalam laman HukumOnline disebutkan bahwa tujuan PKPU adalah menjaga agar debitur dapat terhindar dari pailit, sedangkan kepailitan adalah melakukan pemberesan harta debitur pailit. Dikarenakan PKPU diarahkan untuk restrukturisasi, maka sifat hukumnya lebih kepada “korektif atau remedial” daripada “finalisasi likuidasi”. Dengan ini, debitur tetap dapat mengelola aset atau usaha selama rencana perdamaian disepakati. Untuk lebih mudah memahami, berikut adalah tabel perbandingannya:
| Aspek | Kepailitan | PKPU |
| Tujuan utama | Pemberesan aset (likuidasi) | Restrukturisasi atau upaya penyelamatan usaha |
| Kendali atas aset | Dikelola oleh kurator dalam pengawasan hakim pengawas | Debitur mungkin tetap mengelola sementara melalui pengurus, di bawah pengawasan |
| Efek terhadap kelangsungan usaha | Seringkali berujung pada pemberhentian atau pembubaran usaha | Terdapat peluang kelangsungan usaha jika rencana perdamaian disetujui |
| Status kreditur | Pembagian utang via likuidasi | Kreditur akan ikut dalam proses verifikasi dan persetujuan rencana perdamaian |
Lalu, Bagaimana dengan Prosedur dan Tahapan Hukum Kepailitan dan PKPU?
Prosedur dan tahapan hukum antara kepailitan dan PKPU merupakan dua mekanisme yang berbeda, namun keduanya diatur dalam UU yang sama. Secara umum, kedua proses ini bertujuan menyelesaikan permasalahan utang antara debitur dan kreditur, tetapi dengan pendekatan yang berbeda. Kepailitan berfokus pada likuidasi harta debitur, sementara PKPU diarahkan pada restrukturisasi dan perdamaian antara kedua belah pihak.
Dalam praktiknya, perbedaan prosedural antara kepailitan dan PKPU dapat dilihat dari pihak yang berhak mengajukan permohonan, tujuan utama penyelesaiannya, serta pihak yang ditunjuk oleh pengadilan untuk mengelola proses tersebut. Dalam kepailitan, pengadilan menunjuk kurator untuk mengurus dan membereskan harta debitur, sementara dalam PKPU, ditunjuk pengurus yang bertugas memfasilitasi perdamaian antara debitur dan kreditur. Selain itu, perbedaan mencolok lainnya terdapat pada jangka waktu dan hasil akhir proses.
Berikut ini beberapa perbedaan mendasar antara kepailitan dan PKPU yang dapat dirangkum, yakni sebagai berikut:
| Perbedaan | Kepailitan | PKPU |
| Upaya hukum | Terhadap putusan atas permohonan pernyataan pailit, dapat diajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Selain itu, terhadap putusan permohonan pernyataan pailit yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, dapat diajukan peninjauan kembali ke Mahkamah Agung. | Terhadap putusan PKPU tidak dapat diajukan upaya hukum apapun. |
| Pihak yang melakukan pengurusan harta debitur | Kurator, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 5, Pasal 15 ayat (1), dan Pasal 16 UU K-PKPU. | Pengurus, sebagaimana diatur dalam Pasal 225 ayat (2) dan ayat (3) UU K-PKPU. |
| Kewenangan debitur | Sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan, debitur kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harga pailit, sebagaimana dalam Pasal 24 ayat (1) UU K-PKPU. | Dalam PKPU, debitur masih dapat melakukan pengurusan terhadap hartanya selama mendapatkan persetujuan dari pengurus, sebagaimana dalam Pasal 240 UU K-PKPU. |
| Jangka waktu penyelesaian | Dalam kepailitan, setelah diputuskannya pailit oleh Pengadilan Niaga, tidak ada batas waktu tertentu untuk penyelesaian seluruh proses kepailitan. | Dalam PKPU, PKPU dan perpanjangannya tidak boleh melebihi 270 (dua ratus tujuh puluh) hari setelah putusan PKPU sementara diucapkan (Pasal 228 ayat (6) UU K-PKPU) |
| Upaya perdamaian | Dalam kepailitan, terbatas pada perdamaian yang berkenaan dengan pemberesan harta pailit (boedel pailit). | Perdamaian dalam rangka PKPU sangat luas cakupannya, menyangkut aspek-aspek restrukturisasi. |
| Pembayaran utang | Pembayaran utang debitur hanya sebatas harta pailit. | Pembayaran utang debitur bisa dibayarkan penuh tergantung kepada isi perjanjian perdamaian yang nantinya disahkan oleh pengadilan yang sudah disepakati oleh para pihak. |
Baca juga: Menelusuri Hierarki Kreditur dalam Kepailitan, Mekanisme Pembagian Hasil Lelang Aset Debitur
Akibat Hukum terhadap Debitur dan Kreditur
Setelah memahami tujuan, sifat, dan prosedur kepailitan vs PKPU, berikut beberapa dampak hukum penting terhadap debitur dan kreditur:
- Bagi Debitur
- Kehilangan kendali penuh atas aset atau pengelolaan bisnis
Dalam kepailitan, saat putusan pailit berkekuatan tetap, debitur kehilangan hak untuk mengelola harta pailit, sementara kurator mengambil alih pengelolaan aset dan melakukan likuidasi.
- Risiko pembubaran atau likuidasi usaha
Kepailitan bisa mengarah ke pembubaran badan usaha (tergantung struktur korporasi), jika aset tidak mencukupi untuk melanjutkan operasional, atau jika kreditur memaksakan penyelesaian utang melalui likuidasi.
- Kemungkinan “selamat” melalui PKPU
Dengan PKPU yang disetujui oleh kreditur, debitur mempunyai kesempatan untuk restrukturisasi utang dengan jadwal pembayaran baru, kemungkinan pengurangan kewajiban bunga atau cicilan, dan mempertahankan operasi bisnis meski dengan pengawasan pengadilan. Artinya, debitur memiliki prospek lebih baik untuk kelangsungan bisnis dibandingkan langsung dinyatakan pailit.
- Kewajiban hukum tambahan
Misalnya pengajuan PKPU biasanya harus disertai daftar piutang-utangnya, advokat, dan memenuhi persyaratan formal. Debitur juga harus mematuhi persyaratan sidang perdamaian, pemanggilan kreditur, dan menjalankan rencana perdamaian jika disetujui. Jika gagal, risiko kembali ke proses pailit tetap ada.
- Biaya hukum dan pengawasan
Debitur dalam PKPU atau kepailitan harus menanggung biaya pengadilan, honor pengurus/pengawas, mungkin biaya administrasi tambahan, pengawasan dari hakim pengawas dan persyaratan pelaporan rutin ke Pengadilan Niaga.
- Bagi Kreditur
- Verifikasi piutang dan partisipasi dalam rencana perdamaian
Dalam PKPU, kreditur konkuren dilibatkan dalam sidang permusyawaratan (rapat kreditur) untuk menilai rencana perdamaian. Jika mayoritas kreditur menyetujui suara dan nilai tagihan, rencana dapat diterima. Jika tidak, kreditur dapat menolak dan memaksa kemungkinan kepailitan.
- Prioritas tagihan
Dalam kepailitan, kreditur separatis (misalnya pemegang jaminan hak tanggungan tertentu) mendapatkan prioritas lebih tinggi dibanding kreditur konkuren. Kreditur konkuren menerima pembagian dari sisa aset setelah kreditur preferen/separatis dipenuhi.
- Risiko tertundanya pembayaran
Dalam PKPU, meskipun persetujuan rencana perdamaian terjadi, pembayaran ulang utang bisa dilakukan dalam terminasi yang baru, mungkin cicilan atau diskon, sehingga pembayaran kepada kreditur mungkin tertunda atau sebagian (tergantung rencana). Ini berarti arus kas kreditur bisa lebih lambat dibanding bila aset dijual langsung dalam likuidasi (walaupun likuidasi mungkin menghasilkan nilai lebih rendah atau eksekusi yang lebih cepat).
- Kepastian hukum dan kemungkinan risiko kegagalan rencana
Kreditur yang menyetujui rencana perdamaian dalam PKPU mengambil risiko bahwa debitur mampu memenuhi rencana sesuai kesepakatan. Jika gagal, kreditur harus menempuh langkah lanjutan (misalnya meminta pernyataan pailit setelah PKPU tetap gagal).
- Preferensi terhadap pekerja/upah buruh
Dalam kepailitan, undang-undang dan putusan Mahkamah Konstitusi telah menegaskan bahwa upah pekerja atau buruh merupakan utang yang didahulukan sebelum kreditur lainnya (kecuali ada kreditur separatis). Ini berarti kreditur non-buruh harus memperhatikan peringkat utang tersebut dalam proses likuidasi.
Memahami perbedaan antara Kepailitan dan PKPU sangat penting bagi pelaku usaha agar dapat mengambil langkah hukum yang tepat ketika menghadapi permasalahan keuangan. Kepailitan bersifat final dengan konsekuensi pembubaran perusahaan, sedangkan PKPU memberikan ruang bagi debitor untuk bernegosiasi dan melakukan restrukturisasi utang guna mempertahankan kelangsungan usaha. Dengan memahami perbedaan mendasar ini, pelaku usaha dapat menyusun strategi penyelamatan bisnis yang lebih bijak, menjaga kepercayaan kreditur, serta meminimalkan risiko hukum dan kerugian finansial di masa depan.***
Baca juga: Mitigasi Risiko Kepailitan pada Proyek Clean Energy
Daftar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU K-PKPU”).
Referensi:
- Perbedaan Kepailitan dan PKPU. HukumOnline. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 09.40 WIB).
- Dewi, P. E. T. (2004). Implementasi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) dalam Kepailitan Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 280–291. (Diakses pada 3 November 2025 pukul 10.05 WIB).
