Oleh: Ferro Alano, S.H.

 

Dalam menangani percepatan penanggulangan penyebaran wabah COVID-19, pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan Work From Home (“WFH”) serta Pembatasan Sosial Berskala Besar (“PSBB”). Hal ini bertujuan agar masyarakat Indonesia dapat melakukan karantina mandiri di rumah masing-masing. Di sisi lain, kebijakan yang diterapkan pemerintah mengakibatkan kegiatan sebagian perusahaan di Indonesia menjadi terhenti. Beberapa perusahaan yang tidak mampu beroperasi dengan normal di tengah wabah COVID-19 mengalami pelemahan ekonomi dan mengakibatkan perusahaan terpaksa melakukan Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) karena efisiensi terhadap pekerjanya.

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan telah mengatur bahwa kasus PHK tidak dapat dilakukan secara sepihak. Hal ini diatur pada Pasal 151 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:

Pasal 151

  • Pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi pemutusan hubungan kerja.
  • Dalam hal segala upaya telah dilakukan, tetapi pemutusan hubungan kerja tidak dapat dihindari, maka maksud pemutusan hubungan kerja wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
  • Dalam hal perundingan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

 

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan mengatur secara tegas alasan-alasan kasus PHK, yaitu:

  1. PHK karena telah melakukan kesalahan berat (Pasal 158 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  2. PHK karena melakukan tindak pidana (Pasal 160 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  3. PHK karena melakukan pelanggaran ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja Bersama (Pasal 161 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  4. PHK karena mengundurkan diri (Pasal 162 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  5. PHK karena perubahan status, penggabungan, peleburan, atau perubahan kepemilikan perusahaan (Pasal 163 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  6. PHK karena keadaan memaksa (force majeure) – (Pasal 164 ayat (1) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  7. PHK karena efisiensi (Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  8. PHK karena pailit (Pasal 165 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  9. PHK karena meninggal dunia (Pasal 166 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  10. PHK karena pension (Pasal 167 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)
  11. PHK karena mangkir (Pasal 168 Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan)

kasus PHK Pemutusan Hubungan Kerja

Apabila kasus PHK tidak dapat dihindari oleh perusahaan, perusahaan wajib membayar uang pesangon dan/atau penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak, yang menjadi hak dari pekerja. Sebagaimana diatur pada Pasal 156 ayat (1), (2), (3), dan (4) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan:

Pasal 156

  • Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
  • Perhitungan uang pesangon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) paling sedikit sebagai berikut:
  1. masa kerja kurang dari 1 (satu) tahun, 1 (satu) bulan upah;
  2. masa kerja 1 (satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 2 (dua) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  3. masa kerja 2 (dua) tahun atau lebih tetapi kurang dari 3 (tiga) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  4. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 4 (empat) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  5. masa kerja 4 (empat) tahun atau lebih tetapi kurang dari 5 (lima) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  6. masa kerja 5 (lima) tahun atau lebih, tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  7. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 7 (tujuh) tahun, 7 (tujuh) bulan upah. h. masa kerja 7 (tujuh) tahun atau lebih tetapi kurang dari 8 (delapan) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 8 (delapan) tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah
  • Perhitungan uang penghargaan masa kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan sebagai berikut:
  1. masa kerja 3 (tiga) tahun atau lebih tetapi kurang dari 6 (enam) tahun, 2 (dua) bulan upah;
  2. masa kerja 6 (enam) tahun atau lebih tetapi kurang dari 9 (sembilan) tahun, 3 (tiga) bulan upah;
  3. masa kerja 9 (sembilan) tahun atau lebih tetapi kurang dari 12 (dua belas) tahun, 4 (empat) bulan upah;
  4. masa kerja 12 (dua belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 15 (lima belas) tahun, 5 (lima) bulan upah;
  5. masa kerja 15 (lima belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 18 (delapan belas) tahun, 6 (enam) bulan upah;
  6. masa kerja 18 (delapan belas) tahun atau lebih tetapi kurang dari 21 (dua puluh satu) tahun, 7 (tujuh) bulan upah;
  7. masa kerja 21 (dua puluh satu) tahun atau lebih tetapi kurang dari 24 (dua puluh empat) tahun, 8 (delapan) bulan upah;
  8. masa kerja 24 (dua puluh empat) tahun atau lebih, 10 (sepuluh ) bulan upah
  • Uang penggantian hak yang seharusnya diterima sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi:
  1. cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur;
  2. biaya atau ongkos pulang untuk pekerja/buruh dan keluarganya ke tempat di mana pekerja/buruh diterima bekerja;
  3. penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% (lima belas perseratus) dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat;
  4. hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja Bersama.

Contoh Kasus PHK

Adapun contoh kasus seperti yang dialami oleh A, bahwa A telah bekerja pada PT. B selama 3 (tiga) tahun, lalu pada bulan April 2020, A mendapatkan Surat Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) dari PT. B dengan alasan efisiensi, karena adanya wabah COVID-19 yang menyebabkan pendapatan perusahaan menurun drastis. Dalam surat tersebut perusahaan menyatakan bahwa tidak mampu memenuhi hak-hak para pekerja secara utuh, terutama upah pekerja, dan PT. B hanya memberikan uang pesangon senilai 1 bulan upah kepada A. Menurut anda, apakah uang pesangon yang didapat oleh A sudah sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan?

Mengingat A telah bekerja pada PT. B selama 3 (tiga) tahun, maka uang pesangon yang didapatkan A tidak sesuai dengan Pasal 164 ayat (3) Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan, sebagaimana berikut:

Pasal 164

  • Pengusaha dapat melakukan pemutusan hubungan kerja terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian 2 (dua) tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (force majeur) tetapi perusahaan melakukan efisiensi, dengan ketentuan pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar 2 (dua) kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja sebesar 1 (satu) kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4).

 

Apabila A tidak sepakat atas keputusan PT. B, maka A dapat menempuh upaya hukum melalui Dinas Ketenagakerjaan sampai ke Pengadilan Hubungan Industrial sebagaimana telah diatur pada Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

Dengan demikian, demi menghindari penyelesaian yang berlarut-larut dalam Perselisihan Hubungan Industrial, maka kasus PHK bukanlah solusi pertama untuk menyelamatkan kondisi perusahaan maupun pekerjanya. Perusahan dapat melakukan berbagai tindakan untuk berupaya mempertahankan pekerjanya, di antaranya dengan cara mengurangi upah direksi, komisaris dan/atau jabatan kelas atas, mengurangi fasilitas direksi, komisaris dan/atau jabatan kelas atas, membatasi atau menghapuskan jam lembur pekerja, mengurangi jam kerja pekerja, pembatasan hari kerja, meliburkan atau merumahkan pekerja secara bergilir. Alangkah baiknya Perusahaan dapat berunding terlebih dahulu kepada para pekerjanya untuk mendapatkan keputusan yang terbaik sesuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan.