Kementerian Kesehatan optimistis, RUU Kesehatan yang disusun dengan konsep Omnibus Law akan membawa efisiensi, sehingga tidak menimbulkan multitafsir. Staf Ahli Menkes  Bidang Hukum Kesehatan Sundoyo mengatakan, RUU ini akan efektif dan efisien jika dijadikan simplifikasi dan dibahas bersama-sama.

Sundoyo mengatakan, pembahasan RUU ini untuk menghindari multitafsir di lapangan, karena beda satu kata dalam satu rumusan itu tafsirannya bisa macam-macam. Dampaknya, ungkap Sundoyo, akan berpengaruh pada implementasi RUU ini di saat digunakan.

Menurut Sundoyo, undang-undang kesehatan yang ada saat ini terlalu banyak sehingga dalam prakteknya terjadi  tumpang tindih. Ia menjelaskan, setidaknya ada sembilan undang-undang di bidang kesehatan yang antara satu dengan yang lain bertolak belakang. Bahkan, ada undang-undang yang  memuat aturan yang mirip atau bahkan cenderung sama seperti  UU Kesehatan, UU Praktik Kedokteran, UU Keperawatan, hingga UU Kebidanan.  Untuk itu, menurut Sundoyo,  Omnibus Law ini untuk mengurangi tumpang tindih undang-undang.

Penyusunan RUU Kesehatan Omnibus Law ini juga menjadi upaya pemerintah dalam memitigasi kejadian luar biasa seperti pandemi Covid-19. Sehingga upaya promotif dan preventif dalam pelayanan kesehatan bisa dilakukan dengan RUU Kesehatan ini. 

IDI Minta UU Kedokteran Tidak Dicabut

Sementara itu, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) meminta agar pembahasan RUU Kesehatan Omnibus Law tidak langsung mencabut semua Undang-Undang (UU) Kedokteran. Menurut  Ketua Umum PB IDI Moh. Adib Khumaidi, penggunaan mekanisme omnibus yang serta-merta mencabut beberapa undang-undang yang tidak disertai hasil evaluasi terhadap undang-undang itu sendiri bisa saja terjadi. Artinya ada pasal-pasal yang berkaitan untuk pencabutan Undang-Undang Praktik Kedokteran, pencabutan Undang-Undang Keperawatan, dan Undang-Undang Kebidanan.