Secara hukum, Indonesia hanya mengenal istilah rumah susun. Apartemen merupakan istilah yang diserap dari bahasa asing yaitu Apartment. Jika dilihat dari sudut pandang hukum, apartemen atau rumah susun adalah hal yang sama dan tidak ada perbedaannya.

Definisi Rumah Susun diatur dalam ketentuan Pasal 1 angka 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2011 tentang Rumah Susun.  Aturan ini menyatakan bahwa rumah susun adalah bangunan gedung bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang terbagi dalam bagian-bagian yang distrukturkan secara fungsional, baik dalam arah horizontal maupun vertikal dan merupakan satuan-satuan yang masing-masing dapat dimiliki dan digunakan secara terpisah, terutama untuk tempat hunian yang dilengkapi dengan bagian bersama, benda bersama, dan tanah bersama.

Untuk dapat dikatakan sebagai pemilik, seseorang harus bisa membuktikan bahwa dirinya adalah orang yang secara hukum memiliki unit apartemen atau satuan rumah susun (sarusun) tersebut. Untuk itu setiap calon pembeli harus teliti terhadap bukti kepemilikannya.

Bukti Kepemilikan atas apartemen atau rumah susun ini diatur dalam Pasal 47 dan 48 jo. Pasal 1 angka 11 dan 12 Undang-undang No. 20 Tahun 2011.   Berdasarkan pasal-pasal tersebut, bukti kepemilikan yang sah dan diakui oleh undang-undang adalah Sertifikat Hak Milik (SHM) dan/atau Sertifikat Kepemilikan Bangunan Gedung (SKBG).

Pasal 47 Ayat 1 Undang-undang No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan, atau hak pakai di atas tanah negara, hak guna bangunan atau hak pakai diatas tanah hak pengelolaan diterbitkan SHM sarusun.

Sedangkan Pasal 48 Undang-undang No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

Sebagai tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa, diterbitkan SKBG sarusun. 

Pasal 1 angka 11 Undang-undang No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

Sertifikat hak milik sarusun yang selanjutnya disebut SHM sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas tanah hak milik, hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah negara, serta hak guna bangunan atau hak pakai di atas tanah hak pengelolaan.

Pasal 1 angka 12  Undang-undang No. 20 Tahun 2011 menyatakan bahwa:

Sertifikat kepemilikan bangunan gedung sarusun yang selanjutnya disebut SKBG sarusun adalah tanda bukti kepemilikan atas sarusun di atas barang milik negara/daerah berupa tanah atau tanah wakaf dengan cara sewa.

Berdasarkan ketentuan pasal-pasal tersebut di atas, seseorang dapat dikatakan sebagai pemilik unit apartemen atau satuan rumah susun, apabila orang tersebut telah mengantongi SHM atau SKBG.

 

Peralihan Hak Atas Tanah

Namun Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Republik Indonesia No. 4 Tahun 2016 menyatakan bahwa peralihan hak atas tanah berdasarkan Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) secara hukum terjadi jika pembeli telah membayar lunas harga tanah serta telah menguasai objek jual beli dan dilakukan dengan itikad baik.

Dengan adanya ketentuan SEMA tersebut, peralihan kepemilikan dari pelaku pembangunan (developer) kepada pembeli terjadi apabila PPJB telah ditandatangani dan pembeli unit apartemen atau satuan rumah susun telah membayar lunas objek bangunan tersebut.

Pada dasarnya, penggunaan PPJB sebagai bukti kepemilikan atas unit apartemen atau satuan rumah susun merupakan hal yang lazim. Terlebih, penerbitan SHM dan/atau SKBG sarusun umumnya memakan waktu yang cukup lama.

 

Sengketa Kepemiikan

Apabila terjadi sengketa kepemilikan yang melibatkan pemilik apartemen atau rumah susun, PPJB dapat dijadikan sebagai bukti kepemilikan. Akan tetapi, hal ini berpotensi menjadi masalah jika pelaku pembangunan aparatemen atau rumah susun  berada dalam keadaan pailit dan insolvensi.

Ketika suatu perusahaan dinyatakan pailit, seluruh kekayaan debitor akan masuk ke dalam budel pailit.berdasarkan ketentuan Pasal 21 Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran.

Ada dua masalah utama yang akan berdampak terhadap pemilik unit apartemen atau satuan rumah susun yang belum memiliki SHM atau SKBG. Maalah pertama  adalah unit apartemen atau satuan rumah susun yang dibuat oleh pelaku pembangunan akan dimasukan ke dalam budel pailit. Masalah ini terjadi karena pihak kurator kemungkinan besar akan memasukan ke dalam budel pailit seluruh unit apartemen atau satuan rumah susun yang belum memiliki SHM yang dibuat oleh pelaku pembangunan.

Meskipun pemilik dari unit apartemen atau satuan rumah susun itu sudah menandatangani PPJB dan telah membayar lunas serta menguasai unit apartemen atau satuan rumah susun tersebut sebagaimana diatur SEMA, namun berdasarkan Undang-undang No. 20 Tahun 2011, kepemilikan suatu unit apartemen/rumah susun baru bisa dibuktikan dengan adanya SHM dan/atau SKBG.

Masalah kedua terkait dengan penerbitan SHM dan/atau SKBG. Untuk mendapatkan bukti kepemilikan, pemilik harus melakukan penandatanganan AJB dengan pihak developer sebagai pelaku pembangunan. Namun dengan pailitnya pelaku pembangunan, secara hukum pelaku pembangunan tidak dapat melakukan perbuatan hukum apapun yang mengatasnamakan pelaku pembangunan, termasuk penandatanganan AJB.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa berdasarkan SEMA seseorang dapat dianggap sebagai pemilik unit apartemen atau satuan rumah susun apabila orang tersebut telah menandatangani PPJB dan membayar lunas harga unit bangunan yang dijual oleh developer. Namun bukti kepemilikan suatu unit apartemen yang paling sempurna adalah SHM dan/atau SKBG.

 

Author / Contributor:

Anthony Muslim, S.H.

Senior Associate

Contact:

Mail       : anthony@siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975