Secara umum tindak pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh hukum dan dapat dikenakan sanksi pidana yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan undang-undang lainnya. KUHP menggunakan istilah pidana dengan peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana. 

Subjek hukum pidana bukan hanya diterapkan terhadap seseorang yang melakukan tindak perbuatan pidana. Namun Sejak Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (‘’KUHP UU 1/2023’’) disahkan pemerintah, korporasi menjadi subjek hukum yang dapat dipidana. Bahkan perbuatannya dapat dijerat dengan sanksi pidana. Meskipun direksi atau pengurus korporasi merupakan pihak yang bertanggung jawab secara pribadi, apabila terbukti bersalah atau lalai menjalankan tugas.

Sanksi Hukum Pidana Terhadap Korporasi

Sejak tahun 1955 konsep pertanggungjawaban pidana terhadap korporasi sudah diatur dan diberlakukan di Indonesia. Hal tersebut dapat dilihat pada Undang-Undang Nomor 7 tahun 1955 tentang Pengusutan, Penuntutan, dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi (‘’UU 7/1955’’). Semenjak itu, konsep pertanggungjawaban pidana korporasi semakin banyak diatur dalam ketentuan perundang-undangan Indonesia. 

Sayangnya, pada saat itu belum ada satupun undang-undang hukum acara yang mengatur terkait hukum formil atau hukum acara untuk mengadili perkara korporasi yang dapat dijadikan landasan hukum bagi penegak hukum untuk memproses dan menjadikan korporasi sebagai terdakwa. Untuk menutup kekosongan hukum yang ada, Mahkamah Agung menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 13 Tahun 2016 tentang Tata Cara Penanganan Perkara Tindak Pidana oleh Korporasi (‘’PERMA 13/2016’’). 

Subjek hukum yang bisa diminta pertanggungjawaban korporasi adalah korporasi atau pengurus, korporasi dan pengurus, serta pihak lain yang terbukti terlibat dalam tindak pidana korporasi. 

Korporasi meliputi kumpulan orang atau kekayaan yang terorganisasi, baik merupakan badan hukum maupun bukan badan hukum. Pengurusnya adalah organ korporasi yang menjalankan kepengurusan yang berwenang mewakili korporasi sesuai Anggaran Dasar. Kewenangan itu termasuk mengendalikan, memengaruhi, dan memutuskan kebijakan korporasi. 

Pengurus korporasi seperti direksi dan dewan komisaris juga bisa diminta bertanggung jawab secara pribadi jika bersalah atau lalai dalam menjalankan tugasnya maka bertanggung jawab secara pribadi. Jika lebih dari satu anggota direksi atau dewan komisaris akan bertanggung jawab renteng.

UU 1/2023 tentang KUHP menyatakan sanksi pidana bagi korporasi terdiri dari pidana pokok  dan pidana tambahan. 

Sanksi pidana yang dilakukan korporasi paling lama adalah tujuh tahun sampai dengan paling lama 15 tahun penjara atau pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 tahun. Sedangkan pidana denda dijatuhi paling sedikit kategori IV, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang. Sedangkan pidana denda korporasi diatur dalam pidana kategori VI, VII, dan VIII. 

Pidana denda wajib dibayar dalam jangka waktu tertentu yang dimuat dalam putusan pengadilan. Putusan pengadilan dapat menentukan pembayaran pidana denda dengan cara mengangsur. Jika pidana denda tidak dibayar dalam jangka waktu yang telah ditentukan, kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk melunasi pidana denda yang tidak dibayar.

Sedangkan pidana tambahan berupa pencabutan izin, penutupan kegiatan korporasi serta pembekuan usaha dijatuhkan paling lama dua tahun. Dalam hal korporasi tidak melaksanakan pidana tambahan pembiayaan pelatihan kerja maka kekayaan atau pendapatan korporasi dapat disita dan dilelang oleh jaksa untuk memenuhi pidana tambahan yang tidak dipenuhi.

Baca Juga: Tugas, Fungsi, dan Wewenang Auditor di Indonesia

Jenis-jenis Perbuatan Pidana Pengurus Korporasi 

Dalam pedoman penanganan perkara pidana dengan subjek hukum korporasi tercantum dalam Peraturan Jaksa Agung Nomor: PER-028/A/JA/10/2014 yang diterbitkan pada 1 Oktober 2014. Ada empat jenis perbuatan pengurus korporasi yang dapat dimintai pertanggungjawaban.

  1. Individu yang melakukan, turut serta melakukan, menyuruh melakukan, menganjurkan melakukan, atau membantu melakukan tindak pidana. 
  2. Setiap orang yang memiliki kendali dan wewenang untuk mengambil langkah pencegahan tindak pidana tersebut namun tidak mengambil langkah yang seharusnya dan menyadari akan menerima risiko besar jika tindak pidana tersebut terjadi. 
  3. Individu yang memiliki pengetahuan akan adanya risiko besar, cukup apabila ia tahu bahwa tindak pidana tersebut dilakukan oleh korporasi. 
  4. Segala bentuk perbuatan lain yang dapat dimintai pertanggungjawaban kepada pengurus korporasi menurut undang-undang.

Dikutip dari Hukumonline, terdapat setidaknya 11 jenis pidana tambahan yang dapat dikenakan terhadap korporasi, yaitu; 

  1. Pembayaran ganti rugi;
  2. Lalai dalam melaksanakan kewajiban; 
  3. Pembiayaan latihan kerja;
  4. Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana, penutupan seluruh atau sebagian tempat usaha;
  5. Perampasan barang atau keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana;
  6. Pencabutan izin tertentu; 
  7. Pelarangan permanen untuk melakukan perbuatan tertentu;
  8. Sanksi putusan pengadilan atau putusan hakim; 
  9. Penutupan seluruh atau sebagian tempat/kegiatan usaha;
  10. Pembekuan seluruh atau sebagian kegiatan usaha korporasi; 
  11. Pembubaran korporasi. 

Sebagian besar jenis pidana tambahan ini tersebar dalam peraturan perundang-undangan khusus. Kini, jenis pidana tersebut juga dimasukkan ke dalam UU 1/2023 tentang KUHP. Pidana tambahan ini tetap merupakan ancaman yang dapat dijatuhkan sesuai dengan dakwaan penuntut umum terhadap korporasi. 

Baca Juga: Inilah Kewajiban dan Tugas Direksi Perusahaan

Kesimpulan

Tindak pidana tidak hanya dilakukan oleh individu, tetapi juga oleh korporasi. Disahkannya UU Nomor 1 Tahun 2023 tentang KUHP, korporasi dapat menjadi subjek hukum yang dikenakan sanksi pidana dan berbagai jenis pidana tambahan, seperti pembayaran ganti rugi, pencabutan izin, dan penutupan kegiatan usaha, dapat dikenakan terhadap korporasi yang melanggar hukum.

Baca Juga: Pedoman Tata Kelola Perusahaan Yang Baik

Referensi:

Dasar Hukum: