Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengatur Permohonan Peninjauan Kembali (PK) kepada Mahkamah Agung hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya terhadap putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Peninjauan Kembali merupakan suatu upaya hukum luar biasa atau istimewa untuk membuka kembali dan/atau memeriksa suatu putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap.

Di sisi lain, Pasal 30 C Huruf H Undang-Undang RI No. 11 Tahun 2021 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan RI (UU Kejaksaan) memberikan kewenangan kepada Kejaksaan dapat mengajukan Peninjauan Kembali. Pasal ini menegaskan, Jaksa Penuntut Umum (JPU) dapat mengajukan permohonan Peninjauan Kembali, apabila perbuatan pada dakwaan dinyatakan terbukti, tapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. 

Adanya pasal di atas acap kali berbenturan dengan aturan Pasal 263 ayat (1) KUHAP, sehingga muncul ketidakpastian hukum khususnya terhadap perkara pidana yang telah berkekuatan hukum tetap. Padahal makna Peninjauan Kembali dalam Hukum Acara Pidana, yaitu sebagai upaya hukum luar biasa yang dapat dilakukan oleh terpidana atau ahli warisnya sebagai bentuk perlindungan hak asasi manusia (HAM) serta untuk menguji putusan pengadilan terkait adanya kekeliruan hakim dalam memutus suatu perkara. Sebuah adagium dalam ilmu hukum mengatakan, “lebih baik membebaskan seribu orang yang bersalah daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah”. 

Dalam ilmu hukum kerap terjadi benturan antara satu ketentuan peraturan perundang-undangan dengan aturan lainnya. Oleh karenanya dalam ilmu hukum dikenal asas Lex Specialis Derogat Legi Generali atau hukum yang khusus mengesampingkan hukum yang bersifat umum. Dalam hal terdapat dua atau lebih peraturan hukum yang bersifat khusus, dikenal asas Lex Specialis Derogat Legi Generali yakni asas Lex Specialis Systematisch.

Menurut Prof. Indriyanto Seno Adji, S.H., M.H., untuk menentukan undang-undang khusus mana yang diberlakukan, maka berlaku asas Lex Specialis Systematisch atau kekhususan yang sistematis. Apabila terjadi benturan antara satu peraturan perundang-undangan dengan lainnya,  peran Mahkamah Konstitusi (MK) dan Mahkamah Agung (MA) menjadi sangat penting. Kedua institusi hukum ini dapat melakukan uji materiil atas pasal atau peraturan perundangan-undangan agar mendapatkan kepastian hukum. MK memiliki hak untuk menguji materi undang-undang yang dianggap bertentangan dengan norma dalam Undang-Undang Dasar RI 1945. Sedangkan MA memiliki hak uji materiil (HUM) untuk menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Putusan MK terkait uji materiil UU Kejaksaan sebagaimana yang tertuang pada putusannya No. 20/PUU-XXI/2023. Pada putusannya MK menegaskan bahwa norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah norma konstitusional sepanjang tidak dimaknai lain. Secara tegas MK menyatakan bahwa Peninjauan Kembali hanya dapat diajukan oleh terpidana atau ahli warisnya dan tidak bisa diajukan terhadap putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. 

MK juga menegaskan, apabila ada pemaknaan yang berbeda terhadap norma Pasal 263 ayat (1) KUHAP a quo, justru akan menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan yang justru menjadikan norma tersebut inkonstitusional.

Pada pertimbangan hukumnya, MK menegaskan penambahan kewenangan Kejaksaan dapat mengajukan Peninjauan Kembali sebagaimana diatur UU Kejaksaan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum serta berpotensi menimbulkan penyalahgunaan kewenangan terhadap perkara yang notabene telah dinyatakan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. MK juga menyatakan pasal tersebut dan penjelasannya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Sehingga putusan ini menegaskan bahwa Kejaksaan tidak memiliki kewenangan untuk mengajukan Peninjauan Kembali. 

Author / Contributor:

Hatma ProzaHatma Priza Akbar, S.H

Associate

Contact:

Mail       : @siplawfirm.id

Phone    : +62-21 799 7973 / +62-21 799 7975