Dalam suatu perjanjian bisnis dan perdagangan internasional, para pihak dituntut untuk menyusun draft perjanjian secara tertulis. Pada poin/klausul perjanjian, para pihak sebaiknya secara jelas menyatakan bahwa penyelesaian sengketa yang timbul akibat terjadinya multi tafsir perjanjian tersebut diselesaikan melalui litigasi (pengadilan) atau melalui alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan, seperti mediasi, konsiliasi, dan arbitrase.

Apabila para pihak lebih memilih penyelesaian sengketa melalui non-litigasi atau arbitrase, kesepakatan ini akan menjadi dasar bagi Arbiter/Majelis Arbiter untuk memeriksa dan mengadili sengketa yang timbul antara para pihak. Namun sebelum perkara itu diperiksa, lembaga arbitrase dapat menentukan sendiri, apakah memiliki kompetensi untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut, termasuk validitas perjanjian arbitrase.

Dalam doktrin hukum hal tersebut di atas dikenal dengan prinsip Kompetenz-Kompetenz. Ini adalah suatu doktrin hukum yang menyatakan bahwa suatu lembaga hukum memiliki wewenang atau yurisdiksi untuk menentukan cakupan dari kewenangan atau yurisdiksi lembaga tersebut sehubungan dengan perkara yang dihadapinya.

Di Indonesia, penyelesaian sengketa melalui arbitrase telah diadopsi oleh Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. Pasal 4 ayat (1) mengatur adanya kesepakatan para pihak untuk menyelesaikan sengketa melalui lembaga arbitrase. Arbiter yang diberikan kewenangan oleh para pihak juga diberikan kewenangan untuk menetapkan hak dan kewajiban yang belum tercantum dalam perjanjian kesepakatan yang disusun oleh para pihak.

Lantas, apa saja yang harus dicantumkan di dalam suatu perjanjian arbitrase agar Arbiter/Majelis Arbiter memiliki kewenangan untuk memeriksa sengketa para pihak?

Penulis akan memberikan contoh perjanjian arbitrase yang dibuat oleh BANI Arbitration Center (Badan Arbitrase Nasional Indonesia) dan Singapore Arbitration International Centre (SIAC);

BANI:
Apabila para pihak sepakat membawa sengketa yang timbul dari perjanjian atau transaksi bisnis ke hadapan arbitrase dengan menggunakan peraturan dan prosedur yang sudah ditetapkan oleh BANI, maka sengketa tersebut diselesaikan dengan memperhatikan ketentuan-ketentuan khusus yang disepakati secara tertulis oleh para pihak, sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang yang bersifat memaksa dan kebijakan BANI.

SIAC:
Any dispute arising out of or in connection with this contract, including any question regarding its existence, validity or termination, shall be referred to and finally resolved by arbitration administered by the Singapore International Arbitration Centre (“SIAC”) in accordance with the Arbitration Rules of the Singapore International Arbitration Centre (“SIAC Rules”) for the time being in force, which rules are deemed to be incorporated by reference in this clause.
The seat of the arbitration shall be [xxxxx].
The tribunal shall consist of [xxxx] arbitrator(s).
The language of the arbitration shall be [xxxx].

Di antara perjanjian arbitrase yang digunakan dalam BANI dan SIAC, terlihat persamaan yakni;
– Berbentuk tertulis;
– Adanya kesepakatan untuk merujuk pada arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa; dan
– Adanya peraturan dan prosedur arbitrase yang digunakan

Pencantuman tersebut sangatlah penting agar terlihat para pihak telah berniat dan sepakat untuk menggunakan arbitrase sebagai forum penyelesaian sengketa dan tidak menggunakan metode penyelesaian sengketa lainnya seperti melalui pengadilan. Upaya ini dilakukan agar terhindar adanya dual kompetensi antara pengadilan dan arbitrase.

Undang-Undang No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa juga mengatur dalam hal para pihak sudah sepakat untuk menyelesaikan sengketa melalui arbitrase, maka Pengadilan Negeri tidak lagi berwenang untuk mengadili sengketa tersebut.

Penyusunan klausul penyelesaian sengketa menggunakan forum arbitrase dapat menjadi dasar bagi Arbiter/Majelis Arbiter untuk memeriksa dan mengadili sengketa. Agar penyelesaian sengketa bisa berjalan sesuai harapan, para pihak dalam perjanjian hendaknya melibatkan konsultan hukum ketika menyusun surat perjanjian atau kontrak agar tidak menimbulkan multitafsir dalam perjanjian/kontrak tersebut.