Direktur Advokasi Kebijakan, Hukum dan HAM PB Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Muhammad Arman menyatakan bahwa walaupun konstitusi dan sejumlah undang-undang (UU) telah menjamin hak masyarakat hukum adat, tapi praktiknya ketentuan tersebut belum dipenuhi. Masih banyak masyarakat hukum adat yang kehilangan wilayahnya karena masuk dalam wilayah konsensi seperti perkebunan dan pertambangan.
Atas dasar itu, Arman menyebutkan bahwa dibutuhkan satu UU khusus yang mengurusi persoalan masyarakat hukum adat, yaitu melalui RUU Masyarakat Hukum Adat.
“Selama ini belum ada satu payung hukum yang komprehensif untuk menjamin agar hak-hak masyarakat hukum adat terpenuhi. Kami menuntut RUU Masyarakat Hukum Adat segera disahkan sebelum masa pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla berakhir,” katanya seperti yang dikutip dalam Hukumonline.com (10/2).
Sebelumnya, Arman menjelaskan bahwa RUU Masyarakat Hukum Adat pernah dibahas DPR dalam masa periode kedua pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Walau penggodokan RUU sudah dilakukan sampai tingkat panitia khusus (pansus) tapi sampai akhir pemerintahan SBY pembahasan itu tak kunjung tuntas. Pada masa pemerintahan Jokowi-JK, DPR telah menuntaskan draft RUU Masyarakat Hukum Adat.
Presiden Jokowi telah menerbitkan Surat Presiden dan memerintahkan sejumlah Kementerian untuk membuat daftar inventarisasi masalah (DIM) RUU. Namun hingga kini Arman menyebutkan bahwa dia tidak tahu sampai di mana proses pembentukan DIM itu.
Hingga akhirnya aktivis yang tergabung dalam Koalisi Kawal RUU Masyarakat Adat mengkritik lambatnya pemerintah dalam menyelesaikan rancangan undang-undang masyarakat adat. Padahal, RUU tersebut sangat dibutuhkan oleh masyarakat adat.
“Keberadaan RUU Masyarakat Adat dipandang tidak penting,” ujar Ketua Bidang Manajemen Pengetahuan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Siti Rakhma Mary seperti yang dikutip dalam Kompas.com (10/2/2019).
Menurut Rakhma, payung hukum untuk masyarakat adat penting sebagai pemenuhan hak-hak masyarakat adat oleh pemerintah. Saat ini banyak perampasan lahan ruang di ruang hidup masyarakat adat oleh pemerintah dan perusahaan. Saat ini, ada 300 lebih konflik agraria yang melibatkan lahan jutaan hektare. Lahan yang seharusnya jadi ruang hidup masyarakat dirampas untuk perkebunan, pertambangan dan infrastuktur. Selain itu, masih terjadi kriminaliasi terhadap masyarakat adat. Menurut Rakhma, ada lebih dari 200 masyarakat adat yang masih ada di penjara.
Sumber: